TUHAN YANG KESEPIAN DI TAMAN KOTA
Tuhan yang kesepian memanggilku bercakap
di taman kota.
Malam di jalan kehabisan pejalan,
menjaga kami dari kantuk. Karena kami harus terus terjaga,
kalau-kalau mimpi rakyat terlepas,
saling berkumpul mengadukan perlakukanku
kepada Tuhan. Ini bisa runyam.
Aku harus bisa mengantisipasi,
jangan sampai Tuhan tahu.
Dia itu sosoknya tak terduga,
biasanya mihak rakyat kecil.
dan Tuhan kalau kesepian,
permintaannya bisa macam-macam
sampai menjelang pagi.
Surabaya, 1994.
DIAJAKNYA AKU MELIHAT
Diajaknya aku melihat, kebun
di depan rumahnya.
Yang membuat aku takut,
teringat rumput melahap kebun belakangku,
dan celakanya hanya aku yang melihat.
Surabaya, 1994.
Kamis, 27 Desember 2007
Puisi Imam Muhtarom
SEGARIS JALAN
Jalan setapak menggaris
dengan tepi terjal tak berwarna
jalur-jalur sebagai pembatas gerak
seperti aku berlari dan merangkak
Air hitam itu memenuhi tepian jalan
muntah oleh miringnya rencana
kaca-kaca pecah berantakan
menepi, langkahi arti hidup dan mati
Laju kecepatan terus beringsut
penuhi dada ini -- membusung --
terus membusung, tak reda rongga tersengal
-- terbatas -- demi kuasai lajur kecil ini
Di sini hanya bentakan dan rintihan
yang ada
kamus praktis telah menjadi pedoman
Jauh, jauh dari lambaian nyiur
hanya aspal bebal yang akan terus menggerus
Surabaya, 1996
SEMAMUMU
Danau membujur kaku
bersikap seperti perawan lesu
jenuh melihat nafsu terendam
Bangkitlah sang nafsu
keluarkan segala kejujuranmu
agar diam-mu terlihat berat
Dan juga kau, bukit!
bergeraklah untuk menerjang
engkau telah diperkosa
Hai, engkau yang merasa diam
jangan kau sampai hancur tersungkur
hari esok tetap bagimu
Wlingi, Blitar 1996
Jalan setapak menggaris
dengan tepi terjal tak berwarna
jalur-jalur sebagai pembatas gerak
seperti aku berlari dan merangkak
Air hitam itu memenuhi tepian jalan
muntah oleh miringnya rencana
kaca-kaca pecah berantakan
menepi, langkahi arti hidup dan mati
Laju kecepatan terus beringsut
penuhi dada ini -- membusung --
terus membusung, tak reda rongga tersengal
-- terbatas -- demi kuasai lajur kecil ini
Di sini hanya bentakan dan rintihan
yang ada
kamus praktis telah menjadi pedoman
Jauh, jauh dari lambaian nyiur
hanya aspal bebal yang akan terus menggerus
Surabaya, 1996
SEMAMUMU
Danau membujur kaku
bersikap seperti perawan lesu
jenuh melihat nafsu terendam
Bangkitlah sang nafsu
keluarkan segala kejujuranmu
agar diam-mu terlihat berat
Dan juga kau, bukit!
bergeraklah untuk menerjang
engkau telah diperkosa
Hai, engkau yang merasa diam
jangan kau sampai hancur tersungkur
hari esok tetap bagimu
Wlingi, Blitar 1996
Puisi Abd. Kadir Zaelani
KUCING
Seekor kucing mendengar suara helikopter
Daun telinganya digerak-gerakkan
Mata meluncur ke langit
Setelah itu, menjilat perut
Menggeliat dan mendengkur lagi
1981
Seekor kucing mendengar suara helikopter
Daun telinganya digerak-gerakkan
Mata meluncur ke langit
Setelah itu, menjilat perut
Menggeliat dan mendengkur lagi
1981
Puisi Rudi Isbandi
BUAT ARAJU
Dalam lembah
kau selimuti dengan beribu cemara
bergetar dalam waktu
Kelam dingin tak sampai
kau potong lengan-lengan legam. Gema
redam suara
Dari kaki langit
tergerai gelombang cemara
hampir rebah ke tanah
lalu kulihat lenganmu putih
terkulai lemah
Dalam lukisan-lukisanmu
dalam redam suara
dalam gema: bayang wajahmu
[75]
Dalam lembah
kau selimuti dengan beribu cemara
bergetar dalam waktu
Kelam dingin tak sampai
kau potong lengan-lengan legam. Gema
redam suara
Dari kaki langit
tergerai gelombang cemara
hampir rebah ke tanah
lalu kulihat lenganmu putih
terkulai lemah
Dalam lukisan-lukisanmu
dalam redam suara
dalam gema: bayang wajahmu
[75]
Puisi M. Anis
PERTEMUAN
Engkau datang mengganggu sepiku
Perahu kecil menyibak ombak hari berlalu
kita bertemu di Pantai Saat ini
ketika aku sendiri
lolong anjing di kejauhan
Suara-Mukah itu?
bulan jatuh di halaman
Cahaya-Mukah itu?
Kita Sahabat kentak tak terpisahkan
aku dipotong ajal sedang Engkau terus berjalan
(kemudian aku lelap dalm tidur)
masih di Sinikah Engkau?
1981
Engkau datang mengganggu sepiku
Perahu kecil menyibak ombak hari berlalu
kita bertemu di Pantai Saat ini
ketika aku sendiri
lolong anjing di kejauhan
Suara-Mukah itu?
bulan jatuh di halaman
Cahaya-Mukah itu?
Kita Sahabat kentak tak terpisahkan
aku dipotong ajal sedang Engkau terus berjalan
(kemudian aku lelap dalm tidur)
masih di Sinikah Engkau?
1981
Lirik Lagu karya M. Roeslan
HYMNE SURABAYA
Sejak bahari bersinar mulia Bhrawijaya
Di bahari bersinar mulia Bhrawijaya
Bhrawijaya sudah kau kibarkan Panji jaya
Bhrawijaya sudah kukibarkan Panji jaya
Kibarkan Panji jaya
Sorak sorai gemuruh Surabaya lahirlah putra
Sorak sorai gemuruh Surabaya lahirlah putra
Gemuruh di Surabaya lahirlah putra
Gemuruh di Surabaya lahirlah putra
Bestari dengan darahmu negri merdeka
Bestari dengan darahmu negri merdeka
Bestari dengan darahmu negri merdeka
Berpagar dada, beribu Perwira
Bertekad jaya, Berpekik merdeka
Dengan segenap jiwa, meski merana
Sorak sorai gemuruh "Surabaia"
Di sini gugur putra Bangsa
Dengan darahmu negri merdeka
Sejak bahari bersinar mulia Bhrawijaya
Di bahari bersinar mulia Bhrawijaya
Bhrawijaya sudah kau kibarkan Panji jaya
Bhrawijaya sudah kukibarkan Panji jaya
Kibarkan Panji jaya
Sorak sorai gemuruh Surabaya lahirlah putra
Sorak sorai gemuruh Surabaya lahirlah putra
Gemuruh di Surabaya lahirlah putra
Gemuruh di Surabaya lahirlah putra
Bestari dengan darahmu negri merdeka
Bestari dengan darahmu negri merdeka
Bestari dengan darahmu negri merdeka
Berpagar dada, beribu Perwira
Bertekad jaya, Berpekik merdeka
Dengan segenap jiwa, meski merana
Sorak sorai gemuruh "Surabaia"
Di sini gugur putra Bangsa
Dengan darahmu negri merdeka
Puisi Muhammad Ali
DENYUT HARI
Sajakku ini
mengendap di dasar air
keruh dan anyir
di benua berkeringat
kerajaan laknat
tempat semua terbujur mati
Bayang-bayang berbincang
sambil mengunyah kacang
tentang pos-pos penjagaan
tiang-tiang yang ditumbangkan
dan bau busuk menyebar di udara
dari cerobong kata-kata dusta
Langit cemar berbencah
memantulkan wajah jenazah-jenazah
yang dicuri dari liang sejarah
fajar tak lagi menggelar subuh
dan orang-orang berselimut lelap tertidur
hingga dibangunkan kelak dari lubang kubur
MIMPI I
dalam mimpi kujumpa mereka
yang sudah tiada
nenek, ibu dan ayahku
anak-anak dan sahabat-sahabatku
menetes bagai embun di daun waktu
kulihat jelas wajah-wajah mereka
garis-garis hening pada permukaan,
pandangan mereka bagai kaca
dan sunggingan merekah di bibir mereka
boleh jadi ada yang mau mereka bilang
bayang-bayang menghilang
bagai embun habis tersapu di telinga waktu
Sajakku ini
mengendap di dasar air
keruh dan anyir
di benua berkeringat
kerajaan laknat
tempat semua terbujur mati
Bayang-bayang berbincang
sambil mengunyah kacang
tentang pos-pos penjagaan
tiang-tiang yang ditumbangkan
dan bau busuk menyebar di udara
dari cerobong kata-kata dusta
Langit cemar berbencah
memantulkan wajah jenazah-jenazah
yang dicuri dari liang sejarah
fajar tak lagi menggelar subuh
dan orang-orang berselimut lelap tertidur
hingga dibangunkan kelak dari lubang kubur
MIMPI I
dalam mimpi kujumpa mereka
yang sudah tiada
nenek, ibu dan ayahku
anak-anak dan sahabat-sahabatku
menetes bagai embun di daun waktu
kulihat jelas wajah-wajah mereka
garis-garis hening pada permukaan,
pandangan mereka bagai kaca
dan sunggingan merekah di bibir mereka
boleh jadi ada yang mau mereka bilang
bayang-bayang menghilang
bagai embun habis tersapu di telinga waktu
Puisi Akhudiat
WONOKROMO
Wonokromo adalah leher botol
Ke tembolok Surabaya melahap & muntahan apa & siapa saja
Tak pedulu basa-basimu, sumpah serapah, protes atau acungan jempol
Bahkan sindiran atas jalan layang
Cuma sejengkal dari kontraktor/ birokrat
Leher makin menjerat simpul ketat di kerah putih tegang
Napas berat lewat pori-pori yang meregang
Wonokromo adalh hintterland, distrik udik, dulu
Trem uap & trem listrik berhenti di halte
Seberang sungai
Kebun binatang, Darmo Boulevard, kerlap-kerlip kotaraya
Seberang sungai
Di sini kancah buangan & mimpi orang usiran
Pencopet, pelacur, begundal, buronan
Mengendap di kampung-kampung yang tumbuh sendiri
Atau sembunyi di hutan lalang timur stasiun kereta api
Gerbong-gerbong pengusung pendatang/ calon gelandangan
Ulang-alik
pesisir-pedalaman
siang malam
"Kalau ke Wonokromo, jangan lupa belikan
jajan pasar atau ayam goreng di warung karen
Kedai sisa jilatan api & penggalan trotoar
Sampaikan salam ke penjaga karcis
Di gedung dulu lundruk kini bioskop."
Wonokromo menampung dan menanggung mereka
bersama air bah coklat rasa gatal ulat
Seperti emak susuan tak pernah nyapih
Sampai busung cacingan ular/ naga
Siap meledak kuman-kumannya
Wonokromo adalah monumen
Pasar terbakar
1995
Wonokromo adalah leher botol
Ke tembolok Surabaya melahap & muntahan apa & siapa saja
Tak pedulu basa-basimu, sumpah serapah, protes atau acungan jempol
Bahkan sindiran atas jalan layang
Cuma sejengkal dari kontraktor/ birokrat
Leher makin menjerat simpul ketat di kerah putih tegang
Napas berat lewat pori-pori yang meregang
Wonokromo adalh hintterland, distrik udik, dulu
Trem uap & trem listrik berhenti di halte
Seberang sungai
Kebun binatang, Darmo Boulevard, kerlap-kerlip kotaraya
Seberang sungai
Di sini kancah buangan & mimpi orang usiran
Pencopet, pelacur, begundal, buronan
Mengendap di kampung-kampung yang tumbuh sendiri
Atau sembunyi di hutan lalang timur stasiun kereta api
Gerbong-gerbong pengusung pendatang/ calon gelandangan
Ulang-alik
pesisir-pedalaman
siang malam
"Kalau ke Wonokromo, jangan lupa belikan
jajan pasar atau ayam goreng di warung karen
Kedai sisa jilatan api & penggalan trotoar
Sampaikan salam ke penjaga karcis
Di gedung dulu lundruk kini bioskop."
Wonokromo menampung dan menanggung mereka
bersama air bah coklat rasa gatal ulat
Seperti emak susuan tak pernah nyapih
Sampai busung cacingan ular/ naga
Siap meledak kuman-kumannya
Wonokromo adalah monumen
Pasar terbakar
1995
Puisi Ahmad Faishal
KAMPUNG NELAYAN
saat rohku bergelayutan ombak
pohon-pohon tua tancapkan akarnya
keniscayaan lumpur yang rapuh telah di sembah
dan perahu berlayar lusuh di kendarai nelayan buta
berabad-abad menyisir pantai, hingga kulit melebam
yang tak tahu kerinduan menyerupai malam purnama
yang mencabik sunyi dan kepedihan
buat tebarkan jalan
kini mimpimu yang sombong jadi tanah kering
membakar telapak kaki anak-anak, yang terus mengayuh
sampan ke bulan
dan enggan menoleh jejak-jejaknya kembali
seperti menemukan surga, dan mengubur segenap ingatannya
ke dalam buih yang telah di lalui burung bangkai
berbulu putih
seputih kelicikan pantulan cermin
tanpa maksud, kau tempempelkan lempengan
lempengan kaca ke purmukaan perahu
aku berlayar tersesat sendirian
sekawanan mahluk asing berbisa mencincang
dengan lidahnya
bau busuk bertebaran, menyedihkan, menyakitkan
serupa bangkai ikan-ikan asing, jadi hiasan dnding
yang menghantui segala penguasa
perkambungan, di tengah karang yang mengenaskan.
Surabaya, 2002.
saat rohku bergelayutan ombak
pohon-pohon tua tancapkan akarnya
keniscayaan lumpur yang rapuh telah di sembah
dan perahu berlayar lusuh di kendarai nelayan buta
berabad-abad menyisir pantai, hingga kulit melebam
yang tak tahu kerinduan menyerupai malam purnama
yang mencabik sunyi dan kepedihan
buat tebarkan jalan
kini mimpimu yang sombong jadi tanah kering
membakar telapak kaki anak-anak, yang terus mengayuh
sampan ke bulan
dan enggan menoleh jejak-jejaknya kembali
seperti menemukan surga, dan mengubur segenap ingatannya
ke dalam buih yang telah di lalui burung bangkai
berbulu putih
seputih kelicikan pantulan cermin
tanpa maksud, kau tempempelkan lempengan
lempengan kaca ke purmukaan perahu
aku berlayar tersesat sendirian
sekawanan mahluk asing berbisa mencincang
dengan lidahnya
bau busuk bertebaran, menyedihkan, menyakitkan
serupa bangkai ikan-ikan asing, jadi hiasan dnding
yang menghantui segala penguasa
perkambungan, di tengah karang yang mengenaskan.
Surabaya, 2002.
Puisi Subagio Sastrowardoyo (2)
DI POJOK JALAN
Bahwa kita hidup adalah perjanjian
dengan bumi: bahwa kita akan setia
kepada istri, dan kepada anak
merasa sayang. Kita bersatu dengan awan,
dengan bunga dan bianatang. Kepada
tanah terikat dengan kebaktian dan tekat.
Perjanjian diikrarkan dengan darah
dinihari, di daerah perbatasan
antara lahir dan mati.
Amat sederhana: di pojok jalan
manusia kurus menangkup bunuh diri.
DI UJUNG RANJANG
waktu tidur
tak ada yang menjamin
kau bisa bangun lagi
tidur
adalah persiapan
buat tidur lebih lelap
di ujung ranjang
menjaga bidadari
menyanyi nina-bobo
JARAK
Bapak di sorga.
Biar kita jaga jarak
ini antara kau dan aku
Kau hilang dalam keputihan ufuk
dan aku tersuruk di hutan buta.
Hiburku hanya burung di dahan
dan jauh ke lembah
gerau pasar di dusun.
Aku tahu keriuhan ini
hanya sekali terdengar
sesudah itu padam segala suara
dan aku memburu ke pintu rumah.
Bapak di sorga
biarlah kita jaga jarak ini
sebab aku ini manusia mual
Sekali kau tampak telanjang di hutan
Aku akan berteriak seperti Yahudi:
"Salib!"
Dan kau akan tinggal sebungkah
lumpur lekat di kayu.
LEIDEN 12/10/78 (LARUT MALAM)
mengapa selalu harus ada siksa
sebelum bisa terucap geliat nyawa
dia yang disalib
ditusuk lambungnya dengan tombak derita
darahnya titik murni sabda
kebahagiaan melumpuhkan tenaga berkata
sebelum sama sekali bisu
biar kujatuhkan diri dari menara
sehingga terlepas sengsara dalam syair paling merdu
Bahwa kita hidup adalah perjanjian
dengan bumi: bahwa kita akan setia
kepada istri, dan kepada anak
merasa sayang. Kita bersatu dengan awan,
dengan bunga dan bianatang. Kepada
tanah terikat dengan kebaktian dan tekat.
Perjanjian diikrarkan dengan darah
dinihari, di daerah perbatasan
antara lahir dan mati.
Amat sederhana: di pojok jalan
manusia kurus menangkup bunuh diri.
DI UJUNG RANJANG
waktu tidur
tak ada yang menjamin
kau bisa bangun lagi
tidur
adalah persiapan
buat tidur lebih lelap
di ujung ranjang
menjaga bidadari
menyanyi nina-bobo
JARAK
Bapak di sorga.
Biar kita jaga jarak
ini antara kau dan aku
Kau hilang dalam keputihan ufuk
dan aku tersuruk di hutan buta.
Hiburku hanya burung di dahan
dan jauh ke lembah
gerau pasar di dusun.
Aku tahu keriuhan ini
hanya sekali terdengar
sesudah itu padam segala suara
dan aku memburu ke pintu rumah.
Bapak di sorga
biarlah kita jaga jarak ini
sebab aku ini manusia mual
Sekali kau tampak telanjang di hutan
Aku akan berteriak seperti Yahudi:
"Salib!"
Dan kau akan tinggal sebungkah
lumpur lekat di kayu.
LEIDEN 12/10/78 (LARUT MALAM)
mengapa selalu harus ada siksa
sebelum bisa terucap geliat nyawa
dia yang disalib
ditusuk lambungnya dengan tombak derita
darahnya titik murni sabda
kebahagiaan melumpuhkan tenaga berkata
sebelum sama sekali bisu
biar kujatuhkan diri dari menara
sehingga terlepas sengsara dalam syair paling merdu
Puisi Kriapur (2)
KUPU-KUPU KACA
Sehabis meninggalkan jejak kemarau lama
lalu kupu-kupu menjadi kaca
Aku makin mengerti keluh bumi ini
Malam menjadi jalan dan mencari pemilik diri
Juga terasa jiwa, memuat pedih lalu lenyap
Udara telah menutup semua peristiwa
dan suara ombak melimbur
Menggelepar di pinggir pagar yang meraj terbakar
Setiap menyusup dalam bumi kelam
Tangan-tangan mayat menjulur ke bulan
Kota yang bangkit karena hujan
Mengubur luas jaman
Sehabis meninggalkan jejak kemarau lama
lalu kupu-kupu menjadi kaca
Aku makin mengerti keluh bumi ini
Malam menjadi jalan dan mencari pemilik diri
Juga terasa jiwa, memuat pedih lalu lenyap
Udara telah menutup semua peristiwa
dan suara ombak melimbur
Menggelepar di pinggir pagar yang meraj terbakar
Setiap menyusup dalam bumi kelam
Tangan-tangan mayat menjulur ke bulan
Kota yang bangkit karena hujan
Mengubur luas jaman
Puisi Sutardji Calzoum Bachri
SATU
kuterjemahkan tubuhku ke dalam tubuhmu
ke dalam rambutmu kuterjemahkan rambutku
jika tanganmu tak bisa bilang tanganku
kuterjemahkan tanganku ke dalam tanganmu
jika lidahmu tak bisa mengucap lidahku
kuterjemahkan lidahku ke dalam lidahmu
aku terjemahkan jemariku ke dalam jemarimu
jika jari jemarimu tak bisa memetikku
ke dalam darahmu kuterjemahkan darahku
kalau darahmu tak bisa mengucap darahku
jika ususmu belum bisa mencerna ususku
kuterjemahkan ususku ke dalam ususmu
kalau kelaminmu belum bilang kelaminku
aku terjemahkan kelaminku ke dalam kelaminmu
daging kita satu arwah kita satu
walau masing jauh
yang tertusuk padamu berdarah padaku
kuterjemahkan tubuhku ke dalam tubuhmu
ke dalam rambutmu kuterjemahkan rambutku
jika tanganmu tak bisa bilang tanganku
kuterjemahkan tanganku ke dalam tanganmu
jika lidahmu tak bisa mengucap lidahku
kuterjemahkan lidahku ke dalam lidahmu
aku terjemahkan jemariku ke dalam jemarimu
jika jari jemarimu tak bisa memetikku
ke dalam darahmu kuterjemahkan darahku
kalau darahmu tak bisa mengucap darahku
jika ususmu belum bisa mencerna ususku
kuterjemahkan ususku ke dalam ususmu
kalau kelaminmu belum bilang kelaminku
aku terjemahkan kelaminku ke dalam kelaminmu
daging kita satu arwah kita satu
walau masing jauh
yang tertusuk padamu berdarah padaku
Puisi Dorothea Rosa Herliany
NYANYIAN BUNGKAM
di dalam peti tak terdengar lagi
suara mengaduhmu
hanya tinggal ranjang
tanpa tepi
jendela tanpa rupa hari-hri
namun di luar tidur, perjalanan hampir
usai
mengekalkan sunyi
lalu dalam terjaga
ada dinding menyekat
mimpi kita
--pandanganmu betapa jauh
memisahkan rindu
dari kesendirian dunia
1987
MATAHARI YANG MENGALIR
rupanya dema yang tadi kuterima, cuma gerit pintu
terbuka. usia yang kembali terpenggal, dan terlepas
abad-abad terluka, mengental di lantai, cuma gerit
pintu yang terbuka; dan bayangan-bayangan terlepas
dari bingkainya. rupanya gema yang tadi kuterima,
sesudah terbuka liang bagimu, cuma desis -- pidato
pemberangkatan -- dan getar tetes air mata
rupanya bayangan daun telah rebah ke tanah yang fana,
lantas kubuka kembali daun jendela, kukemasi abad-abad
dalam kalender, pada dinding (kesaksian yang membatu)
dan rumah-rumah yang nestapa
1988
ket: diambil dari buku puisi "Matahari yang Mengalir" (Nusa Indah, 1990)
di dalam peti tak terdengar lagi
suara mengaduhmu
hanya tinggal ranjang
tanpa tepi
jendela tanpa rupa hari-hri
namun di luar tidur, perjalanan hampir
usai
mengekalkan sunyi
lalu dalam terjaga
ada dinding menyekat
mimpi kita
--pandanganmu betapa jauh
memisahkan rindu
dari kesendirian dunia
1987
MATAHARI YANG MENGALIR
rupanya dema yang tadi kuterima, cuma gerit pintu
terbuka. usia yang kembali terpenggal, dan terlepas
abad-abad terluka, mengental di lantai, cuma gerit
pintu yang terbuka; dan bayangan-bayangan terlepas
dari bingkainya. rupanya gema yang tadi kuterima,
sesudah terbuka liang bagimu, cuma desis -- pidato
pemberangkatan -- dan getar tetes air mata
rupanya bayangan daun telah rebah ke tanah yang fana,
lantas kubuka kembali daun jendela, kukemasi abad-abad
dalam kalender, pada dinding (kesaksian yang membatu)
dan rumah-rumah yang nestapa
1988
ket: diambil dari buku puisi "Matahari yang Mengalir" (Nusa Indah, 1990)
Puisi Ribut Wijoto
SENGAJA AKU MENCINTAIMU
sengaja aku mencintaimu
lalu biarkan kukirim surat
seperti suratku yang tiada henti
mengalir ke tubuhmu
aku tak pernah menanti jawab
sebab aku belum selesai mengeja
bait bait sajak yang kautulis
tak juga sempat kutolak
sebab cinta adalah kesendirian
rindu aku jadi kekasihmu
sebab dari ada kuingin tiada
1996
DI PUCUK PUCUK
engkaukah itu
bening bergelantungan
di pucuk pucuk daun
dan akukah tuhan
tiap kali menyebut
namamu
1996
KABAR DARI PENGASINGAN
di paruh perjalanan
aku bertanya padamu
engkau kalijaga
sejarah merubah perahu
mencari cermin tanah
namun tanpa upacara
burung burung ketakutan
1996
sengaja aku mencintaimu
lalu biarkan kukirim surat
seperti suratku yang tiada henti
mengalir ke tubuhmu
aku tak pernah menanti jawab
sebab aku belum selesai mengeja
bait bait sajak yang kautulis
tak juga sempat kutolak
sebab cinta adalah kesendirian
rindu aku jadi kekasihmu
sebab dari ada kuingin tiada
1996
DI PUCUK PUCUK
engkaukah itu
bening bergelantungan
di pucuk pucuk daun
dan akukah tuhan
tiap kali menyebut
namamu
1996
KABAR DARI PENGASINGAN
di paruh perjalanan
aku bertanya padamu
engkau kalijaga
sejarah merubah perahu
mencari cermin tanah
namun tanpa upacara
burung burung ketakutan
1996
Puisi Muhammad Aris
RAWE MAKAN KEPALA
Kepala-kepala teracak bangku. Menebarkan suara
menghancurkan kristal hitam
penutup salju dan hangat matahri
di atas karpet semut merah merambat, berbaris
lampu memberi pentunjuk di atas data garis-garis
terkaman kaki di sekitarnya
karpet menyebar asam sulfat bagi rawe yang mulai
menjaja kulit, tangan-tangan mengumpat, gesekan kuku
memukul malam dengan sapu lidi
NGILU PEJU
angin
angin engkau runtuh
seperti ingin
dengus-geliat malam penuh gendam
mulai engkau telanjang
ndedar tiap liuk-lekuk badang
sering jadi pedang
diri sengaja cipta sepi
sejak gerisik ranting lukis pincang jejak
"aku mantra
aku mantra!"
seruak bau lebus
dari sela selangkangan
farji
teman kasih
setia tak pernah lengah
mancar
haru biru hari-hari
cakap cuma lubang kecil
gelap
ruang tampak
pengap
kubur dan jasat
lanskap
renik-renik suntuk terus
tembak lurus gema firdaus
acak-acak wujud sang bagus
segala rupa pedas dibelah
raut diraut hingga tinggal kata
"tak ada
tak ada!"
seperti ia pernah musnah
"hampa!"
katanya
harus kembali mulus
jadi tanah atau njelma sperma
2000
Kepala-kepala teracak bangku. Menebarkan suara
menghancurkan kristal hitam
penutup salju dan hangat matahri
di atas karpet semut merah merambat, berbaris
lampu memberi pentunjuk di atas data garis-garis
terkaman kaki di sekitarnya
karpet menyebar asam sulfat bagi rawe yang mulai
menjaja kulit, tangan-tangan mengumpat, gesekan kuku
memukul malam dengan sapu lidi
NGILU PEJU
angin
angin engkau runtuh
seperti ingin
dengus-geliat malam penuh gendam
mulai engkau telanjang
ndedar tiap liuk-lekuk badang
sering jadi pedang
diri sengaja cipta sepi
sejak gerisik ranting lukis pincang jejak
"aku mantra
aku mantra!"
seruak bau lebus
dari sela selangkangan
farji
teman kasih
setia tak pernah lengah
mancar
haru biru hari-hari
cakap cuma lubang kecil
gelap
ruang tampak
pengap
kubur dan jasat
lanskap
renik-renik suntuk terus
tembak lurus gema firdaus
acak-acak wujud sang bagus
segala rupa pedas dibelah
raut diraut hingga tinggal kata
"tak ada
tak ada!"
seperti ia pernah musnah
"hampa!"
katanya
harus kembali mulus
jadi tanah atau njelma sperma
2000
Puisi Mashuri
RITUAL PENGGAL INGATAN SOERABAIA
di sepanjang boulevard, kita seakan tersesat
kerna gedung bersijingkat di sekat awan; di sungai
kita hanya menemu sangsi ---pada hidup
busa berbiak; ikan-ikan berenang di bawah acungan
tombak; lalu kita bertanya pada rumput yang tercelup
tinta, mungkin arang: masihkah sunyi menggerayang
serupa tangan di sebalik kutang
kita lalu ingat: ada noktah, titik-titik yang terpeta
di sepanjang kota
saat segala pelakian bebas lepas nafas
dan gaun ditanting ke ubun, dikemas; sambil melipat kertas
lalu meremas gemas pelaminan
"beri jalan bagi mereka yang ingin memuncak
ke aras-aras tinggi; suar segala birahi
beri mimpi pada tualang yang dahaga
saat katup-katup terkunci, dan di sini
segala pintu terbuka, bahkan tak berbingkai
beri hidup pada mempelai"
sungguh, di gelap sangsai, kita lah terkurung di balai
dan keagungan melantai ke balik rumpun rumput
kerna rembulan selalu purnama
di kampung-kampung
---di jantung kota yang mengapung
kerna ingat dan lupa, serupa layang-layang
membayang di angkasa dengan benang
terjela
langit menjadi jauh
tuk ditafsirkan ---dengan satu serapah
satu kepalan tangan, atau
satu ruang yang bebaskan arus trengginas
sebab pucuk-pucuk terampas; hanya dancuk
mengganas
pikiran kita pun sekalut maut, saat izroil terusir
meski kita tahu: ada diam yang memagut malam
di langsir, di pinggir, sambil mengoyak diam
di antara nisan dan tamsil
dalam doa, kita memanggil, sekaligus mengusir
kerna suara timpang, gelak merumpang
dan segala tetumbuhan di jalanan
serupa payung ---tanpa hujan
