Rabu, 19 Desember 2007

Puisi Indra Tjahyadi

AFTERWORD

pada akhirnya kau pun pergi
entah ke benua mana
entah ke laut mana
entah ke dunia mana
tapi masih saja
aku setia kirimkan pesan
pesan singkat buatmu
meski di gerimis tak mesti
hanya rasa sakit
yang menghubungkanku denganmu
dengan bayang-bayang darah
yang menjelma huruf
huruf sunyi
bait-bait murung sajakku

2007.

MAUT SENDIRI

engkau terasa begitu jauh
bahkan lebih jauh ketimbang bulan

sungguh pernah kurajahkan kembang
dan kupu-kupu di gelap dadamu
tapi kecantikanmu adalah kepergian
dikekalkan jarak terjauh

siapa bertugur sendiri di bawah kabut
mereguk derita yang tak juga surut
bersama luka
sunyi membakar
buku-buku umur dan kerinduanku

kiranya ingin aku mengaduh sekali lagi padamu
ketika seekor burung malam terbang
menembus mendung
tapi hanya sosok langit yang remuk
yang pernah terpekik dari suaraku

tak ada doa
tak ada airmata
yang mengantarku
sampai ke dasar lubuk kubur

di kota tandus tak berlampu
kututupkan pelupukku
kukenang namamu
darah hitam
menetes dari sajakku
butirannya yang tajam menancap
lalu menggeram di dasar maut
: mautku!
maut sendiri

2007.

POHON YANG HIDUP DI JAM LARUT
                                        : fransisca romana ninik

Kesendirian menguntitku. Kelam yang merangkak
menghisap darahku. Dari Neraka yang begitu
jauh dan tak terbayangkan, kesunyianku meluncur.
Burung-burung bersayap muram terbang diam, tiba-tiba
meledak di ujung mendung.

Kusaksikan bulan memar menyoroti malam. Kusaksikan
gelap yang pekat, kian memekat, membekas di jejakku
yang rapuh. Pernah kutangkap degup nafasmu
yang memabukkan, lantas kutempuh jalan menuju cumbu,
tapi rindu dalam lengang kalbu terlampau pahit, teramat sakit.

Bila musim beringsut, Kasihku, iklim akan mencatat
kesepianku, dan pohon-pohon yang hidup di jam
jam larut akan meneguhkan keterasinganku,
seperti bunyi sumbang dentangan lonceng gereja
di hari Paskah yang tak pernah menyebut nama. Namaku.

Kiranya masih kusimpan sisa kecupmu dalam senyap detak
jantung yang tinggal lelah berbau kubur, meski dalam
tidur, sajakku telah jauh berjalan, jatuh dalam bisu
tak berujung. Tenggelam dalam hampa tak berjuntrung.
Seperti mayat seorang perindu yang membusuk. Serupa aku.

2007.

Tidak ada komentar: