Kamis, 18 Desember 2008

V FOR VENDETTA


"V for Vendetta" karya Alan Moore dan David Lloyd

Para pembaca blog yang budiman,
Selamat bertemu lagi dengan saya, pemandu blog yang anda cintai. Kali ini saya akan menampilkan sebuah kutipan dari novel grafis karya AAlan Moore dan David Lloyd yang berjudul "V for Vendetta". Novel grafis ini sungguh menarik, sebab bukan hanya ceritanya yang menakjubkan tetapi juga dialog-dialog yang ditampilkannya terkesan sangat kuat. Maka tanpa banyak cingcong lagi saya ucapkan selamat menikmati.

Kutipan dari "V for Vendetta"

Remember, remember, the Fifth of November, the Gunpowder Treason and Plot. I know of no reason why the Gunpowder Treason should ever be forgot... But what of the man? I know his name was Guy Fawkes and I know, in 1605, he attempted to blow up the Houses of Parliament. But who was he really? What was he like? We are told to remember the idea, not the man, because a man can fail. He can be caught, he can be killed and forgotten, but 400 years later, an idea can still change the world. I've witnessed first hand the power of ideas, I've seen people kill in the name of them, and die defending them... but you cannot kiss an idea, cannot touch it, or hold it... ideas do not bleed, they do not feel pain, they do not love... And it is not an idea that I miss, it is a man... A man that made me remember the Fifth of November. A man that I will never forget

Sabtu, 13 September 2008

TIGA PUISI CHARLES BAUDELAIRE


CHARLES BAUDELAIRE (1821 – 1867)

Para pembaca blog yang budiman,
Selamat bertemu lagi dengan saya, pemandu blog yang anda cintai. Kali ini saya akan menampilkan toga sajak dari Charles Baudelaire (C.B.) yang telah saya alihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia. Ketiga sajak C.B. ini saya ambil dari buku Baudelaire; Selected Poems terbitan Phoenix Poetry tahun 2003. Ketiga sajak C.B. yang saya alihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia ini semuanya berasal dari sajak-sajak C.B. yang telah dialihbahasakan ke dalam bahasa Inggris dari bahasa aslinya, Prancis, oleh J. M. Dent.
Tak pelak, Baudelaire adalah seorang penyair Perancis dengan daya persajakan terkuat yang pernah ada di dunia. Bahkan ia dapat adalah salah satu penyair besar Perancis dan dunia di abad 19. Meski memiliki imaji dan metafora yang muram, akan tetapi sajak-sajak Baudelaire tetap memiliki nilai pukau yang sangat hebat. Maka tanpa banyak cingcong lagi saya ucapkan selamat menikmati. Semoga bermanfaat dan dapat menambah wawasan perpuisian para pembaca blog yang saya cintai.

Sajak-sajak Charles Baudelaire

MALAM-MALAM DI SORGA TAK LEBIH CANTIK

Malam-malam di sorga tak lebih cantik
Ketimbang dirimu, kekasih, tenang dan duka cita
Bejana tangisku; dan ketika kau berpaling
Cintaku tumbuh makin kuat. Malam mengubah hari,
Aku mencintamu untuk sebuah ikatan ironi
Tempatmu di antara langit dan pembelaanku

Aku merangkak susuri tubuhmu layaknya sekumpulan
Cacing menyusuri sebuah mayat. O binatang buas, pujaan
Semakin kau perlihatkan padaku, untuk memperbesar rasa sakitku
Kebaikan dan hinaanmu yang keras kepala

*) dialihbahasakan secara bebas oleh Indra Tjahyadi dari sajak The nightly heavend are not more beautiful

KAU AKAN MENYESAL

Siapakah yang memahami seorang penyair? Hanya sebuah nisan.
Maka hanya pada nisan kuakui mimpi-mimpiku.

Kegelapanku, kecantikanku yang muram, tatkala kau terbaring
Tidur di bawah pualam hitam, tatkala rumah besarmu
Yang kaya berubah menjadi bangunan batu yang rapuh,
Kamar tidurmu menuju sebuah kegelapan dan parit yang kosong

Dan tatkala di bawah himpitan seluruh batu-batu itu
Hatimu tak dapat berharap ataupun bergerak,
Pahamu terkunci, kakimu tak lagi berlari
Para periang mengirimkan pesan kegairahan cinta,

Bagaimana hal itu dapat berguna bila kau tak mengetahuinya
Apakah yang ditangisi kematian, kau yang beradat pelacur?
Demam dan insomnia menunggumu,
Cacing-cacing akan menggerogotimu sebagai penggerogotan rasa sesal yang dahsyat

*) dialihbahasakan secara bebas oleh Indra Tjahyadi dari sajak You Will Repent

YA, KUINGAT RUMAH

Ya, kuingat rumah, kuingat semuanya,
Tabirnya yang berat dan dindingnya yang berkapur,
Sebuah adonan Zohral yang bergemetelakan di pohon,
Tapal lengannya menyembuyikan ketelanjangannya
Dan setiap sore cahaya matahari merendah,
Menyapu atap, rerumput, kaca jendela
Terbuka seperti sebuah berkas, menumpahkan cahayanya,
Dan menatap kita sedang duduk-duduk di separoh malam:
Kita berat bercakap, menyaksikan bayang-bayang merangkak
Menyusuri papan yang kurus dan menuju ke ruang tengah.

*) dialihbahasakan secara bebas oleh Indra Tjahyadi dari sajak Yes, I remember the house

Kamis, 21 Agustus 2008

SORE DI STASIUN GUBENG [2]



Selamat malam para pembaca blog yang budiman….
Selamat bertemu lagi dengan saya, pemandu blog anda yang anda cintai. Kali ini saya akan menampilkan foto-foto hasil jepretan saya. Foto-foto ini saya ambil di Stasiun Gubeng Surabaya. Semoga foto-foto ini dapat menghibur anda yang rindu dengan kota Surabaya. Selamat menikmati.

SORE DI STASIUN GUBENG [1]






Selamat malam para pembaca blog yang budiman….
Selamat bertemu lagi dengan saya, pemandu blog anda yang anda cintai. Kali ini saya akan menampilkan foto-foto hasil jepretan saya. Foto-foto ini saya ambil di Stasiun Gubeng Surabaya. Semoga foto-foto ini dapat menghibur anda yang rindu dengan kota Surabaya. Selamat menikmati.

Selasa, 01 Juli 2008

Puisi Joseph Brodsky

MARI SAMBUTLAH: JOSEPH BRODSKY….

Selamat malam para pembaca blog yang budiman….
Selamat bertemu lagi dengan saya, pemandu blog anda yang anda cintai. Kali ini saya akan menampilkan sebuah sajak dari Joseph Brodsky yang berjudul “Lagu Belfas” hasil terjemahan dari Tuan Agus R. Sarjono dan Nyonya Nikmah Sarjono. Sajak yang memukau ini saya comot dari buku “Joseph Brodsky: Kepada Ukraina” yang diterbitkan oleh Forum Sastra Bandung pada tahun 1998. Seperti telah kita ketahui bersama bahwa penyair yang bernama panjang Iosif Alexandrovich Brodsky ini merupakan salah satu penyair besar dunia yang pernah meraih hadiah Nobel di bidang sastra. Baiklah kalau begitu, tanpa banyak bacot lagi, langsung saja saya haturkan: “Lagu Belfas” karya Joseph Brodsky.
Selamat menikmati.

LAGU BELFAS

Ada seorang gadis dari sebuah kota yang berbahaya
Ia memotong pendek rambutnya yang gelap
hingga tak banyak dari dirinya yang musti berwajah masam
ketika seseorang terluka.

Ia melipat kenangannya seperti melipat parasut.
Jatuh, ia mengumpulkan tanah bakaran
dan memasak makanannya di rumah: mereka menembak
sambil makan-makan di sini.

Ah, ada lebih banyak langit di bagian ini dibanding, katakanlah,
daratan. Sejak suaranya menggantung
dan pandangannya menodai retinamu, seperti bola lampu
memucat ketika kau nyalakan.

Belahan-belahan bumi. Dan gaunnya yang sepanjang lutut
terpotong roknya untuk menangkal angin kencang
yang tiba tak terduga.
Aku bermimpi tentangnya
entah dicintai atau terbunuh
karena kotanya terlalu kecil.

1986.

Kamis, 17 April 2008

Cerpen "Tuduhan"

Para pembaca blog yang budiman,
selamat bertemu lagi dengan saya, pemandu yang anda cintai. Kali ini saya akan menayangkan sebuah cerpen karya saya sendiri yang berjudul "Tuduhan". Cerpen ini merupakan cerpen eksperiman. Rencananya cerpen ini akan dimuat di dalam sebuah kumpulan cerpen yang berjudul "Dekonstruksi, Suatu Hari...." Bersama beberapa prosais anti-cerita Surabaya, seperti Ribut Wijoto dan Muhammad Aris.
Saya kira, sebegini dulu ucapan dari saya. Selamat membaca.

