Senin, 14 Januari 2008

Puisi-puisi Subagio Sastrowardoyo


SUBAGIO SASTPWARDOYO (1924 - 1995)

Pengantar

Subagio Sastrowardoyo, sebuah nama paten dus beken dalam perpuisian Indonesia. Sulit sekali bagi saya untuk menghindar dari nama tersebut tiap kali berbicara tentang dunia perpuisian Indonesia, meski setelah beliau wafat pada 18 juli 1995, beratus-ratus (atau bahkan beriba-ribu) penyair bermunculan, tetapi nama tersebut terus saja menghantui benak saya.

Subagio Sastrowardoyo, lahir di Madiun, 1 Februari 1924. Selain sebagai seorang penyair, ia juga dikenal sebagai seorang kritikus sastra, esais handal, bahkan cerpenis yang mumpuni. Maka, hemat saya, sudah sepantasnya kita menaruh hormat atasnya.

Kali ini, dalam blog yang cukup sederhana ini, saya akan menayangkan 2 puisi karya Subagio Sastrowardoyo yang keduanya saya comot dari buku puisi Dan Kematian Makin Akrab (Grasindo, 1995). Buku puisi ini memuat 100 puisi Subagio Sastrowardoyo. Kiranya, akan sangat merugi apabila seorang pecinta atau penyuka puisi melewatkan buku ini.

Dua buah puisi Subagio Sastrowardoyo yang saya tayangkan kali kebetulan memiliki judul yang sama Tamu. Saya sendiri tidak tahu terjadinya penjudulan yang sama atas 2 puisi yang berbeda ini dilakukan oleh penyairnya secara sengaja atau tidak. Tetapi, jujur saja, sebenarnya saya tak terlampau peduli dengan hal itu. Sebab, toh kedua puisi dengan judul yang sama tersebut tetap memiliki kekuatan dan keasyikan masing-masing.

Selamat menikmati!

Puisi-puisi Subagio Sastrowardoyo

TAMU

masih ada yang mau singgah
di pondok tua — kesan sesal
gamit rindu, gores duka
biar terbuka pintu muka
buat tamu tak terduga
siapa akan mengajak berbicara —
rumput, batu, matahari
arti kabur di pudar hari
di bawah jenjang berdiri bayang
di tangan pisau belati
tiba ia menoleh memperhati

TAMU

Lelaki yang mengetuk pintu pagi hari
sudah duduk di ruang tamu. Aku baru
bangun. Tapi rupanya ia tidak
merasa tersinggung waktu aku belum
mandi dan menemui dia. Rambutku masih
kusut dan pakaianku hanya baju kumal
dan sarung lusuh.
“Aku mau menjemput,” katanya pasti,
seolah-olah aku sudah berjanji sebelumnya
dan tahu apa rencananya.
“Bukankah ini terlalu pagi?” tanyaku ragu.
“Dia sudah menunggu!” Ia nampak tak sabar
dan tak senang dibantah. Aku belum tahu
siapa yang ia maksudkan dengan “dia”,
tetapi sudah bisa kuduga siapa.
“Tetapi aku perlu waktu untuk berpisah
dengan keluarga. Terlalu kejam untuk
meninggalkan mereka begitu saja. Mereka
akan mencari.”
Nampaknya tamu itu begitu angkuh seperti
tak mau dikecilkan arti. Siapa dapat lolos
dari tuntutannya.
Sebelum aku sempat berbenah diri ia telah
menyeret aku ke kendaraannya dan aku dibawanya
lari entah ke mana. ke sorga atau ke neraka?”

1 komentar:

Tabi F. Rosida mengatakan...

hello, saya seneng banget sama pusi2nya soebagyo sastrowardoyo, terutama yang judulnya dan kematian makin akrab..
terutama di bagian:
"lihat, bu, aku tak menangis -- sebab aku bisa terbang sendiri -- dengan sayap -- ke langit."
tapi buku kumpulan puisi saya hilang dipinjam teman, tidak kembali..
apa bisa mas memposkan puisi yang itu??
terima kasih sebelumnya..