Rabu, 02 Januari 2008

Puisi Beni R. Budiman

FRAGMEN PANDAI BESI
Harry Roesli

Lubang angin menempa kering batok kelapa sebagai
Bara yang nyala. Sebuah per baja menderita dalam
Marah yang sempurna. Gubuk bilik hitam pun merah
Gerah seperti membangun rumah dari biji keringat

Bau resah menyengat. Lalu beberapa palu melagukan
Nada pilu bertalu. Bunyi dalam nyanyi pandai besi
Yang nyeri. Berlari seperti derap kaki gerombolan
Kavaleri. Musik berisik yang menggoda para paduka

Dalam tempat yang sendiri para pandai besi seperti
Geram yang berjanji. Mata air yang terus meneteskan
Doa basah pada bukit batu. Cinta yang keras kepala
Ombak yang setia memimpikan karang menjelma pedang.

1996-1997


CAMPING

Di bawah gunung kesepian bergulung dan memuncak
Dan pada hamparan daratan kuabadikan kecemasan
Tebing batu cadas dan pinus-pinus yang mendengus
Angin mengirim cuaca sembab. Hujan tertahan awan

Dan dalam suasana temaram pohon karet berbaris
Sujud dalam sakit yang sama. Memberat ke arah
Barat. Burung-burung pun datang dan pergi dalam
Irama yang pasti. Udara seakan sendu mambatu

Dan hidup seperti tumpukan tenda yang dibangun
Dan diruntuhkan. Dan kematian berkibar pada tiang
Bendera di suatu perkemahan. Nyanyian yang rindu
Dilantunkan petualang di antara lereng dan jurang

1996


DI ANTARA BATU-BATU

Dia antara batu-batu lumut menari dalam air kali
Ganggang berenang tenang. Dan capung melayang
Bersama belalang. Anak-anak mandi di riang perigi
Nada cinta pun mengalun dibawa angin yang santun

Tapi di antara batu-batu, tubuh siapa yang setia
Dalam keramba. Patok-patok yang ditancapkan pada
Batu cadas telah membuat kandas mimpi yang bebas
Kayu dan bambu menjadi kerangkeng yang mengurung

Lagu lenggang kangkung. Dan harapan hanya pada
Hujan topan yang bisa mengirim banjir bandang
Sekaligus doa bagi kemerdekaan yang tinggal mimpi
Di keramba mungkin aku hanya ikan yang menghamba
Menanti mati tiba sambil memuja cerita nestapa

1996-1997


API UNGGUN

Malam itu tak ada kemarahan paling sempurna
Selain dingin dan gelap yang pekat. Kesepian
Mengekalkan suara burung hantu sebagai gerutu
Pinus dan trambesi mendesis dengan wajah lesi

Pada saat seperti itu, api unggunlah kerinduan
Tak tertahan itu. Panas yang mampu mencairkan
Kabut dan embun beku. Tumpukan kayu kering yang
Riang menjadi bara dan abu bagi api yang biru

Tapi, sempurnalah mimpi, rindu, dan angan-angan
Karena batu-batu tak mampu menumbuhkan nyala api
Dahan dan ranting menolak perapian. Dan gulita
Tak mencintai cahaya. Tapi memilih tanah basah

1996


GERIMIS MALAM

Gerimis malam mematahkan remang mercury
Dan bintang jadi ngeri mengulum senyum
Hanya kelelawar berani keluar. Terbang
Di antara pohon jambu batu yang kelabu

Gerimis pun memaksa setiap daun kelimis
Seperti habis keramas. Genting-genting
Mengkilap dalam gelap. Bulan pun tiarap
Bayang dan gamang menari seperti dalam

Fiksi. Mengejar tubuh lelah seperti gabah
Basah. Dan garis gerimis seakan berbaris
Membentuk barikade-barikade yang bengis
Kerangkeng yang kekal dengan lagu dingin

1996-1997


AKUARIUM

Ikankah kau yang bicara dalam kaca
Berenang dalam lampu remang
Di luar pecinta terpana pada ekormu
Yang mengundang tualang

Segera angan pun terbang pada ranjang
Pada rumah miring di atas tebing
Di bawahnya perigi mengucurkan sunyi
Dan anak sungai menyanyikan lagu nyeri

Ikankah kau yang bercanda tanpa baju dan celana
Yang memampangkan peta bagi para pengembara
Dan berjanji memberi arti sepi

Di luar bejana dadaku bergetar
Ketika bibirmu menjilat karang
dan tubuhmu bergoyang

1996


SANGLOT

Kesedihan bagaimanapun bukan harapan
Tapi biji benalu yang hinggap bersama
Burung. Dan matahari, angin, dan hujan
Mengirim gairah hidup yang baru bertahan

Dan paruh burung tak pernah mampu menolak
Makanan. Seperti juga kesedihan tak memilih
Tempat berteduh. Semua daerah baginya indah
Dan sebagai pohonan kita pun ibarat limban

Bagi segala kesedihan berjalan. Seperti kematian
Kesedihan menjelma kenyataan yang kita cintai
Mainan yang seringkali membuat takut dan bosan

1997

Tidak ada komentar: