Kamis, 27 Desember 2007

Puisi Mashuri

RITUAL PENGGAL INGATAN SOERABAIA

di sepanjang boulevard, kita seakan tersesat
kerna gedung bersijingkat di sekat awan; di sungai
kita hanya menemu sangsi ---pada hidup
busa berbiak; ikan-ikan berenang di bawah acungan
tombak; lalu kita bertanya pada rumput yang tercelup
tinta, mungkin arang: masihkah sunyi menggerayang
serupa tangan di sebalik kutang

kita lalu ingat: ada noktah, titik-titik yang terpeta
di sepanjang kota
saat segala pelakian bebas lepas nafas
dan gaun ditanting ke ubun, dikemas; sambil melipat kertas
lalu meremas gemas pelaminan

"beri jalan bagi mereka yang ingin memuncak
ke aras-aras tinggi; suar segala birahi
beri mimpi pada tualang yang dahaga
saat katup-katup terkunci, dan di sini
segala pintu terbuka, bahkan tak berbingkai
beri hidup pada mempelai"

sungguh, di gelap sangsai, kita lah terkurung di balai
dan keagungan melantai ke balik rumpun rumput
kerna rembulan selalu purnama
di kampung-kampung
---di jantung kota yang mengapung
kerna ingat dan lupa, serupa layang-layang
membayang di angkasa dengan benang
terjela
langit menjadi jauh
tuk ditafsirkan ---dengan satu serapah
satu kepalan tangan, atau
satu ruang yang bebaskan arus trengginas
sebab pucuk-pucuk terampas; hanya dancuk
mengganas

pikiran kita pun sekalut maut, saat izroil terusir
meski kita tahu: ada diam yang memagut malam
di langsir, di pinggir, sambil mengoyak diam
di antara nisan dan tamsil
dalam doa, kita memanggil, sekaligus mengusir
kerna suara timpang, gelak merumpang
dan segala tetumbuhan di jalanan
serupa payung ---tanpa hujan
dan pantai
hanya kesumat yang melantai; serupa penari
yang tak tahu arti gerak dan tak gerak

memang segalanya belum terukir pada garis
nadir ---saat segala wujud semu
dan kelir dikoyak batu: kerna pada nujum
yang melekat, jauh ke lubuk riwayat
ada huma, jua rawa, terpampang di mata
dan sejarah seakan-akan membuat orang berdusta
soal muasal
juga nama-nama yang terenggut dari asal
tapi segalanya melingkar di luar nalar
melata tanpa tanah; tiang

kita pun berjiwa udik
di tengah hutan logam; saat susut kelindan
beringsut dari piuh perasaan
dan jampi-jampi merasuk lebihi pertempuran
soal asal-usul, juga derap yang tumpang
jejak-jejak berkelindan antara gamang
dan kepastian
kita dipaksa mengabdi kini, tanpa ingatan
dan kita bersetia pada pengkhianatan
tanpa tawaran ---kecuali retak jalan
dan kaki-kaki penuh daki; bekas luka
menghitam
menapak

sengkarut asa, liuk ular berbisa
jua lorong-lorong tanpa irama
segalanya berubah
serupa penjara
tanpa penjaga

jika pun trotoar tak lempang
kerna selokan selalu menghunus kelokan ---segala limbah
serupa tanda; abu-abu
mengalir bak rabu; tanpa pralambang
takwil pun terpencil, terpesona atau berbalik
di gelap mistik, sambil bersedekap
: kami punya tuah sejarah, kami orang darah, mari berderap!

musim pun semakin tua, bukan? dan kita terlanjur tak bisa
mengingat dengan pasti
tentang kelahiran
serupa moyang
ketika hapalan berlari ke liang lahat
siap dikuburkan; dan tulisan masih jauh
dari gapaian; kabur
bersama cuaca yang tak terukur
di batas indera; antara ada
dan sirna

di sepanjang pandang, silam
kita hanya menapak pembongkaran
tilas yang rapuh, lekas luruh
kerna tangan bersikukuh pada pancung
memenggal ingat
dengan ruh sesaat
agar burung-burung tak lagi hinggap
dan terbang ke pusat gelap
segala kata seakan menghardik

"apa yang kau ingat dari stasiun, jalan-jalan
memori, pertumpahan di silam hari, juga segulung
kenangan tua?"

hanya rumah-rumah perkabungan
menjawab ---seakan nyawa terangkat
belasungkawa mengendap di atap
dan kita
serupa kanak-kanak
belajar membaca; dan tak pernah mengerti ke mana lacak
dan jejak melenggang
menuju kehancuran
: penghapusan ingatan; abadi..

Tidak ada komentar: