Minggu, 21 Agustus 2011

DUA KISAH CHARLES BAUDELAIRE

ORANG ASING*)

Cerpen: Charles Baudelaire

“Siapakah yang paling kaucintai, lelaki penuh teka-teki? Ayahmu, ibumu, saudarimu ataukah saudaramu?”

“Aku tak punya ayah, ibu, saudari, ataupun saudara.”

“Teman-temanmu?”

“Dan kini kaugunakan kata-kata yang tak pernah aku pahami.”

“Negerimu?”

“Aku tak tahu di garis lintang apa ia diletakkan.”

“Keindahan?”

“Aku membencinya sebagaimana kaubenci Tuhan.”

“Baiklah, lantas apa yang kaucintai, orang asing yang tak biasa?”

“Aku menyukai awan…awan yang melintas…di atas sana...di atas sana…awan yang mengagumkan!”

*) Diterjemahkan oleh Indra Tjahyadi dari The Foreigner, dalam Charles Baudelaire, Paris Spleen and La Fanfarlo, translated with introduction and notes by Raymond M. MacKenzie (Cambridge: Hackett Publishing Company Inc, 2008), hal. 5.

KEPUTUSASAAN PEREMPUAN TUA*)

Cerpen: Charles Baudelaire

Kerutan-kerutan di kulit perempuan tua mungil merasakan kegembiraan melihat bayi yang cantik yang dibicarakan banyak orang, seseorang yang ingin disenangkan oleh banyak orang; mahluk yang cantik ini serapuh dirinya, perempuan tua mungil, dan—juga seperti dirinya—tanpa gigi dan rambut.

Dan ia menghampiri bayi itu, berencana untuk membuat seutas senyum dan wajah penuh kegembiraan padanya.

Tetapi bayi yang takut itu meronta dibelaian perempuan jompo yang baik itu, dan memenuhi seluruh sudut rumah dengan dengkingannya.

Lantas perempuan tua yang baik itu berbalik pulang ke kesendiriannya yang abadi, dan ia menangis di sebuah sudut, berkata kepada dirinya sendiri”

“Ah, bagi kami perempuan-perempuan tua yang buruk, zaman-zaman menyenangkan tanpa rasa bersalah telah usai; dan yang kami bangkitkan hanyalah kengerian bagi bayi mungil yang ingin kami cintai!”

*) Diterjemahkan oleh Indra Tjahyadi dari The Old Woman’s Despair, dalam Charles Baudelaire, Paris Spleen and La Fanfarlo, translated with introduction and notes by Raymond M. MacKenzie (Cambridge: Hackett Publishing Company Inc, 2008), hal. 6.


Kamis, 19 Mei 2011

KOPLO

KOPLO

Cerpen: Indra Tjahyadi

Koplo, begitulah orang kampung kami biasa memanggilnya. Dia terlahir dengan nama Supeli. Emaknya, Mbok Dar, adalah seorang bekas pelacur murahan yang ketika masih dines dulu sering terkena penyakit kelamin. "Sipilis!" begitu kata Kak Muali, seorang bandar dadu yang rumahnya persis di sebelah rumahku, beberapa tahun yang lalu.

Mereka, Koplo dan emaknya, tinggal di sebuah rumah sesek, lima rumah dari rumahku. Meskipun demikian, Koplo tidak punyai bapak. Sebab, dulu ketika mengandungnya, mbok Dar, emaknya Koplo itu, masih dines. Jadi itu wajar kalau Koplo tidak punya bapak. "Lha wong segitu banyak, Bu. Siapa yang tahu," jawab Mbok Dar sekenanya ketika ditanya Bu Bidan perihal siapa ayah Koplo sebenarnya.

Bahkan yang lebih sadis lagi, ketika Koplo masih nethek, Mbok Dar masih saja tetap dines. Baru beberapa tahun kemuadian, setelah Koplo bisa merangkak, Mbok Dar pensiun dari dinesnya tersebut. Jujur saja, tak satu pun orang di kampung kami yang tahu kenapa Mbok Dar "pensiun" dari dinesnya itu. Sebagai gantinya, dia jualan rujak. Selain juga jadi tukang urut panggilan dan tukang cuci di rumah Pak RT Ngasdur.

Tak satu pun orang di kampung kami yang mau berteman dengan Koplo. Menurut orang kampung, Koplo itu gendheng. "Pernah," kata Jumari, seorang tukang becak yang biasanya tidur dalam becaknya di ujung kampung kami., dengan mimik wajah yang bersungut-sungut, "aku lihat Koplo berdiri di tengah pasar, ndak pake baju. Gendheng!"

"Sama, Ri," timpal Soleh, seorang sopir mikrolet yang rumahnya persis di depan rumahku, suatu hari ketika kami duduk-duduk di pucuk kampung, "Bahkan ketika itu, pelinya yang ndak disunat itu lho juga dibuat-buat mainan. Sampai ibu-ibu yang waktu itu belanja di pasar girab-girab. Dasar wong gendheng!"

Jujur saja, sebenarnya aku sendiri tidak tahu, Koplo itu waras atau gendheng. Sebab, menurutku, perilakunya sih biasa-biasa saja, sama seperti orang-orang kampung kami yang lainnya.

Sampai suatu malam dengan tergopoh-gopoh Koplo menghampiriku. Ketika itu aku lagi duduk-duduk sambil minum kopi di warungnya Cak Bogang. Seperti biasa kalau sudah di atas jam sebelas malam warung Cak Bogang sepi, biasanya cuma ada aku sama Cak Bogang saja, tapi malam itu Cak Bogang tidur di kursi panjang di salah satu sisi warungnya itu.

Aku sendiri tidak tahu, kenapa malam itu Koplo menghampiriku. Mimik wajahnya serius. Matanya memperlihatkan sorot yang tajam, lain dari biasanya.

"Din," katanya sambil menepuk punggungku. "Aku ingin kerja. Aku capek bikin susah emakku terus.Emakku sudah tua, Din. Kasihan kalau harus kerja terus-terusan"

Terus terang aku terkejut mendengar ucapnya. "Orang ini sebenarnya gila atau waras ya?" pikirku. Tapi, sebelum aku sempat mengeluarkan sepatah kata. Ia begitu saja pergi dari sisiku.

Semanjak malam itu aku tidak pernah bertemu lagi dengannya, bahkan orang-orang kampung kami pun tak ada satu pun yang tahu ke mana Koplo dan emaknya pergi.

Ada khabar yang beredar kalau Koplo dan emaknya itu hilang dicuri ninja. Maklum ketika itu berita tentang penculikan orang dan pembantaian orang oleh orang yang berpakaian hitam-hitam serta bertopeng mirip ninja dari Jepang sedang santer-santernya. Tapi, aku tidak percaya begitu saja. Lha Koplo itu siapa, kok pakai diculik atau digorok. Diakan bukan siapa-siapa. Cuma orang aneh.

Hingga pada suatu, ini kira-kira sekitar empat tahun kemudian, ketika aku sudah menikah, sewaktu di kios koran dekat terminal biasa aku mangkal sebagai sopir mikrolet, aku terkejut. Pada sebuah surat khabar yang biasanya menampilkan berita-berita kriminal potret Koplo terpampang dengan tubuh terkapar bersimbah darah, dan di sampingnya ada sebuah tulisan besar berwarna merah: SEORANG COPET TEWAS DITEMBAK KARENA COBA MELAWAN PETUGAS.

Senin, 16 Mei 2011

DONGENG MIGRASI ANTROPOSENTRISME NAIF

DONGENG MIGRASI ANTROPOSENTRISME NAIF

Cerpen: Indra Tjahyadi

Pada suatu malam ketika kalian membaca kumpulan sajak karya Afrizal Malna yang bertajuk Arsitektur Hujan, kalian seolah digiring masuk ke sebuah dunia. Sebuah dunia yang dipenuhi benda-benda. Kalian seakan dibuat tak pernah mampu melepaskan diri darinya. Bahkan kalian seakan dibuat bergantung padanya.

Tubuh kalian menggigil. Keringat dingin mengucur dari sekujur tubuh kalian. Deras? Ya! Membasahi sekujur tubuh kalian. Kalian ketakutan. Maka kalian tutup kumpulan sajak karya Afrizal Malna yang bertajuk Arsitektur Hujan tersebut cepat-cepat. Seolah kalian tak ingin berlama-lama terjebak dan hidup dalam dunia ciptaan Afrizal tersebut. Dunia tersebut terlampau mengerikan untuk kalian.

Hingga keesokan harinya kalian memutuskan untuk menaruh kumpulan sajak karya Afrizal tersebut di gudang rumah kalian yang berbau apek tersebut. Kalian timbun kumpulan sajak karya Afrizal tersebut dengan berbagai barang yang ada di rumah kalian. Kalian kubur benda tersebut. Kalian tak ingin bertemu lagi dengan benda tersebut. Kalian, memutuskan, untuk tak ingin lagi membacanya kapan pun. Kapan pun?

Akan tetapi, beberapa hari kemudian, di sebuah perpustakaan di kota kalian, kalian berkenalan dengan F.W. Bateson. Orangnya, menurut kalian, ramah, menarik, yang terpenting, adalah mempunyai kegemaran yang sama dengan kalian: berbicara mengenai sajak!

Pun kalian akhirnya menjadi akrab. Hari demi hari kalian lalui sambil berdiskusi tentang sajak. Pendek kata: tiada hari tanpa sajak! Akan tetai banyak orang mencemooh kalian. Memandang sinis pada kalian. Akan tetapi: “demi Tuhan, apakah ada yang salah berbicara mengenai sajak?”

Kalian tak perduli. Kalian terlanjur merasa asyik-masyuk dengan dunia kalian tersebut. Dunia yang dipenuhi oleh sajak, bukan televisi, kursi atau kamar mandi yang membuat kalian senantiasa telanjang, onani dan bergosok gigi. Kalian benar-benar merasa ada di sana.

Akan tetapi, sesuatu terjadi! Kalian harus berpisah! Kalian harus saling pindah dari kota kalian. Kalian bersedih. Akan tetapi, sebelum kalian saling berpindah ke tempat kalian yang baru, kalian masih sempat melakukan satu diskusi, untuk yang terakhir kalinya. Dan pada diskusi yang terakhir tersebut, ia berkata pada kalian: bahwa pengaruh zaman pada puisi tak dapat dilihat dari penyairnya, akan tetapi dari bahasa yang digunakannya.

Lalu, kalian pun saling berpisah. Kalian saling berpindah dari kota kalian. Dan kalian pun kembali bersendiri, hanya ditemani televisi, kursi dan kamar mandi kalian. Kalian pun memutuskan untuk pindah ke desa.

Beberapa minggu kemudian, kalian pun memutuskan untuk membersihkan rumah kalian. Mulai ruang tamu hingga gudang. Kalian melakukan packing barang-barang dan benda-benda milik kalian. Kalian pilih beberapa benda dan barang yang kira-kira akan kalian bawa pindah ke desa.

Akan tetapi, bukankah kalian ingin melepaskan diri dari barang dan benda-benda tersebut? Bukankah kalaian tak ingin bergantung pada barang dan benda-benda tersebut lagi? Maka, untuk apa kalian packing barang dan benda-benda tersebut?

Maka, kalian pun memutuskan untuk tidak membawa barang dan benda-benda tersebut. Kalian meutuskan hanya membawa barang dan benda yang perlu saja. Kalian tak ingin hidup seperti di kota kalian yang dulu. Kalian tak ingin menjadi manusia sepeti dalam dunia ciptaan Afrizal. Kalian mampu ada tanpa benda-benda dan barang tersebut. Kalian tak butuh benda dan barang-barang tersebut!

Akan tetapi kepindahan kalian ke desa tersebut ternyata tak membawa banyak perubahan dan manfaat bagi kalian. Sebab, baru saja kalian sampai pada hari ketiga masa kepindahan kalian ke desa tersebut, kalian sudah rindu dengan barang dan benda-benda. Kalian rindu televisi ketika hari menapak malam. Kalian rindu kursi ketika hari mengintip fajar. Kalian rindu cermin ketika hari melintas siang.

Memang, kerinduan tersebut dapat kalian rendam. Akan tetapi, hal tersebut hanyalah untuk beberapa hari saja. Dan ketika kalian mulai menginjak penghujung minggu kedua masa tinggal kalian di desa tersebut, kalian sudah tak mampu lagi meredamnya. Kalian pun memutuskan untuk kembali ke kota kalian. Dan hal tersebut berarti kembali hidup di tengah barang dan benda-benda.

Sebenarnya kalian malu untuk mengakui hal tersebut. Tetapi memang tak ada satu alasan pun yang sanggup membuat kalian untuk tidak mengakui hal tersebut. Maka, hari itu juga, kalian putuskan untuk kembali berkemas-kemas. Cepat-cepat? Ya! Dan ketika kalian berkemas-kemas tiba-tiba kalian mendengar suara pintu diketuk: Tok! Tok! Tok! Dan secara tidak sadar kalian pun berucap: masuk sajalah. Tidak ada siapa-siapa di sini; bahkan diri kami juga tak ada.[1]

Surabaya, 1997-2001.

--------------------------------------------------------------------------------

[1] Dari sajak Afrizal Malna yang berjudul Pulo Gadung Dari Peta 15 Menit.

Senin, 02 Mei 2011

Urgensi Posmodernisme

POSMODERNISME
Oleh: Indra Tjahyadi

Pengantar

Scott Lash dalam bukunya "The Sociology of Postmodernism" (1990) menyatakan bahwa posmodernisme telah menjadi istilah yang tersebar di mana-mana. Ia telah menjadi perbendaharaan ucapan sehari-hari. Bahkan ia telah menjadi semacam klise yang terus terngiang-ngiang.

Kiranya, apa yang dinyatakan oleh Lash tersebut bukanlah hal yang tidak berdasar. Di Indonesia, sebagai contoh, pembicaraan mengenai posmodernisme telah ramai berkelebatan semenjak tahun 1980-an. Para intelektual dan akademisi Indonesia semacam Yasraf Amir Piliang, Emmanuel Subangun, Rocky Gerung, Tommy F. Awuy, sampai Ignas Kleden pun pernah mengangkat topik dan tema posmodernisme dalam tulisannya. Bahkan seorang kritikus sastra muda terkini dari Surabaya, Ribut Wijoto, baru-baru ini mengeluarkan satu buku yang berkaitan dengan posmodernisme yang berjudul "Kondisi Postmodern Kesusastraan Indonesia" (2009).

Tentunya, dalam benak kita, situasi ini menimbulkan pertanyaan-pertanyaan seperti: apakah posmodern itu? Mengapa ia begitu menarik perhatian banyak intelektual dan akademisi? Apakah gunanya mengetahui, mempelajari, dan memahami posmodernisme itu? Adakah implikasi negatif dan positif dari posmodernisme itu? Dan, bagaimanakah posmodernisme dalam konteks budaya media saat ini?

Pengertian Posmodernisme

Istilah posmodernisme yang muncul dan menghantui khazanah pemikiran kebudayaan di Indonesia saat in sebenarnya telah muncul sejak lama. Menurut Noeng Muhadjir, istilah posmodernisme telah muncul semenjak tahun 1930-an. Frederico de Oniz adalah orang pertama yang menggunakan istilah ini untuk menyatakan periode peralihan dari modernisme awal ke modernisme dengan kualitas lebih tinggi.

Pada tahun 1940-an istilah ini muncul dalam ranah arsitektur, dan pada tahun 1960-an muncul di ranah sastra. Akan tetapi, istilah posmodernisme ini baru benar-benar menemukan momentumnya ketika Jean-Francois Lyotard menggunakan istilah ini sebagai judul bukunya yang terkenal "La Condition postmoderne: Rapport sur le savoir" pada tahun 1977.

Sejak Lyotard menggunakannya dan membahasnya secara filosofik melalui bukunya tersebut, perdebatan mengenai posmodernisme muncul ramai di permukaan. Meskipun demikian, ramainya perdebatan mengenai posmodernisme ini tidak mengimplikasikan bahwa telah terbentuk definisi yang tunggal mengenai hal itu saat ini.

Saat ini definisi mengenai posmodernisme masih bertebaran riuh di jagad ilmu pengetahuan dan filsafat. Setiap akademisi, intelektual, bahkan filsuf masih berdebat mengenai definisi posmodernisme. Meskipun demikian ini tidak berarti bahwa posmodernisme tidak bisa diketahui, dipelajari, dan dipahami. Kemungkinan untuk dapat diketahui, dipelajari, dan dipahaminya posmodernisme terbaca dari banyaknya perdebatan mengenai subjek pembahasan yang satu ini.

Lyotard mendefinisikan posmodernisme sebagai ketidakpercayaan terhadap metanarasi. Metanarasi merupakan narasi besar yang tersembunyi (atau bersembunyi) di balik pelbagai narasi yang bertebaran di jagad kebudayaan manusia. Ia merupakan "logos" yang memiliki legitimasi dan otoritas bagi kebenaran yang diamini oleh manusia.Metanarasi ini sifatnya niscaya dan monolitik. Jadi, bagi Lyotard, posmodernisme adalah ketidakpercayaan terhadap keniscayaan dan hal-ihwal yang monolitik.

Ketidakpercayaan terhadap keniscayaan dan kemonolitikan ini, menurut Lyotard, adalah sebuah kondisi. Dalam arti, bahwa ia tidak hanya berkaitan dengan hal-ihwal non-fisik, tetapi juga fisik. Oleh karena itu, ia beranggapan bahwa posmodernisme adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kondisi pengetahuan pada masyarakat yang paling berkembang.

Sampai di sini, berkaitan dengan pernyataan Lyotard mengenai posmodernisme, tentunya muncul pertanyaan dalam benak kita: apakah yang dimaksud dengan masyarakat yang paling berkembang? mengapa justru masyarakat itu terjebak dalam kondisi yang mengharuskan mereka untuk tidak percaya pada metanarasi, pada keniscayaan dan monolitik?

Untuk menjawab pertanyaan ini ada baiknya kita pindai kembali ke dalam wacana yang menyebabkan munculnya posmodernisme.

Penyebab Posmodernisme

Memahami posmodernisme tidak dapat dilakukan tanpa memahami apa yang telah dilakukan oleh wacana modernisme. Ini karena, sebagaimana yang pernah dinyatakan oleh Agustinus Hartono dalam bukunya "Skizoanalisis" (2007), ia adalah mutasi sekaligus kontinuasi dari modernisme. Penempatan prefix "pos" di depan kata "modernisme" dalam istilah "posmodernisme"-lah yang menyebabkan posmodernisme tidak dapat hanya dipandang sebagai mutasi dari modernisme, tetapi ia juga harus dipandang memiliki kontinuasi dengan modernisme.

Anggapan ini, kiranya, ada benarnya. Arnold Toynbee mengategorikan posmodernisme sebagai era keempat sesudah Zaman Kegelapan (675--1075 M), Zaman Pertengahan (1075--1475), dan Zaman Modern (1475--1875). Pengategorian yang dilakukan oleh Toynbee ini memperlihatkan pada kita bahwa apa yang kita kenal dengan istilah "posmodernisme" merupakan kelanjutan Zaman Modern.

Karakter kontinuasi dan mutasi dari posmodernisme terhadap modernisme juga disampaikan oleh Richard Appignanesi dan Chris Garrat. Menurut Richard Appignanesi dan Chris Garrat, apa yang dimaksud dengan posmodernisme itu adalah campuran dari pelbagai pemaknaan yang berdasar pada anggapan bahwa ia bukan hanya hasil, akibat, anak, dan perkembangan modernisme, tetapi juga penyangkalan dan penolakan terhadap modernisme. Ia adalah kebingungan yang berasal dari dua teka-teki besar: melawan dan mengaburkan pengertian modernisme, dan menyiratkan pengetahuan yang lengkap mengenai modernisme yang telah dilampaui oleh zaman baru. Zaman di mana cara melihat, berpikir, dan berbuatnya manusia telah mengalami perubahan.

Perubahan cara melihat, berpikir, dan berbuat ini terjadi karena perubahan kesadaran manusia terhadap diri dan dunia. Perubahan kesadaran ini disebabkan karena sadarnya manusia akan kegagalan dari wacana modernisme, atau yang dalam perkataan Jean Baudrillard bahwa wacana modernisme--dengan utopia kemajuannya--hanya berakhir pada khayalan katastropi.

Modernisme, sejak awalnya, merupakan wacana dan proyek yang sangat ambisius. Ia diciptakan oleh Barat, dan didistribusikan oleh Barat ke seluruh penjuru dunia dengan pelbagai kiat. Bahkan, dalam pandangan yang negatif, ia didistribusikan oleh Barat ke seluruh penjuru dunia dengan menghalalkan pelbagai cara. Mulai yang halus, seperti hegemoni dan seduksi, sampai ke hal yang paling kasar dan tidak beradab seperti represi dan kolonialisasi. Tujuannya adalah jelas, membentuk dan menyebarkan keyakinan "kebenaran" tunggal (yang tentunya ini juga menurut ukuran Barat!).

Mengenai modernisme, Akbar S. Ahmed dalam bukunya "Postmodernism and Islam: Predicament and Promise" (1992) berpendapat bahwa modernisme merupakan fase sejarah dunia yang ditandai dengan:
1. Kepercayaan pada sains, perencanaan, sekularisme dan kemajuan.
2. Keinginan untuk simetri dan tertib.
3. Keinginan akan keseimbangan dan otoritas.
4. Keyakinan terhadap masa depan atau pada utopia yang bisa dicapai.
5. Keyakinan akan sebua tata dunia natural yang mungkin.
Dan ini semua, dalam hemat Ahmed, berusaha dicapai oleh modernisme melalaui mesin, proyek industri besar, besi, baja, dan listrik. Oleh karena itu, menurut Ahmed, zaman modern dapat dipahami sebagai zaman industrialisasi dan zaman di mana kemanusiaan diremehkan.

Sejalan dengan pemaparan Ahmed mengenai modernisme, Noeng Muhadjir dalam bukunya "Filsafat Ilmu" (2001) menyatakan bahwa melalui pengarahan pada pengembangan ilmu ke pengembangan teori dan pengembangan paradigma atas dasar rasionalitas, modernisme telah mengendalikan manusia secara teknis dengan menggunakan prinsip-prinsip, sistem-sistem pembuktian, model-model logika, serta cara-cara tertentu dalam berpikir rasional.

Kondisi ini mengakibatkan manusia menjadi objek sistem, dan bukannya menjadi diri sendiri. Kondisi ini kian parah karena modernisme memaknai rasionalitas ke dalam wacana kepentingan kerja, dan direduksi menjadi efisiensi atas kriteria untung-rugi, dan lebih lanjut dijadikan sesuatu yang berupa pragmatik.

Perihal mengenai manusia menjadi objek sistem, dan bukannya menjadi diri sendirinya ini dapat dilihat secara jelas dalam konsep strukturalismenya Ferdinand de Saussure. Bagi Saussure, sesuatu itu baru bisa dipahami apabila ia berada dalam satu sistem tertentu yang bersifat arbitrer yang dibentuk berdasarkan konvensi.

Sifat arbirer merupakan sebentuk wacana hegemoni yang menempatkan manusia pada posisi "yang-determinan" saja. Padahal, manusia sebagai subjek tidak hanya mengandaikan sesuatu "yang-determinan", tetapi juga "yang-kontingen".

Bagi Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe dalam bukunya "Hegemony and Socialist Strategy" (1999), manusia adalah subjek yang senantiasa berada pada titik-titik antagonisme dan perjuangan. Ia adalah subjek yang terbentuk dari dua tataran, yakni: "yang-determinan" dan "yang-kontingen". Kedua tataran ini tidak dapat dilihat dalam sistem dominasi hirarkis, karena kedua memiliki kesejajaran.

Kesejajaran kedua tataran ini mengakibatkan munculnya gesekan-gesekan di antara keduanya. Gesekan-gesekan inilah yang mengakibatkan tidak dapatnya identitas manusia dilihat sebagai sesuatu yang niscaya. Identitas subjek manusia bukan sesuatu yang niscaya, tetapi sesuatu yang senantiasa mengalami antagonisme dan perjuangan.
Identitas manusia adalah sesuatu yang senantiasa mengalami redefinisi.
Wacana modernisme gagal melihat hal ini.

Bagi wacana modernisme, identitas manusia sebagai subjek adalah sesuatu yang niscaya. Keniscayaan ini hadir karena manusia berada pada dominasi yang-arbitrer, sebab hanya di bawah dominasi yang-arbitrer manusia dapat dipahami, dipelajari, dan dimaknai. Maka, bagi para modernis Saussurean, dunia sebagai "langue"-lah yang penting.

Pemosisian "langue" yang lebih penting ini, mengakibatkan manusia sebagai "parole" terdegradasi pada posisi yang lebih rendah. Di bawah kondisi ini, manusia bukan subjek yang bebas. Tidak adanya pengakuan "parole" mengakibatkan manusia sebagai subjek yang tidak selalu pasti tidak mendapatkan pengakuan. Akhirnya, manusia, jika ditelisik lebih dalam dan jauh, dalam wacana modernisme, bukanlah subjek yang bebas karena ia terikat pada hal-hal yang niscaya.

Bagi para posstrukturalis semacam Jean Jacques Lacan, Michel Foucault, ataupun Derrida, inilah titik kegagalan modernisme. Pengabaian pada "parole" merupakan pengabaian kepada manusia sebagai subjek yang menyeluruh. Dengan kata lain, menyitir pemikiran Gillez Deleuze dan Felix Guattari, sebagai subjek yang menyeluruh, manusia bukan hanya mahluk rasional tetapi juga mahluk berhasrat.

Kiranya, inilah yang menjadi penyebab munculnya wacana posmodernisme ke dalam peradaban manusia. Kegagalan proyek wacana modernisme dan munculnya kesadaran baru terhadap zaman merupakan pemicu muncul dan merebaknya wacana posmodernisme. Meskipun demikian, hal ini tentunya masih menyisakan pertanyaan lain dalam benak kita: apakah urgensinya posmodernisme sehingga banyak intelektual, akademisi, bahkan filsuf yang berlomba-lomba berbicara mengenai wacana ini?

Tetapi, sebelum menjawab pertanyaan mengenai urgensi posmodernisme, ada baiknya, kita melihat dulu fenomena posmodernisme dalam konteks budaya media saat ini, dan implikasi negatif dan positif yang dimilikinya.

Posmodernisme, TV, dan Film

Saat ini, sulit bagi kita mengelak dari dominasi budaya media. Media menjadi pembentuk kesadaran kita. Tengok saja bagaimana pengetahuan kita tentang suatu hal sangat dipengaruhi oleh representasi yang disuguhkan oleh pelbagai media semacam tv, film, bahkan internet.

Kita akan sama-sama mengutuk seseorang karena ia menurut media telah melakukan hal yang negatif. Kita sama-sama akan bersimpati kepada seseorang apabila menurut media ia telah melakukan hal yang baik. Pendek kata, media menjadi satu hegemoni bagi ruang-ruang epistemologi kita, yang dalam kenyataannya, bukanlah ruang yang bebas nilai.

TV dan Film sebagai ujung tombak budaya media sadar betul akan posisinya yang vital dalam kondisi posmodernisme. Lewat tv dan film posmodernisme merepresentasikan dirinya dengan jalan penghilangan batas-batas antara yang-riil dan yang-tidak-riil.

Penghilangan batas-batas ini mengakibatkan manusia posmodernisme memiliki identitas yang tidak stabil. Ia senantiasa pada posisi redefinisi ke-subjek-annya. Dalam kondisi posmodernisme, ini terlihat jernih pada manifestasi budaya "zapping".

Zapping--atau kesadaran nol--merupakan gejala ketaksabaran posmodern tanpa kedalaman. Ia merupakan produk hiperaktivitas "posindustrial" dan kegelisahan ekstrem. Budaya ini muncul bersamaan dengan merebaknya kabel multi-saluran dan satelit pemancar, diikuti dengan bantuan tidak terelakkan dari kendali jarak jauh. Sisi menarik dari budaya "zapping" ini adalah adanya otokreasi tontonan yang menempatkan Anda sendiri menjadi pemiliknya.

Menurut Marshall McLuhan fenomena ini merupakan satu cara menggantikan masa lalu yang terputus akibat modernisme. Menurutnya: "Media telah menjadi pengganti dunia masa lalu. Sekalipun kita seharusnya bisa menemukan kembali dunia tersebut, kita dapat melakukannya hanya dengan belajar intensif tentang cara media telah menyingkirkannya."

Inilah nilai penting bagi posmodernisme. Dengan tidak menolak hegemoni budaya media, ia juga sekaligus melakukan resistensi dan pencarian lebih lanjut mengenai keberadaan manusia. Dan ini semua mungkin dilakukan di dalam kondisi posmodernisme yang mengagungkan kebebasan manusia. Karena, sebagaimana disampaikan Baudrillard, kebebasan manusia adalah kebebasan untuk mengonsumsi dan memproduksi sesuatu. Kebebasan untuk mencitrakan sesuatu sesuai dengan yang dikehendakinya sendiri.

Tetapi, untuk mengetahui bagaimana fenomena budaya telah merasuki kondisi posmodernisme ada baiknya kita membaca kembali buku Akbar S. Ahmed. Di situ dia menggambarkan bagaimana Islam yang sebenarnya tidak sefanatik seperti yang direpresentasikan oleh media-media Barat, akhirnya harus tercitra seperti apa yang direpresentasikan oleh media-media Barat tersebut.

Ini mengakibatkan konsekuensi tidak diterimanya Islam di Barat. Konsekuensi-konsekuensi logisnya, Islam kehilangan hak berkata-katanya, karena citra yang diimplankan kepada epistemologi Barat begitu kukuh menghegemoni.

Tetapi, inilah kondisi posmodernisme. Kondisi di mana ruang-ruang saling bersinggungan, bertukar, memburai, dan terfragmentasi dalam posisi-posisinya yang non-hirarkis. Kondisi di mana segalanya boleh sekaligus tidak boleh. Dan tentunya kenyataan ini memberikan implikasi negatif dan positif bagi posmodernisme.

Tetapi, apakah implikasi negatif dan positifnya posmodernisme itu?

Implikasi Negatif dan Positif Posmodernisme

Posmodernisme sebagai satu wacana senantiasa memiliki implikasi negatif dan positif. Seperti yang telah diketahui bersama, sebagai wacana, posmodernisme telah muncul sejak tahun 1930-an, akan tetapi baru menemukan momentumnya tatkala wacana ini digunakan oleh Lyotard pada kisaran tahun 1970-an.

Sebagai wacana, posmodernisme menawarkan pelbagai konsep kritisisasi terhadap wacana modernisme. Seiring dengan perkembangan waktu, dan semakin pesimisnya masyarakat terhadap modernisme, posmodernisme mulai berkembang. Ia tidak lagi hanya berkutat pada ranah arsitektur dan sastra, tetapi meluas hingga ke dalam ilmu sosial dan ilmu-ilmu fisika.

Posmodernisme mengkritik wacana modernisme dalam banyak hal. Seperti kita ketahui bersama bahwa modernisme mengarahkan ilmu ke pengembangan teori dan pengembangan paradigma yang didasarkan pada rasionalitas. Posmodernisme mengkritik hal ini. Bagi posmodernisme, apa yang telah dilakukan oleh modernisme itu menjadikan manusia sebagai objek sistem, dan bukan menjadi dirinya sendiri.

Modernisme, merujuk pada Noeng Muhadjir, telah mengendalikan manusia secara teknis. Pengendalian manusia secara teknis ini dilakukan dengan jalan membuat manusia untuk menggunakan prinsip-prinsip, sistem-sistem pembuktian, model-model lagika, serta cara-cara tertentu dalam berfikir rasional. Kondisi ini mengakibatkan manusia bukan menjadi subjek sistem, tetapi objek sistem, karena ia harus mematuhi setiap prinsip, sistem, model, cara yang ditentukan oleh modernisme.

Kepatuhan-kepatuhan ini mengakibatkan manusia kehilangan kebebasannya. Manusia bukanlah berada posisi pencari, tetapi pada posisi penemu. Oleh karena itu, modernisme menempatkan manusia sebagai penemu kebenaran. Penemu kebenaran berarti kebenaran itu sudah ada di sana, dan manusia tinggal menemukannya kembali. Sejalan dengan ini, dengan nada sinis, Milan Kundera pernah menyatakan bahwa penyair modern bukanlah pencipta kata, sebab kata-kata sudah ada di sana, dan penyair modern tinggal menemukannya kembali.

Posisi manusia modern sebagai subjek penemu kebenaran terartikulasikan dengan tepat pada pernyataan: "Eureka!". Pernyataan ini merupakan pernyataan yang sangat populer di dalam wacana modernisme. Posmodernisme mengkritisi hal ini. Oleh karena itu, di bawah kondisi posmodernisme, kebebasan manusia tampil dalam ujud manusia sebagai subjek pencari kebenaran.

Bagi Noeng Muhadjir, dalam posmodernisme tugas manusia adalah mencari kebenaran dan bukannya sebagai pembukti kebenaran. Kondisi ini karena posmodernisme tidak menawarkan kebenaran mutlak. Logosentrisme absolut yang diartikulasikan oleh modernisme ditolak dan dikritisi oleh posmodernisme.

Bagi posmodernisme, merujuk pada pemikiran Derrida, logosentrisme yang ditawarkan oleh modernisme haruslah didekonstruksi. Keharusan ini muncul, sebagaimana pernah dinyatakan oleh Lyotard, karena telah terjadi transformasi relasi antara sains dan kehidupan.

Laclau dan Mouffe melihat bahwa wacana keniscayaan yang didesakkan oleh hegemoni modernisme telah mengakibatkan munculnya krisis. Krisis ini berpusar pada retakan antara teori dan praktik. Sifat niscaya modernisme mengakibatkan teori tidak lagi akomodatif terhadap praktiknya. Akhirnya, modernisme gagal melihat, mempelajari, dan memahami dunia. Posmodernisme berusaha mengatasi krisis ini.

Krisis ini berusaha diatasi oleh posmodernisme dengan jalan mengembalikan manusia pada posisi subjek, dan bukannya objek. Modernisme pada abad 19 yang menonggak dengan strukturalisme, telah menghilangkan manusia sebagai subjek. Strukturalisme, dengan pemujaan struktur. mengakibatkan munculnya dehumanisasi.

Dehumanisasi ini terlihat pada wacana bagaimana manusia direduksi ke dalam struktur. Manusia hanya diakui sebagai objek dari struktur, dan bukan pencipta struktur. Dan ini terlihat jelas pada konsep "langue" dan "parole"-nya Saussure. Bagi Saussure, yang penting adalah "langue", dan bukannya "parole", sebab manusia hanya dapat dipahami dalam satu jaring yang lebih besar. Dengan kata lain, manusia hanya bisa dipahami dalam hubungannya dengan sistem yang mengitarinya.

Posmodernisme, dipelopori oleh posstrukturalisme, menolak pandangan ini. Bukan "langue" saja yang penting, sebab tanpa "parole", "langur" tidak akan ada. Dan jika begitu, "parole" merupakan unsur penting. Karena keberadaannya menentukan "langue" dan bukan sebaliknya.

Pemahaman semacam ini menggiring posmodernisme pada implikasi positif yang melihat manusia sebagai subjek merupakan hal penting. Manusia yang semenjak abad 19 lenyap dari khazanah pengetahuan, kembali ke kedudukannya yang penting. Oleh karena itu, bagi posmodernisme tidak ada kebenaran objektif, yang ada hanyalah kebenaran subjektif atau intersubjektif.

Pemahaman kebenaran model ini menggiring munculnya kebhinekaan makna. Makna bukan lagi sesuatu yang hanya tunggal. Denotativitas makna bukan sesuatu yang mutlak. Makna adalah banyak, tergantung dari relasi dan subjek yang menentukan. Inilah makna kebebasan dari posmodernisme. Inilah implikasi positif posmodernisme.

Tetapi, posmodernisme tidak hanya membawa implikasi positif. Ada implikasi negatif yang diakibatkan oleh kecenderungan yang ditawarkan oleh posmodernisme. Model pemaknaan yang subjektif ini mengakibatkan mengaburnya kebenaran.

Kondisi ini mengakibatkan posmodernisme sering tampil dengan wajahnya yang khaotik. Bebasnya dan bhinekanya pemaknaan ini mengakibatkan posmodernisme seakan-akan tidak memiliki kepastian. Padahal, jika ditelisik lebih jauh, posmodernisme juga menawarkan kepastian. Kepastian yang ditawarkan oleh posmodernisme adalah kepastian bahwa tidak ada yang pasti.

Demikianlah, setiap wacana memiliki implikasi negatif dan positifnya masing-masing. Begitu juga posmodernisme yang bagi banyak kalangan merupakan obat katastropi modernisme ternyata juga memiliki implikasi positif dan negatifnya.

Urgensi Posmodernisme

Telah kita ketahui bahwa posmodernisme memiliki implikasi negatif dan positif. Meskipun demikian, ini tidak berarti bahwa posmodernisme tidak memiliki urgensi untuk diketahui, dipelajari, dan dipahami lebih dalan dan jauh. Ada relevansi yang kerap tidak kita sadari antara posmodernisme dan wacana Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi semboyan hidup bangsa-negara ini. Oleh karena itu, tetao menjadi hal penting elaborasi atas posmodernisme itu.

Penolakan dan penyangkalan posmodernisme adalah penolakan dan penyangkalan terhadap metanarasi, monolitik, sistem konvensi dan kearbitreran, atau dengan kata lain penolakan dan penyangkalan pada denotativisme yang didesakkan oleh wacana modernisme. Meskipun demikian, ini tidak berarti bahwa posmodernisme menolak rasionalitas yang didesakkan oleh modernisme.

Bagi posmodernisme, rasionalitas manusia masih tetap diakui keberadaannya. Akan tetapi, ia bukan sesuatu yang esa dalam manusia. Ada hal-hal yang non-rasionalitas, seperti hasrat, yang juga diakui keberadaannya dalam diri manusia.

Pemahaman ini memperlihatkan bahwa posmodernisme mengakui kebhinekaan. Penerimaan akan kebhinekaan ini semakin terang di bawah penerimaan posmodernisme atas ketaksaan. Kebhinnekaan dan ketaksaan ini membawa posmodernisme sampai pada keyakinan mengenai "penggandaan perbedaan".

Perbedaan menemukan penghargaannya dalam posmodernisme. Pengakuan terhadap perbedaan ini menggiring posmodernisme sampai pada wilayah yang dipenuhi oleh perayaan akan fragmentasi. Perayaan fragmentasi ini mengimplikasikan munculnya kebhinnekaan kebenaran.

Inilah, kiranya, yang menjadi urgensi dari posmodernisme. Dengan mengetahui, mempelajari, dan memahami posmodernisme kita mengetahui bahwa kebenaran bukan sesuatu yang esa. Setiap subjek berhak atas kedudukannya di dalam "kebenaran" ini.

Di dalam konteks Indonesia yang jelas-jelas mengedepankan wacana Bhinneka Tunggal Ika (Unity in Diversity) pengakuan terhadap keanekaragaman merupakan hal yang penting. Bhinneka Tunggal Ika merupakan wacana yang mengandung makna pengakuan terhadap pelbagai ras, suku, maupun agama yang berbeda-beda yang ada di Indonesia.

Dalam konsep wacana ini, makna Indonesia hanya mungkin muncul apabila adanya perbedaan-perbedaan tersebut mendapatkan pengakuan. Posmodernisme membantu kita memahami bagaimana perbedaan-perbedaan tersebut hadir dalam kesadaran kita. Dan menyadarkan kita bahwa kebhinnekaan bukan hal yang buruk dan salah. Malah kebhinnekaan inilah yang nantinya dapat mengukuhkan identitas Indonesia.

Menurut Dede Oetomo dalam tulisannya "Refleksi Kritis Manusia Indonesia": "Manusia Indonesia memang merupakan sesuatu yang menjadi tujuan berbagai orang yang hidup bermasyarakat di wilayah Indonesia yang entah bagaimana bertautan dengan Indonesia...ini mengasumsikan bahwa keindonesiaan itu sendiri tidak tunggal, dan dapat tumpang-tindih atau bersentuhan dengan entitas sosial-budaya lain."

Jadi, identitas manusia Indonesia bukanlah identitas yang berangkat dari ketunggalan. Identitas manusia Indonesia adalah identitas yang majemuk, yang bersandar pada kebhinnekaan. Kebhinnekaan merupakan hal penting yang ditawarkan oleh wacana posmodernisme.

Inilah titik urgensi dan relevansi posmodernisme di Indonesia. Dalam konteks Indonesia, urgensi dari mengetahui, mempelajari, dan memahami posmodernisme bukan untuk menjadi Barat, tetapi untuk menjadi Indonesia itu sendiri. Sebab, posmodernisme itu sendiri merupakan karnaval kemajemukan dari yang-lokal dan yang-bhinneka. Bukan begitu, kawan?

Daftar Bacaan

Ahmed, Akbar S.. 1992. Postmodernism and Islam: Predicament and Promise. London: Routledge.

Appignanesi, Richard dan Chris Garrat. 1997. Mengenal Posmodernisme. Diterjemahkan oleh Alfathri Adlin. Bandung: Mizan.

Aziz, Imam (ed.). 2001. Galaksi Simulacra: Esai-Esai Jean Baudrillard. Jogjakarta: LKiS.

Baudrillard, Jean. 2006. Lupakan Postmodernisme. Diterjemahkan oleh Jimmy Firdaus. Jogjakarta: Kreasi Wacana.

Hartono, Agustinus. 2007. Skizoanalisis. Jogjakarta: Jalasutra.

Laclau, Ernesto dan Chantal Mouffe. 1999. Hegemony and Socialist Strategy: Toward a Radical Democratic.

Lash, Scott. 1990. The Sociology of Posmodernism. London: Routledge.

Lyotard, Jean-Francois. 2009. Kondisi Postmodern: Suatu Laporan mengenai Pengetahuan. Surabaya: Selasar.

Muhadjir, Noeng. 2001. Filsafat Ilmu. Jogjakarta: Rakesarasin.

Oetomo, Dede. 2009. "Refleksi Kritis Manusia Indonesia" dalam Prisma Vol. 28, No. 2, Oktober 2009.

Piliang, Yasraf Amir. 1999. Hiper-Realitas Kebudayaan. Jogjakarta: LKiS.