TUDUHAN
Cerpen: Indra Tjahyadi*)

Alkisah, di sebuah tempat, di suatu forum, di suatu hari yang tak jauh dari masa kini seseorang pernah berhujah: “Sastra Jawa Timur adalah sastra yang tidak berkarakter!”
Saat itu, tentu saja, mereka yang merasa dirinya sastrawan Jawa Timur berbondong-bondong lekas berberondong-berondong memberikan gugatan terhadap pernyataan itu. Menurut mereka penyataan tersebut mereka tidak beralasan dan berlandaskan itu. Mereka berpendapat, pemberi pernyataan adalah seseorang tidak mengenal baik kultur Jawa Timur yang heterogen.
Tadinya saya, sebagai seseorang yang juga merasa dirinya sastrawan Jawa Timur, juga merasa tergerak untuk ikut melakukan gugatan balik atas pernyataan itu. Tapi niatan itu saya urungkan. Saya ingin memahami dulu pernyataan itu secara utuh, terutama pada kata berkarakter, meski kata tersebut acap muncul sehari-hari.
Kiranya akan lebih mudah bagi saya dalam memahami kata tersebut apabila saya mengetahui terlebih dulu arti kata tersebut. Kata berkarakter adalah kata berimbuhan. Kata ini memiliki kata dasar karakter yang dikenai prefiks ber-. Bersama me-, pe-, se-, ter-, di-, ke-, prefiks ber- adalah salah satu imbuhan yang baku dalam bahasa Indonesia. Demi mengetahui hal ini, maka saya pun mulai mencari terlebih dahulu apa arti kata karakter.
Setelah membolak-balik isi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi III (2001) ternyata kata karakter yang saya cari tidak tercantum sebagai lema. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Bukankah kata tersebut adalah kata yang terhitung akrab dalam pergaulan berbahasa kita sehari-hari?
Kesal dengan keadaan ini, selekasnya saya tutup kamus resmi bahasa Indonesia tersebut, dan beralih kepada Kamus Inggris-Indonesia (1996) yang disusun oleh Jhon M. Echols dan Hassan Shadily. Dalam kamus tersebut, kata character berarti: (1) watak, karakter, sifat; (2) peran; (3) huruf. Meski telah mendapatkan sedikit gambaran atas arti kata karakter, tapi dalam benak saya muncul pertanyaan yang lain: apakah pernyataan “sastra Jawa Timur adalah sastra yang tidak berkarakter” itu sama artinya dengan: (a) sastra Jawa Timur adalah sastra yang tidak berwatak, (b) sastra Jawa Timur adalah sastra yang tidak bersifat, (c) sastra Jawa Timur adalah sastra yang tidak berperan, dan (d) sastra Jawa Timur adalah sastra yang tidak berhuruf?
Kata watak dalam KBBI Edisi III berarti sifat batin manusia yang memengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku; budi pekerti; tabiat. Sementara kata berwatak berarti memunyai watak; berkepribadian; bertingkah laku. Jadi pernyataan “sastra Jawa Timur adalah sastra yang tidak berwatak” dapat diartikan sebagai: pertama, sastra Jawa Timur adalah sastra yang tidak memunyai watak. Dalam artian bahwa ia tidak memunyai sifat batin manusia yang memengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku.
Pertanyaannya: sebagaimana sastra pada umumnya yang merupakan hasil cipta, karsa dan rasa manusia, mungkinkah sastra Jawa Timur tidak memunyai sifat batin manusia yang memengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku, sebab bukankah sebagai hasil dari cipta, karsa dan rasa manusia, sastra Jawa Timur juga terikat dengan sifat batin manusia, dan bukankah dengan terlontarnya pernyataan tentang ihwal keberadaan itu berarti bahwa sedikit-banyak ia telah memeranguhi pikiran dan tingkah laku manusia?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kiranya, diperlukan penelitian yang mendalam dan detail terhadap sastra Jawa Timur dalam hal pengaruh-memengaruhinya. Tanpa hal itu, pernyataan yang bersifat mendiskreditkan sastra Jawa Timur tersebut akan hanya menjadi omong kosong belaka. Sebab, secara sepintas lalu saja, saya ragu apabila insan-insan sastra di negeri ini yang tidak mengenal nama-nama besar sastrawan Jawa Timur semacam Muhammad Ali, Budi Darma, D. Zawawi Imron, Beni Setia, Tjahjono Widijanto, Tjahjono Widarmanto, Mardi Luhung, ataupun Mashuri.
Arti kedua dari penyataan “sastra Jawa Timur adalah sastra yang tak berwatak” dapat dipahami sebagai bahwa sastra Jawa Timur tidak berkepribadian. Dalam KBBI Edisi III kata kepribadian berarti sifat hakiki yang tercermin pada sikap seseorang atau suatu bangsa yang membedakannya dari orang atau bangsa lain. Jadi secara luas arti kedua dari pernyataan “sastra Jawa Timur adalah sastra yang tak berwatak” dapat dipahami sebagai bahwa sastra Jawa Timur adalah sastra yang tidak memunyai sifat hakiki yang tercermin pada sikap seseorang atau suatu bangsa yang membedakannya dari orang atau bangsa lain.
Pertanyaannya: benarkah novel-novel atau cerpen-cerpen Muhammad Ali tak sedikit pun memiliki perbedaan dengan membaca novel atau cerpen-cerpennya A.A. Navis misalnya? Benarkan novel-novel atau cerpen-cerpennya Budi Darma tak sedikit pun memiliki perbedaan dengan membaca novel-novel atau cerpen-cerpennya Umar Kayam misalnya? Benarkah puisi-puisinya D. Zawawi Imron tak sedikitpun memiliki perbedaan dengan membaca puisi-puisinya Umbu Landu misalnya? Lagi-lagi pertanyaan-pertanyaan sederhana yang membutuhkan jawaban yang tidak sederhana.
Ketiga, arti dari “sastra Jawa Timur adalah sastra yang tak berwatak” adalah sastra Jawa Timur adalah sastra yang tidak bertingkah laku. Maksudnya adalah sastra Jawa Timur adalah sastra tidak memunyai kelakuan atau perangai. Dalam artian, bahwa sastra Jawa Timur adalah sastra yang tidak memiliki cara khas seseorang dalam beraksi terhadap berbagai macam fenomena.
Pertanyaannya: benarkah demikian? Apakah seorang Muhammad Ali tidak memunyai cara khas dalam beraksi terhadap berbagai macam fenomena sehingga ia dapat begitu saja dipersamakan dengan Mochtar Lubis misalnya? Apakah seorang Budi Darma tidak memunyai cara khas dalam beraksi terhadap berbagai macam fenomena sehingga ia dapat begitu saja dipersamakan dengan Kuntowijoyo misalnya? Apakah seorang D. Zawawi Imron tidak memunyai cara khas dalam beraksi terhadap berbagai macam fenomena sehingga ia dapat begitu saja dipersamakan dengan Umbu Landu misalnya? Apakah seorang Mashuri tidak memunyai cara khas dalam beraksi terhadap berbagai macam fenomena sehingga ia dapat begitu saja dipersamakan dengan Binhad Nurrohmat misalnya?
Memahami penalaran di atas, tiba-tba saya teringat dengan perkataan Remy Sylado: “Sudah jadi model Indonesia: asal gebuk, zonder nalar.” Ah, sayang sekali. Sayang sekali…

Jumat, 11 April 2008

Dari Manuskrip "Syair Pemanggul Mayat"

Para pembaca blog yang saya hormati,
selamat bertemu lagi dengan saya, pembaca acara anda yang tercinta. Kali ini saya menayangkan beberapa puisi saya yang termaktub dalam manuskrip kumpulan puisi saya yang saya beri judul "Syair Pemanggul Mayat". Manuskrip ini kelar saya susun tahun kemarin. Semoga para pembaca blog yang saya hormati suka membacanya. Akhir kata saya ucapkan: "Selamat menikmati."

MEMAJANG LANGIT

Kupajang langit. Malaikat-malaikat merintih dalam tidur
yang sepi. Bulan terbakar dan sajak lahir dari kebencian matahari.
Aku tarik segenap luka dan bau busuk orang mati.
Nafasku buruk. Bersekutu dengan iblis dan hantu malam hari.

Aku tapaki jurang-jurang kegelapan. Bumi kuubah jadi puing,
jadi ilusi kebosanan yang keji. Lumpur-lumpur melompat dan banjir
tak terbendung lagi. “O betapa khidmat kelicikan mengubah hari
jadi sungai-sungai sampah yang pesing!”
Kuseret mobil-mobil dengan dendam dan darah musim.

Bangkai-bangkai tikus memberi makan pada mimpi yang sedih.
Aku berpegang teguh pada angin. Ruhku begitu gaib menyayati iklim.
Aku maut yang bergeleparan di ranjang-ranjang! Di tanah,
hasrat yang paling jijik berlingkaran bagaikan lipan. Arwahku
menembus malam. Menjadi dosa yang menggeram di kerak Neraka.

1998.

DARI PETA KESUNYIAN WAJAHMU

Dari peta kesunyian wajahmu, lanskap cuaca
yang pecah menanam pohon kematian
di puncak diamku.

Suara-suara memanggil impresi rumah
pembakaran mayat dan tahun
tahun berbatu.

Kanopi musim begitu terjaga dan utuh,
tapi persalinan gerimis demikian
landai, membentuk semesta
dalam warna kuning kusam dari ingatan
dan kerinduan yang samun bersemu.

Aku tersepih dalam hening, dan udara
kering membeku. Di antara tiang
rumpang dan rumput kuyup kulukis taifun,
seperti anak jembalang yang membidik angin
dengan matanya yang hancur.

Aku adalah jari-jari kesia-siaan yang terpanggang
bara dan harum aroma nafasmu. Dan pada
kisaran yang dibawa kelu, berpegang
pada kabut, teguh.

Meski di sungai-sungai yang asat dan putih itu
kekal kupu-kupu telah terperangkap. Sedang
kita masih saja tak mengerti, bagaimana
seribu kunang-kunang limbur, sementara hidup
kian dihanyutkan, serupa perahu.

1999.

AKU SAKSIKAN BURUNG-BURUNG KEMATIAN
BERPENDAR DI DASAR OTAKKU

Aku saksikan burung-burung kematian berpendar di dasar otakku.
Tombak angin yang menderita menorehkan gerimis pada batu.
Seribu kali kilat rasa sakit tergila meledak dalam jantungku,
seraya menyerakkan ribuan belatung, seperti kemenawanan tahajud
daun gugur yang sarat dengan perih dan senantiasa menyeret jejakku
menuju seribu tahun.

Rupa kegelapan terkeras mengiris hitam wajahku. Anak-anak malaikat
mengubah para pejalan jadi waktu. Sesuatu tengah tumbuh
dan berdentam dalam bayanganku, seperti harapan para pembakar
yang menghuni sejarah dan seribu luka pendiamanku, yang akan senantiasa
mengubah segalanya jadi abu, seperti gairah penyair yang muram-busuk,
yang menjejalkan ribuan ular ke dalam mulutku.

Aku tenggelam dalam impian yang kuimpikan, yang memimpikan aku.
Kupu-kupu arwah mencecap kelaminku. Tangan kekar halilintar
begitu lekap membekap nafasku, perlahan pikiranku tercuri seribu niat buruk,
membangun menara geludhuk dalam warna kuning perdu, seperti tidur
sepanjang gerhana yang meniupkan hidup pada maut dan akan senantiasa
menggelantungi pucuk rentan alisku.

Kerangka musim hujan menggali kuburan pada anusku. Cuaca begitu buruk
mendirikan kuil ratusan abad dalam tubuhku. Ini adalah kegembiraan
kegembiraan yang senantiasa membangkitkan hantu-hantu dalam nafsuku,
seribu kali menorehkan amis darah pada jidatku, seperti narasi suram yang kekal:
pulau para pecinta yang tak lagi berpenghuni selain pemabuk.

1998-2000.

ORNAMEN PATAH
buat Dorothea

Dan perasaan yang mengeras dengan pohon
pohon tak bersalju telah mengapungkan
seluruh kesendirianku.

Hingga kenangan masa kanakku menggumpal,
menjelma kata-kata yang lebih muram
ketimbang mayatku.

Meski dari tatapan patung-patung yang tumbuh
dalam matamu, kita telah melihat burung
burung berlayar, seperti perahu,
dengan bayang-bayang hitam yang menancap
di ulu tidurku, serupa Nuh atau tahajud batu-batu.

Bahkan ketika sosok keparauan menajam seperti gemuruh
(tapi masih percayakah kau pada peta, peta yang ditulis
dalam kabut?).

1999-2000.


Kamis, 13 Maret 2008

Berita Kompas Pustakaloka

Pemirsa blog yang budiman,
kali ini saya menayangkan sebuah tulisan yang dari harian Kompas, Senin, 10 Maret 2008.
Selamat menikmati.

Ketika Penyair Mencari Ruang


PALUPI PANCA ASTUTI / Kompas Images
Para penyair yang memiliki blog pribadi. Dari kiri, Mashuri, Indra Tjahyadi, dan F Aziz Manna (memakai topi).
Senin, 10 Maret 2008 | 02:29 WIB

Oleh PALUPI PANCA ASTUTI

Hidup sebagai penyair bukanlah profesi menarik atau menjadi pilihan bagi sebagian besar masyarakat di Indonesia. Sulitnya menerbitkan buku-buku khusus berisi puisi atau syair-syair sastra di industri perbukuan Tanah Air menjadi salah satu sebab eksistensi penyair sukar mengakar di masyarakat.

Minat pasar yang minim terhadap karya-karya sejenis menjadi alasan klasik penerbit dalam negeri untuk tidak mencetak secara khusus buku-buku puisi. Akibatnya, ruang berekspresi menjadi terbatas. Panggung pertunjukan pun menganaktirikan pentas-pentas pembacaan puisi dan lebih mengutamakan konser musik atau pergelaran seni lainnya.

Maka, alternatif ruang untuk memanifestasikan kemahiran menggelitik kata-kata dalam bentuk sajak atau deklamasi oleh para pujangga pun semakin sempit. Pencarian ruang alternatif ini kemudian menemukan tempatnya ketika teknologi informasi dan komunikasi semakin berkembang di periode tahun 2000-an.

Dan, blog adalah ruang alternatif itu. Blog adalah situs web pribadi yang dapat dimiliki setiap orang dengan mengakses internet. Blog menjadi media personal setiap orang yang menulis dan ingin tulisannya tersebut tersebar luas. Kemampuan internet dengan blog-nya telah menghilangkan dinding dan jarak antarpenulis di dunia maya. Bahkan, ruang bebas ini mampu menghapus aturan sepihak yang biasa ditetapkan penerbit buku, seperti pembatasan jumlah kata, pengeditan yang tidak sesuai, hingga sudut pandang berbeda yang ingin ditonjolkan antara penerbit dan pengarang.

Blog kini tak hanya dilirik oleh mereka yang sekadar ingin menuliskan perasaan sehari-hari seperti fungsi buku harian, bukan hanya untuk menginformasikan hal-hal yang bersifat pengetahuan. Tetapi blog juga adalah ruang ekspresi para novelis, esais, maupun penyair yang ingin karya-karyanya dikenal kalangan masyarakat luas. Blog sekaligus menjadi jembatan komunikasi antarsastrawan maupun pembaca.

Jurnalistik

Hal itulah yang menjadi dasar bagi Mashuri, penyair asal Jawa Timur, untuk membuat blog berisi karya-karya pribadi pria yang juga menggeluti dunia jurnalistik ini. ”Blog pribadi yang saya buat terutama bertujuan sebagai media komunikasi di komunitas sastra, khususnya komunitas sastra Jawa Timur. Alasannya, saat ini semakin sedikit waktu kami miliki untuk sekadar bertemu atau berdiskusi,” katanya.

Mashuri yang memiliki beberapa blog namun hanya mampu memelihara satu saja menambahkan, blog bagi penyair muda seperti dirinya bermanfaat sebagai ruang alternatif berekspresi. Terlebih, saat ini penerbitan karya sastra dalam bentuk cetak bagi pengarang yang belum dikenal sangat sulit. Maka, blog adalah wadah paling tepat untuk menampilkan kreasi-kreasi mereka. ”Sayangnya, akses internet masih menjadi sesuatu yang langka di masyarakat,” sesal pria pemilik blog mashurii.blogspot.com ini.

Sementara F Aziz Manna merasakan sulitnya bertemu dengan teman-teman sesama penulis atau penyair sejak mereka memiliki kegiatan atau pekerjaan rutin lain. Kegiatan berdiskusi dan berbagi pengalaman seputar perkembangan dunia sastra menjadi aktivitas yang semakin jarang dilakukan. ”Padahal, dari diskusi dan sharing itu kami biasanya mendapat ide untuk menulis atau berkarya,” jelas pegiat sastra yang kini bekerja di salah satu surat kabar di Surabaya ini.

Jika frekuensi berdiskusi, yang dikatakan Aziz sebagai ajang ”mencela” karya sesama, semakin berkurang, dikhawatirkan semangat berkreasi pun semakin menurun. Maka, ketika teknologi memudahkan cara berkomunikasi melalui media blog, kekhawatiran itu pun diminimalisasi. ”Blog adalah sarana komunikasi yang paling pas buat kami di komunitas sastra yang masih membutuhkan diskusi, meski di dunia maya,” lanjut Aziz. Pertemuan secara fisik memang kadang masih dilakukan Aziz maupun Mashuri dan teman-teman, tetapi sangat jarang.

Kesamaan tujuan menjadi indikator adanya kebutuhan yang sama ketika para penyair memutuskan untuk membuat blog. Dalam hal ini kebutuhan untuk selalu berhubungan, berkomunikasi, berdiskusi, berimajinasi bersama, hingga mungkin ”gila” bersama. Tak jarang karya-karya sastra hebat lahir dari kegiatan ngalor- ngidul bersama ini. Dan, ketika kondisi dan perkembangan hidup memaksa mereka untuk jarang bertemu muka, membuat blog adalah jalan keluarnya. Pertemuan ide menjadi fokus terpenting ketimbang pertemuan fisik. ”Kami butuh ruang untuk mengomunikasikan sekaligus mengekspresikan karya-karya kami. Dan blog adalah ruang yang tepat,” ujarnya lagi.

Ruang alternatif yang ditemukan penyair melalui blog telah memberikan kesempatan cukup luas bagi mereka untuk terus berkarya sambil membagi hasil kerja kreatif itu ke seluruh peminat sastra di pelosok negeri. Lalu, apakah langkah itu akan semakin menghambat perluasan produk kesusastraan mereka melalui wadah konvensional berupa buku cetak maupun pentas-pentas panggung sastra? Baik Mashuri maupun Aziz tidak meyakini hal itu akan terjadi.

Membantu penulis

Bagi Indra Tjahyadi, penyair muda yang juga pengajar di Fakultas Sastra dan Filsafat Universitas Panca Marga, Probolinggo, blog justru sangat membantu para penulis untuk menerbitkan karya-karya mereka secara bebas. ”Blog tidak mengenal ketentuan-ketentuan khusus yang biasa diberlakukan para penerbit buku atau surat kabar kepada penulis yang ingin karyanya dipublikasikan. Apa pun yang ingin kita tulis, blog memberi ruang itu tanpa batas,” ujarnya.

Namun, Indra justru menyayangkan opini masyarakat secara umum yang berpendapat bahwa penulis maupun pe- nyair yang memprasastikan karyanya melalui blog bukanlah sastrawan yang sesungguhnya. Cara publikasi karya sastra melalui media cetak, baik buku, koran, maupun majalah, tetap menjadi ukuran utama seseorang dianggap sastrawan atau bukan. ”Menurut saya, pandangan itu tidak cocok di masa teknologi informasi dan komunikasi seperti sekarang,” lanjut Indra.

Dan, itulah arti blog buat para penyair. Menurut mereka, setiap wadah tetap memiliki kekurangan dan kelebihan. ”Blog memang menjamin akses yang lebih luas, namun sistem filter yang dimilikinya sangat rapuh, bahkan cenderung tidak ada,” kata Aziz.

Sementara Indra Tjahyadi justru menyukai kebebasan yang ditawarkan blog. Sedangkan Mashuri memilih untuk tidak menuangkan seluruh karya di blog-nya.

Bagaimanapun, blog merupakan tawaran menarik bagi siapa pun yang gemar menulis dan ingin mengembangkan dirinya di sebuah ruang yang maha luas namun tetap berbatas, bukan begitu? (PALUPI PANCA ASTUTI/ Litbang Kompas)

Puisi-puisi Kriapur


KRIAPUR (1959-1987)

Para pemirsa blog yang budiman,
Selamat berjumpa lagi dengan saya, pemandu blog kesayangan anda. Kali ini saya akan menayangkan tiga buah puisi karya Kriapur, seorang penyair Indonesia kelahiran Solo, 6 Agustus 1959. Penyair yang sangat berbakat ini meninggal dalam usia relatif muda, 28 tahun. Ia tewas dalam sebuah kecelakaan lalu lintas di daerah Batang, 17 Februari 1987.

Bagi Kriapur, yang bernama asli Kristianto Agus Purnomo, seorang penyair adalah seorang yang: mengembara di tengah hutan perlambang yang dihuni oleh kata-kata yang dinamainya dunia supernatural, dimana bahasa telah menjilma bangunan transendental yang megah dan mempesona. Logikanya merupakan logika yang akrobatik dan patah-patah karena logika semacam itu merupakan logika transparan tapi justru memberikan kemungkinan-kemungkinan baru yang tak terduga (1988, 12)

Tanpa banyak cingcong, bacot, dan omong lagi, langsung saja saya persembahkan tiga buah puisi karya Kriapur yang saya ambil dari bukunya Mengenang Kriapur (1959-1987) yang diterbitkan oleh Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1988.

Akhir kata: “Selamat Menikmati!”

Puisi Kriapur

KUPAHAT MAYATKU DI AIR

kupahat mayatku di air
namaku mengalir
pada batu dasar kali kuberi wajahku
pucat dan beku

di mana-mana ada tanah
ada darah
mataku berjalan di tengah-tengah
mencari mayatku sendiri
yang mengalir
namaku sampai di pantai
ombak membawa namaku
laut menyimpan namaku
semua ada di air

Solo, 1981

AKU INGIN MENJADI BATU DI DASAR KALI

Aku ingin menjadi batu di dasar kali
Bebas dari pukulan angin dan keruntuhan
Sementara biar orang-orang bersibuk diri
Dalam desau rumput dan pohonan

Jangan aku memandang keluasan langit tiada tara
seperti padang-padang tengadah
Atau gunung-gunung menjulang
Tapi aku ingin menjadi sekedar bagian
dari kediaman

Aku sudah tak tahan lagi melihat burung-burung pindahan
Yang kau bunuh dengan keangkuhanmu —yang mati terkapar
Di sangkar-sangkar putih waktu
O, aku ingin jadi batu di dasar kali

1982

NATAL BAGI MUSUH-MUSUHKU

aku tak mampu membeli daun-daun
ini fajar dengan bangunan dari air biru
membebaskan ketaklukan diriku
dan mereka yang terus mencari kematianku
kuterima dengan doa
dan bukan lagi musuhku

Solo, 1986


Senin, 25 Februari 2008

Foto-foto (1)




Pemirsa blog yang budiman,

Selamat bertemu lagi dengan saya, pemandu blog kesayangan anda. Kali ini saya akan menampilkan beberapa foto hasil jepretan saya. Maklum beberapa hari terakhir ini saya lagi kecanduan untuk memfoto apa saja.

Sekian dulu prakata dari saya. Selamat menikmati.

Kamis, 24 Januari 2008

Puisi-puisi Indra Tjahyadi


AKU DAN EKSPEDISI WAKTU

Pemirsa blog yang budiman,
Kali ini saya menayangkan tiga puisi saya yang termuat dalam buku kumpulan puisi tunggal saya yang pertama Ekspedisi Waktu. Buku ini diterbitkan pertama kali oleh penerbit Atlas Publishing, pada bulan Desember, 2004. Buku ini memuat 73 puisi yang saya ciptakan dalam rentang tahun 1995 sampai dengan tahun 2004. Dalam buku ini dieditori oleh Sdr. Manaek Sinaga dan diberi pengantar oleh Dr JJ Kusni, serta diberi catatan proses kreatif oleh saya sendiri.
Semoga penayangan ini dapat memberikan manfaat bagi sekalian para pemirsa blog yang budiman. Kiranya sebegini dulu hantaran dari saya. akhir kata saya ucapkan selamat menikmati.

SETELAH MENGANTARMU

setelah mengantarmu
malam terasa begitu mencekam
detik-detik yang bergerak di dalamnya
pun terasa ikut menakutkan

dua-tiga orang berjaga-jaga
dengan perasaan curiga
membangun percakapan dengan teror
teror dan isu-isu yang dipenuhi anarkisme

ada sejumput jantung
yang berderakan, di situ

melayang-layang
dalam sergapan ngeri


tapi, sebuah kabar datang lagi
seperti membuat barisan polisi
yang berdiri di depan plaza

melahirkan peradaban
sambil menggeledah
tubuh manusia

1997.

DI SEBUAH KAFE

Di sebuah kafe yang senyap kulihat tubuhmu.
Di dinding, bayang-bayang kita yang ragu membeku.
Tapi, betapakah aku tak pernah tahu manakah yang retak
terlebih dahulu: dinding itu atau bayang-bayang kita yang
kelabu. Bahkan ketika seorang pelayan datang dan aku
biarkan sosokmu berlalu, sementara di jalanan awan perlahan
berubah mendung.

1998.

IMAJISME XII
: buat Y.A.

Kunang-kunang dan aku
menyusuri jalan-jalan
yang membentuk lingkaran
di matamu.

Tanah-tanah
mencercap seratus kisah perjalanan
dan batu-batu.

Burung-burung
berlepasan dari taufan
dan tahun-tahun
berkabut.

Segala noda hitam
menancap
di dasar
jantungku:
rasa sakit
tergila
atau ajal
yang senantiasa
memekik
dalam goa
kelam
kalbuku.

Tetapi,
demikianlah,
keperihan,
kesunyian,
keindahan,
kerinduan
dalam ingatan-ingatan
yang menafikan
gemuruh.

Seperti bau-bau
geludhuk:
keletihan
dari seorang pemabuk
yang merasa melihat bulan
sepanjang mendung.

1999-2000.

Selasa, 22 Januari 2008

Puisi-puisi Iwan Simatupang


IWAN SIMATUPANG (1928 – 1970)

Pemirsa blog yang budiman,
Selamat bertemu lagi dengan saya. Pada episode kali ini saya akan menayangkan tiga buah sajak dari Iwan Simatupang, seorang sastrawan besar Indonesia yang dilahirkan di Sibolga, Sumatera Utara, pada tanggal 18 Januari 1928, dan meninggal pada 4 Agustus 1970, yang masing-masing berjudul Requiem, Potret, dan Ziarah Malam, yang kesemuanya saya ambil dari buku kumpulan puisi Iwan Simatupang yang berjudul Ziarah Malam (Grasindo, 1993).
Sajak Requiem menarik bagi saya bukan hanya disebabkan sajak tersebut diciptakan di Surabaya, sebuah kota yang saya cintai, tetapi juga karena sajak tersebut memunyai kekuatan puitik yang kuat. Membaca sajak tersebut saya seakan dihadapkan pada khazanah puisi epik, yang saat ini semakin tidak saya temui. Sementara sajak Potret dan Ziarah Malam saya pilih untuk ditayangkan karena kedua sajak tersebut memiliki napas-cerita yang baik dan kuat, meskipun dikemas dalam bentuk puisi. Dan herannya lagi, meski naratif, ternyata kedua puisi tersebut tidak kekurangan kekuatan puitik.
Untuk menjawab mengapa napas-cerita terasa begitu kuat dan kentara pada sajak-sajak Iwan Simatupang, kiranya perkataan Dami N. Toda dalam Catatan Penutup untuk buku kumpulan puisi tersebut sungguh sangat pantas, yakni: (bahwa) tarikan dan tiupan napas-cerita dalam penciptaan puisi (yang naratif), memang wajar saja, karena puisi itu juga kisahan rasa manusia liris yang dapat dijabar dari suatu bingkai atau mengarah justru kepada membentuk bingkai (kisah), tetapi bagi Iwan rupanya peristiwa kreatif model begitu merupakan gejala yang mendesak-desak dari alam bawah-sadar panggilan naratif untuk menulis kisah/ drama/ novel sebagai dunia utamanya. (1993: 46)
Memang benar adanya, Iwan Simatupang lebih dikenal sebagai novel, cerpenis, penulis naskah darama, ataupun esais ketimbang sebagai penyair sebab Sebagai penyair, namanya jarang disebut-sebut atau dibicarakan secara khusus oleh para peminat dan kritikus sastra. Ini beralasan jika kita ingat bahwa hingga akhir hayatnya Iwan tidak memiliki kumpulan sajak.” (1993: v)
Ah, betapa ironisnya. Hanya karena tidak memiliki buku kumpulan puisi, orang sekaliber Iwan Simatupang jarang dibicarakan dalam khazanah perpuisian Indonesia. Ini menimbulkan kecurigaan, jangan-jangan banyak penyair-penyair Indonesia yang sebenarnya berkualitas bagus, hanya karena tidak memiliki buku, ia jadi jarang, atau bahkan tak pernah, dibicarakan.
Maka tanpa banyak omong lagi, saya persembahkan tiga buah sajak karya Iwan Simatupang. Selamat menikmati.

REQUIEM
mengenang manusia perang I.H. Simandjuntak:
Let., bunuh diri!

Aku tiada dapat katakan
apakah pergimu pada fajar atau senja
aku hanya tahu
kau pergi berlangit merah mencerah

Sejak kau pergi, prajurit-kematian,
kami berkesulitan menghalau gagak-gagak
ingin berhinggapan di lembah kami
dan berseru seharian dalam suatu lagu
yang bikin kami pada bergelisahan

Langit kami kini bertambah mendung
bukan oleh arakan mega yang bawa rintik-rintik
tapi oleh kawanan gagak
yang kian tutupi celah-celah terakhir
dari kebiruan langit jernih
dan kecuacaan mentari

Kawan
kami kini memikirkan
pengerahan gadis-gadis dan orang tua kami
untuk menghunus segala tombak dan keris hiasan
yang berpacakan di dinding ruang-ruang tamu kami
sebab
sejak kau pergi
pemuda-pemuda gembala dan petani kami
berlomba-lomba meninggalkan lembah
dan pergi lari ke kota
jadi penunggu taman-taman pahlawan
atau pembongkar mayat-mayat

Saksikanlah
di sini ada tantangan dari suatu kemuraman
yang ingin pudarkan segala irama dan kehijauan
dengar di sini ada kesediaan dari nafas demi nafas
yang ingin pertahankan keluasaan jantung berdetak
dalam deretan detik demi detik

Tidak kawan
kami tiada akan mencari pelarian kami
ke dunia tempat mantera berserakan
walau kami tahu
bahwa mantera ditakuti gagak-gagak
dan akan buat langit kami
kembali cerlang

Kami benci mantera-mantera
kami benci semua yang bukan datang
dari kelenjar dan darah kami
sebab kamu tahu
kekuatan yang dalam tanggapan
adalah jua kelemahan

Tidak kawan
kami akan tantang pertarungan ini
tanpa sikap dan gita kepahlawanan
sebab kami tahu
pahlawan berkehunian
bukan di bumi ini.

Kami tiada berani ramalkan
kesudahan dari pertarungan ini
kebenaran bukan lagi dalam
ramal, tenung ataupun renung

Tapi
andaikata lembah kami
menjadi lembah dari gagak-gagak
dan belulang kami mereka jadikan
bagian dari sarang-sarang mereka
ketahuilah
di sini telah rebah
manusia-manusia yang tiada akan
memikul tanda-tanda tanya lagi

Tapi
andaikata gagak dapat kami tiwaskan satu demi satu
dan haruman langit dapat kami hirup dengan luasa kembali
o, kegembiraan kami tiada akan kami unjukkan
dengan sesaat pun jatuh bertiarap di puncak bukit-bukit kami
sambil menatap kerinduan ke udara kosong
dan membacakan mantera-mantera …

Pun tiada akan kami kutuki
pemuda-pemuda kami yang lari ke kota
mencari kegemuruhan dalam menunggu kelengangan
sebab
kami mengibai semua mereka
yang tiada tahu dengan diri
pada kesampaian di tiap perbatasan

Inilah langkah pertama kami
kepengijakan suatu bumi baru
di mana kami bukan lagi tapal
dari kelampauan dan keakanan
tapi
kamilah kelampauan dan keakanan!

Inilah tarikan-nafas kami yang pertama
dalam penghirupan udara di suatu jagat baru
di mana nilai-nilai ketakberhingaan
bukan lagi terletak dalam
ramal, tenung ataupun renung
tapi:
dalam kesegaran dan keserta-mertaan!

Aku tiada dapat katakan
apakah pergimu fajar atau senja
aku hanya tahu
kau pergi berlangit merah mencerah,
pahlawan!

Surabaya, 29 Januari 1953

POTRET

Di sudut kamat seorang dara
Tergantung potret serdadu senyum:
‘Tunggu! Sepulangku, bahtera kita kayuh!
Di atasnya salib: Pahlawan kasih yang
Belum jua pulang.

Kini dara sudah lama tak menunggu lagi.
Langkah-langkah pelan, yang biasa datang
Menjelang tengah malam dari kebun belakang
Bawa cium dan kembang—
Takkan lagi kunjung datang.

Di sudut kamar seorang dara
Tergantung potret serdadu senyum:
‘Jangan tunggu! Aku bangkai dalam bingkai!
Di atasnya salib: Pahlawan kasih yang
Masih jua belum pelung

Kini dara sudah lama dalam biara.

ZIARAH MALAM

Tahun lalu ia lari tinggalkan biara
Kerna tak tahu tempatkan kasih
Pada Tuhan atau padri muda
Yang masuk biara kerna ingin tobat
Dari dosa: memperkosa ibu tirinya

Bulan lalu ia diangkut ke sanatorium
Kerna tak tahu apa lagi akan dikasihinya
Setelah Tuhan dan padri muda ia tinggalkan
Dan kasih yang membara di buah dadanya
Akhirnya mengapung ke paru-parunya

Siang tadi ia dikubur kemari
Kerna lewat tahu, bahwa kasih
Yang pulang dari Tuhan, daging dan kelengangan
Hanya akan berterima lagi oleh
Tepi pertemuan kembola dan langit malam

Dan di bimbang bintang Tuhan masih Maha Pengasih

Senin, 14 Januari 2008

Puisi-puisi Subagio Sastrowardoyo


SUBAGIO SASTPWARDOYO (1924 - 1995)

Pengantar

Subagio Sastrowardoyo, sebuah nama paten dus beken dalam perpuisian Indonesia. Sulit sekali bagi saya untuk menghindar dari nama tersebut tiap kali berbicara tentang dunia perpuisian Indonesia, meski setelah beliau wafat pada 18 juli 1995, beratus-ratus (atau bahkan beriba-ribu) penyair bermunculan, tetapi nama tersebut terus saja menghantui benak saya.

Subagio Sastrowardoyo, lahir di Madiun, 1 Februari 1924. Selain sebagai seorang penyair, ia juga dikenal sebagai seorang kritikus sastra, esais handal, bahkan cerpenis yang mumpuni. Maka, hemat saya, sudah sepantasnya kita menaruh hormat atasnya.

Kali ini, dalam blog yang cukup sederhana ini, saya akan menayangkan 2 puisi karya Subagio Sastrowardoyo yang keduanya saya comot dari buku puisi Dan Kematian Makin Akrab (Grasindo, 1995). Buku puisi ini memuat 100 puisi Subagio Sastrowardoyo. Kiranya, akan sangat merugi apabila seorang pecinta atau penyuka puisi melewatkan buku ini.

Dua buah puisi Subagio Sastrowardoyo yang saya tayangkan kali kebetulan memiliki judul yang sama Tamu. Saya sendiri tidak tahu terjadinya penjudulan yang sama atas 2 puisi yang berbeda ini dilakukan oleh penyairnya secara sengaja atau tidak. Tetapi, jujur saja, sebenarnya saya tak terlampau peduli dengan hal itu. Sebab, toh kedua puisi dengan judul yang sama tersebut tetap memiliki kekuatan dan keasyikan masing-masing.

Selamat menikmati!

Puisi-puisi Subagio Sastrowardoyo

TAMU

masih ada yang mau singgah
di pondok tua — kesan sesal
gamit rindu, gores duka
biar terbuka pintu muka
buat tamu tak terduga
siapa akan mengajak berbicara —
rumput, batu, matahari
arti kabur di pudar hari
di bawah jenjang berdiri bayang
di tangan pisau belati
tiba ia menoleh memperhati

TAMU

Lelaki yang mengetuk pintu pagi hari
sudah duduk di ruang tamu. Aku baru
bangun. Tapi rupanya ia tidak
merasa tersinggung waktu aku belum
mandi dan menemui dia. Rambutku masih
kusut dan pakaianku hanya baju kumal
dan sarung lusuh.
“Aku mau menjemput,” katanya pasti,
seolah-olah aku sudah berjanji sebelumnya
dan tahu apa rencananya.
“Bukankah ini terlalu pagi?” tanyaku ragu.
“Dia sudah menunggu!” Ia nampak tak sabar
dan tak senang dibantah. Aku belum tahu
siapa yang ia maksudkan dengan “dia”,
tetapi sudah bisa kuduga siapa.
“Tetapi aku perlu waktu untuk berpisah
dengan keluarga. Terlalu kejam untuk
meninggalkan mereka begitu saja. Mereka
akan mencari.”
Nampaknya tamu itu begitu angkuh seperti
tak mau dikecilkan arti. Siapa dapat lolos
dari tuntutannya.
Sebelum aku sempat berbenah diri ia telah
menyeret aku ke kendaraannya dan aku dibawanya
lari entah ke mana. ke sorga atau ke neraka?”

Rabu, 09 Januari 2008

Puisi-puisi Toeti Heraty


Toeti Heraty: Perempuan Penyair Itu

Pengantar

Meskipun saat ini telah banyak bermunculan perempuan-perempuan penyair dalam lapangan kesusastraan kita, akan tetapi sangatlah sulit bagi saya untuk tidak menyebutkankan nama Toeti Heraty, seorang penyair perempuan kelahiran Bandung, 27 November 1933, tiap kali ada yang bertanya pada saya siapa perempuan penyair yang paling saya sukai. Bahkan tatkala ada seorang kawan bertanya pada saya siapa saja penyair Indonesia yang saya sukai karyanya, saya masih saja tak mampu menahan mulut dan lidah saya untuk menyebutkan nama Toeti Heraty.

Saban berjumpa dengan sajak-sajak Toeti Heraty saya seakan sedang berhadapan dengan seorang perempuan sederhana yang sekaligus misterius dan kompleks, yang begitu menyebalkan sekaligus menarik, yang jujur sekaligus tegas, dengan cara bercakap yang cerdas tapi tetap menyembulkan kecantikan. Pendeknya sajak-sajak Toeti Heraty adalah sajak-sajak yang khas. Dalam artian, sajak-sajaknya adalah sajak-sajak yang mampu berdiri di luar arus, yang senantiasa berhasil menjadi dirinya sendiri. Maka tak salah kiranya andaikata Prof. Dr. Budi Darma dalam pengantarnya untuk buku kumpulan sajak Toeti Heraty Notslagi = Transendensi (1995) sampai berakata: “Sebagai penyair dia merupakan sosok tersendiri.”
Dalam memberikan pujian terhadap Toeti Heraty dan sajak-sajaknya, Prof Dr. Budi Darma tidaklah sendiri. Sebutlah nama-nama besar semacam Subagio Sastrowardoyo, Harry Aveling, ataupun A. Teeuw adalah nama-nama besar dalam lapangan kritik sastra Indonesia yang juga pernah memuji Toety Heraty dan sajak-sajak ciptaannya setinggi langit.
Atas pertimbangan inilah, meski belum mendapatkan ijin penyairnya (untuk ini saya mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya pada Ibu Toeti Heraty sebab telah menayangkan sajak-sajaknya tanpa meminta ijin terlebih dulu), kiranya, ada baik buat saya untuk menayangkan beberapa sajak Toeti Heraty yang terkumpul dalam bukunya Nostalgi = Transendensi (Grasindo, 1995) dalam blog saya ini. Dengan harapan penayangan sajak-sajak tersebut dapat semakin menyadarkan kita akan tradisi puisi yang telah kita miliki sekalian dapat menjadi pemacu perkembangan dunia perpuisian Indonesia saat ini ataupun kelak di kemudian hari.
Selamat menikmati. Semoga bermanfaat.

Sajak-sajak Toeti Heraty

NOSTALGI = TRANSENDENSI

Nostalgi sama dengan transendensi
betul, ini permainan kata
lagi-lagi kata asing
tapi apa sih yang tidak asing
tapi itu hanya ilusi
kembali pada nostalgi
berarti kehilangan
yang dulu-dulu dibayangkan
hanya tidak mencekam lagi, karena
lembut dengan ironi

saat kini yang berkilas balik
siapa tahu nanti …
kini — dulu — nanti, teratasi
bukankah itu transendensi?

POST SCRIPTUM

Ingin aku tulis
sajak porno sehingga
kata mentah tidak diubah
jadi indah, pokoknya
tidak perlu kiasan lagi
misalnya payudara jadi bukit,
tubuh wanita = alam hangat
senggama = pelukan yang paling akrab

yang sudah jelas
tulis sajak itu
antara menyingkap dan sembunyi
antara munafik dan jatidiri.

CINTAKU TIGA

cintaku tiga, secara kanak-kanak
menghitung jari
kusebut satu per satu kini
yang pertama serius dan dalam hatinya
tidak terduga
bertahun-tahun ku jadi idaman
mesraku membuat pandangannya sayu mungkin
ia merasa iba padaku
ingin aku membenam diri, melebur
dalam mesra rayu, iba dan sayu
pandangnya yang begitu sepi, tapi
ia paling mudah untuk dikelabui—

yang lain, berfilsafat ringan dan kesabaran
tak pernah kulepas ia dari pandangan
petuah orang, — lidah tak bertulan —
tak kupedulikan karena ia
kata-katanya tepat untuk setiap peristiwa
sesudah akhirnya mengecap bibirnya
ia tinggalkan aku dan sesudah itu?
ah, biasa saja, tak ada sesuatu terjadi
memang ia tidak begitu peduli —

pelu pula kusebut yang ketiga, bukannya
lebih baik dirahasiakan saja, karena
ia datang hanya malam hari, engsel pintu pun
telah diminyaki
suaranya tegang, berat, menghe;a
ke sorga tirai-ranjang
pandang pesona tajam memaksa, akhirnya
menghitung hari setiap bulan

meskipun itu urusan nanti
ketiga cinta yang aku miliki
kapan kujumpai pada satu orang?

ELEGI II

1

dengan Sryani, dari A sampai Z
Asrul dan Zaini, 1967

kau gelisah sayang —, katakan itu cinta
tampaknya malam akan menyingkirkan awan
tetapi pucuk-pucuk mendung
memercikkan getar

pohon tegak-tegak
rumput semak dan riuh kota telah lelap
bersembunyi dalam satu nada sunyi
menunggu adalah pembunuan lambat
yang sedang berlalu
dan semangat hidup hilang melewati
lobang-lobang dalam kelam

kau gelisah sayang —, katakan itu cinta
kau membuang muka tak mau melihat
bulan dilingkari sepi

sepi dan detak jantung dua-duanya menjadi
degup lambat dan semakin berat
menunggu taufan selesai.

2

katakan itu cinta
yang kehilangan mimpi dan sisa-sisa
diulur dari hari ke hari
dalam satu dunia
kelabu —, katakan itu cinta
yang kehilangan mimpi, tapi
apa yang hendak dikata bila
tiba-tiba perahu berderet menyisih
bergulung layar
dan mimpi dibawa gelombang kembali
terdampar

bukankah kita undur setapak karenanya
dan kelip-kelip pelita malam adalah mata
berkedip bertahan
mengimgkari kekalahan

3

karena kupu-kupu yang hinggap —
kelepar kuning membuat semakin pekat
sejuk hijau, yang menjadikan
bayangan cinta semakin mesra
di antara semak kuncup yang merah
hampir-hampir merapat ke tanah
tapi nyala kelopak sempat
menjadikan bayangan cinta
lebih mesra
dan tangan-tangan cemara yang mengusap langit
lebih asyik mengagumi lambaian
satu pohon palma
jadikan bayangan cinta lebih mesra

waspadalah, waspadalah karena cinta.

4

suatu saat
bulan akan cemerlang kembali
ia cemerlang sekali

ah, bulan —,
dilingkari sepi lebih cemerlang
dari semula, ia kembali
ia kembali

bulan dan cemerlang
membakar kerat-merat dendam dan
usapan-usapan yang meredam, hilangnya
mantra sakti yang mendendangkan
lagu tidur yang membuai

waspadalah terhadap cinta —
bulan, bulan telah kembali.

PENYESALAN

mengapa justru malam itu
kau datang padaku?

dalam mimpi lembayung bugenvil
dan bayangan berhadapan, tiba-tiba nyata:
lelaki mencium gadis jangkung
mengecup jari tangannya

berdua kita tegak
salah seorang berpaling muka
engkau atau aku? mengapa?

SEKALI-SEKALI

untuk P.H.

setelah tiga hari bercinta, sudah kuduga
kata-kata tegas terang
tak akan menjelaskan
oasis di tengah padang
dan bahwa hidup dijelajahi dalam-dalam
sehingga mereka enggan kembali

dari dunia, dibatasi oleh tirai
bulu mata berkedip dan lingkar cahaya
yang tak lebih
hanya boleh menerangi bagian pipi
kesegaran mata air, kepenuhan
madu hangat-tungku
tiada lain adalah kecupanmu

siapa dia, siapa aku bila kulit
pemisah dengan ruang menghantu
hanya jadi lembab selubung karena
belai merah lembayung
mendekap muka pada dada
membenam dalam bayangan sana sini
tersingkap rahasia dan gelap

lalu terdiam temukan kata-kata kembali
terucap, tanpa ujung pangkal
sebelum lingkungan mengambil wujud lagi
betapa kejam
perpisahan setelah sama-sama mendiami
liang semesta penuh ilham
dan saingan pertanyaan:
bila bertemu kembali?
akan seperti ini?
jadi kesenyapan tanya-jawab, saat akrab
yang telah lenyap hanya didambakan
samar-samar nanti:
bunga berkelopak hitam
berkembang mendadak dalam gelap
untung, tak ada yang menyaksikan

April ‘69

Minggu, 06 Januari 2008

KECEWA

Ketika lagi asyik-asyiknya nonton sebuah sinetron remaja yang ditayangkan oleh sebuah stasiun televisi swasta di televisi, seorang keponakan yang masih bersekolah di sekolah dasar tiba-tiba bertanya kepada mamanya: “Ma, apa sih artinya kecewa itu?”
“Kecewa itu artinya ya sedih,” jawab si mama sekenanya.
Mendengar jawaban dari si mama, saya yang kebetulan duduk tak jauh dari mereka sontak mengernyitkan dahi.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (2001) kata kecewa memiliki 3 arti. Pertama, kecil hati; tidak puas (karena tidak terkabul keinginannya, harapannya, dsb); tidak senang. Kedua, cacat; cela. Dan ketiga, gagal (tidak berhasil) dalam usahanya, dsb. Sementara untuk kata sedih KBBI memberi 2 arti. Pertama, merasa sangat pilu di hati; susah hati. Dan Kedua adalah menimbulkan rasa susah (pilu, sdb) dalam hati; duka. Pertanyaannya apakah antara kata kecewa dan sedih memiliki kesamaan arti?
Ada baiknya kita sama-sama melihat contoh kalimat di bawah ini:
Kami kecewa dengan penyambutannya yang dingin.
Kami sedih dengan penyambutannya yang dingin.
Sepintas lalu kedua contoh kalimat tersebut memiliki arti yang sama, tapi apabila kita teliti lebih lanjut, jelas-jelas memiliki arti dan rasa yang berbeda. Penjabarannya adalah kalimat pertama kami mengalami suatu ketidakpuasan akibat dari penyambutannya yang dingin. Ketidakpuasan bisa berbentuk apa saja, ia bisa saja sedih tetapi belum tentu juga sedih, sebab ia bisa saja marah ataupun kesal dalam mengungkapkan kekecewaannya. Sementara pada kalimat kedua, apa yang dialami oleh kami tehadap penyambutannya yang dingin jelas-jelas berbuah sedih. Bukannya marah, kesal ataupun kecewa. Sedih merupakan salah satu hasil ungkapan kecewa. Dan sebagai hanya salah satu hasil dari kecewa, maka kecewa tidaklah dapat semena-mena dipersamakan arti dengan sedih.
Mencermati hal ini, maka pada Tesaurus Bahasa Indonesia (2007), Eko Endarmoko, sebagai penyusunannya, tidak menempatkan kata sedih sebagai salah satu sinonim kata kecewa, melainkan kata kecewa disinonimkan dengan kata: (1) berawai, getun, gigit jari, kecil/ patah sakit hati, menyesal, meringis, mutung; cua, kesal; (2) batal, gagal, kandas, kubra, patah pucuk; (3) cacat, cela. Sementara kata sedih disinonimkan dengan kata: benguk, duka, galabah, getir, gobar hati, gundah, masygul, menyernak, menyesak, merana, pedih, pilu, prihatin, sedu, senak, silu, sugul, susah hati; terdayuh, terharu, trenyuh; tersentuh.
Kini, hari kian beranjak malam, tayangan di televisi sudah berganti siaran langsung pertandingan sepak bola. Sebenarnya saya suka sekali menonton acara itu, tapi karena kecewa mendengar jawaban si mama, maka saya pun putuskan untuk masuk ke kamar dan tidur. Keputusan ini saya ambil sebab saya tak mau berlama-lama menanggung sedih karena kecewa mendengar jawaban si mama.

Sabtu, 05 Januari 2008

Kover Buku




Halo...
ini kover buku puisi saya yang pernah terbit. Silahkan diliat-liat.

Rabu, 02 Januari 2008

Puisi Beni R. Budiman

FRAGMEN PANDAI BESI
Harry Roesli

Lubang angin menempa kering batok kelapa sebagai
Bara yang nyala. Sebuah per baja menderita dalam
Marah yang sempurna. Gubuk bilik hitam pun merah
Gerah seperti membangun rumah dari biji keringat

Bau resah menyengat. Lalu beberapa palu melagukan
Nada pilu bertalu. Bunyi dalam nyanyi pandai besi
Yang nyeri. Berlari seperti derap kaki gerombolan
Kavaleri. Musik berisik yang menggoda para paduka

Dalam tempat yang sendiri para pandai besi seperti
Geram yang berjanji. Mata air yang terus meneteskan
Doa basah pada bukit batu. Cinta yang keras kepala
Ombak yang setia memimpikan karang menjelma pedang.

1996-1997


CAMPING

Di bawah gunung kesepian bergulung dan memuncak
Dan pada hamparan daratan kuabadikan kecemasan
Tebing batu cadas dan pinus-pinus yang mendengus
Angin mengirim cuaca sembab. Hujan tertahan awan

Dan dalam suasana temaram pohon karet berbaris
Sujud dalam sakit yang sama. Memberat ke arah
Barat. Burung-burung pun datang dan pergi dalam
Irama yang pasti. Udara seakan sendu mambatu

Dan hidup seperti tumpukan tenda yang dibangun
Dan diruntuhkan. Dan kematian berkibar pada tiang
Bendera di suatu perkemahan. Nyanyian yang rindu
Dilantunkan petualang di antara lereng dan jurang

1996


DI ANTARA BATU-BATU

Dia antara batu-batu lumut menari dalam air kali
Ganggang berenang tenang. Dan capung melayang
Bersama belalang. Anak-anak mandi di riang perigi
Nada cinta pun mengalun dibawa angin yang santun

Tapi di antara batu-batu, tubuh siapa yang setia
Dalam keramba. Patok-patok yang ditancapkan pada
Batu cadas telah membuat kandas mimpi yang bebas
Kayu dan bambu menjadi kerangkeng yang mengurung

Lagu lenggang kangkung. Dan harapan hanya pada
Hujan topan yang bisa mengirim banjir bandang
Sekaligus doa bagi kemerdekaan yang tinggal mimpi
Di keramba mungkin aku hanya ikan yang menghamba
Menanti mati tiba sambil memuja cerita nestapa

1996-1997


API UNGGUN

Malam itu tak ada kemarahan paling sempurna
Selain dingin dan gelap yang pekat. Kesepian
Mengekalkan suara burung hantu sebagai gerutu
Pinus dan trambesi mendesis dengan wajah lesi

Pada saat seperti itu, api unggunlah kerinduan
Tak tertahan itu. Panas yang mampu mencairkan
Kabut dan embun beku. Tumpukan kayu kering yang
Riang menjadi bara dan abu bagi api yang biru

Tapi, sempurnalah mimpi, rindu, dan angan-angan
Karena batu-batu tak mampu menumbuhkan nyala api
Dahan dan ranting menolak perapian. Dan gulita
Tak mencintai cahaya. Tapi memilih tanah basah

1996


GERIMIS MALAM

Gerimis malam mematahkan remang mercury
Dan bintang jadi ngeri mengulum senyum
Hanya kelelawar berani keluar. Terbang
Di antara pohon jambu batu yang kelabu

Gerimis pun memaksa setiap daun kelimis
Seperti habis keramas. Genting-genting
Mengkilap dalam gelap. Bulan pun tiarap
Bayang dan gamang menari seperti dalam

Fiksi. Mengejar tubuh lelah seperti gabah
Basah. Dan garis gerimis seakan berbaris
Membentuk barikade-barikade yang bengis
Kerangkeng yang kekal dengan lagu dingin

1996-1997


AKUARIUM

Ikankah kau yang bicara dalam kaca
Berenang dalam lampu remang
Di luar pecinta terpana pada ekormu
Yang mengundang tualang

Segera angan pun terbang pada ranjang
Pada rumah miring di atas tebing
Di bawahnya perigi mengucurkan sunyi
Dan anak sungai menyanyikan lagu nyeri

Ikankah kau yang bercanda tanpa baju dan celana
Yang memampangkan peta bagi para pengembara
Dan berjanji memberi arti sepi

Di luar bejana dadaku bergetar
Ketika bibirmu menjilat karang
dan tubuhmu bergoyang

1996


SANGLOT

Kesedihan bagaimanapun bukan harapan
Tapi biji benalu yang hinggap bersama
Burung. Dan matahari, angin, dan hujan
Mengirim gairah hidup yang baru bertahan

Dan paruh burung tak pernah mampu menolak
Makanan. Seperti juga kesedihan tak memilih
Tempat berteduh. Semua daerah baginya indah
Dan sebagai pohonan kita pun ibarat limban

Bagi segala kesedihan berjalan. Seperti kematian
Kesedihan menjelma kenyataan yang kita cintai
Mainan yang seringkali membuat takut dan bosan

1997

PERMAINAN


Akhir-akhir ini, entah apakah itu di surat kabar, majalah, televisi, radio, ataupun dalam percakapan sehari-hari, kemunculan kata permainan acapkali senantiasa dibarengi oleh kesan yang buruk, konotasi yang negatif. Entah siapa yang pertama kali memulainya, hanya saja semakin kemari, kata permainan semakin identik dengan kesan buruk, dengan konotasinya yang senantiasa negatif. Tengok saja dua contoh kutipan di bawah ini yang saya ambil dari isi berita yang ada di surat kabar:
Diduga telah terjadi
permainan oleh pejabat setempat berkaitan dengan tidak sampainya dana bantuan yang telah dianggarkan oleh pemetintah kepada pengungsi.
Semakin terpuruknya mata uang Rupiah terhadap USD, disinyalir karena adanya
permainan oleh para bankir asing.
Dalam percakapan sehari-hari, melekatnya konotasi negatif pada kata
permainan dapat dilihat dari contoh percakapan di bawah ini yang saya ambil dari sebuah percakapan di sebuah warung yang terletak di emper depan sebuah perguruan tinggi negri yang terkenal di Surabaya:
“Hebat! Ketangkap juga akhirnya dia!” seru Yang baca koran tiba-tiba.
“Ah, paling itu cuma permainan,” timbal Yang duduk bengong.
“Kok bisa?”
“Ya iyalah. Kan yang nangkep juga temennya sendiri. Paling bentar lagi juga dah dilepasin.”
Kata permainan adalah kata berimbuhan yang dibentuk dari kata dasar main yang diberi imbuhan pe + an. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata main berarti (1) melakukan permainan untuk menyenangkan hati (dengan menggunakan alat-alat tertentu atau tidak); (2) melakukan perbuatan untuk bersenang-senang (dengan alat-alat tertentu atau tidak); (3) berjudi; (4), dalam keadaan berlangsung atau mempertunjukkan (tontonan, dsb); (5) bertindak sebagai pelaku dalam sandiwara (film, musik, dsb); (6) berbuat serong; (7) bekerja, bergerak, berputar, dsb secara sepatutnya (tentang mesin, dsb); (8) berbuat sesuatu dengan sesuka hati; berbuat asal berbuat saja; (9) menjalankan usaha (taksi, becak, dsb); mencari nafkah dengan; dan (10) selalu menggunakan (memakai).
Sedangkan kata permainan dalam KBBI diberi arti (1) sesuatu yang digunakan untuk bermain; barang atau sesuatu yang dipermainkan; mainan; (2) hal bermain; perbuatan bermain (bulu tangkis dsb); (3) perbuatan yang dilakukan dengan tidak sungguh-sungguh (hanya untuk main-main); (4) pertunjukan, tontonan, dsb; (5) perhiasan yang digantung pada kalung dsb, seperti medalion; (6) perempuan yang diajak untuk bersenang-senang saja (tidak untuk dijadikan istri yang sah).
Dalam buku Tesaurus Bahasa Indonesia susunan Eko Endarmoko, kata main dipadankan dengan (1) bermain; (2) berjalan, berlangsung; (3) aktif, bekerja, berfungsi, beroperasi, hidup, jalan. Sementara kata permainan dipadankan dengan kata (1) mainan; (2) atraksi, pertunjukan, tontonan; (3) sandiwara, tipuan.
Dari paparan di atas, dapat dilihat bahwa kata permainan, sebenarnya, tidaklah selalu identik dengan hal-ihwal yang buruk atau negatif. Tapi, entah mengapa, tiap kali kata itu muncul yang hadir dalam diri kita adalah pemaknaan-pemaknaan yang cenderung berkonotasi negatif. Ada banyak hal, banyak sebab yang mengakibatkan hal ini bisa sampai terjadi. Entah apakah itu sesuatu yang serius, ataukah yang hanya bersifat permainan.