dan pantai
hanya kesumat yang melantai; serupa penari
yang tak tahu arti gerak dan tak gerak
memang segalanya belum terukir pada garis
nadir ---saat segala wujud semu
dan kelir dikoyak batu: kerna pada nujum
yang melekat, jauh ke lubuk riwayat
ada huma, jua rawa, terpampang di mata
dan sejarah seakan-akan membuat orang berdusta
soal muasal
juga nama-nama yang terenggut dari asal
tapi segalanya melingkar di luar nalar
melata tanpa tanah; tiang
kita pun berjiwa udik
di tengah hutan logam; saat susut kelindan
beringsut dari piuh perasaan
dan jampi-jampi merasuk lebihi pertempuran
soal asal-usul, juga derap yang tumpang
jejak-jejak berkelindan antara gamang
dan kepastian
kita dipaksa mengabdi kini, tanpa ingatan
dan kita bersetia pada pengkhianatan
tanpa tawaran ---kecuali retak jalan
dan kaki-kaki penuh daki; bekas luka
menghitam
menapak
sengkarut asa, liuk ular berbisa
jua lorong-lorong tanpa irama
segalanya berubah
serupa penjara
tanpa penjaga
jika pun trotoar tak lempang
kerna selokan selalu menghunus kelokan ---segala limbah
serupa tanda; abu-abu
mengalir bak rabu; tanpa pralambang
takwil pun terpencil, terpesona atau berbalik
di gelap mistik, sambil bersedekap
: kami punya tuah sejarah, kami orang darah, mari berderap!
musim pun semakin tua, bukan? dan kita terlanjur tak bisa
mengingat dengan pasti
tentang kelahiran
serupa moyang
ketika hapalan berlari ke liang lahat
siap dikuburkan; dan tulisan masih jauh
dari gapaian; kabur
bersama cuaca yang tak terukur
di batas indera; antara ada
dan sirna
di sepanjang pandang, silam
kita hanya menapak pembongkaran
tilas yang rapuh, lekas luruh
kerna tangan bersikukuh pada pancung
memenggal ingat
dengan ruh sesaat
agar burung-burung tak lagi hinggap
dan terbang ke pusat gelap
segala kata seakan menghardik
"apa yang kau ingat dari stasiun, jalan-jalan
memori, pertumpahan di silam hari, juga segulung
kenangan tua?"
hanya rumah-rumah perkabungan
menjawab ---seakan nyawa terangkat
belasungkawa mengendap di atap
dan kita
serupa kanak-kanak
belajar membaca; dan tak pernah mengerti ke mana lacak
dan jejak melenggang
menuju kehancuran
: penghapusan ingatan; abadi..
di sepanjang boulevard, kita seakan tersesat
kerna gedung bersijingkat di sekat awan; di sungai
kita hanya menemu sangsi ---pada hidup
busa berbiak; ikan-ikan berenang di bawah acungan
tombak; lalu kita bertanya pada rumput yang tercelup
tinta, mungkin arang: masihkah sunyi menggerayang
serupa tangan di sebalik kutang
kita lalu ingat: ada noktah, titik-titik yang terpeta
di sepanjang kota
saat segala pelakian bebas lepas nafas
dan gaun ditanting ke ubun, dikemas; sambil melipat kertas
lalu meremas gemas pelaminan
"beri jalan bagi mereka yang ingin memuncak
ke aras-aras tinggi; suar segala birahi
beri mimpi pada tualang yang dahaga
saat katup-katup terkunci, dan di sini
segala pintu terbuka, bahkan tak berbingkai
beri hidup pada mempelai"
sungguh, di gelap sangsai, kita lah terkurung di balai
dan keagungan melantai ke balik rumpun rumput
kerna rembulan selalu purnama
di kampung-kampung
---di jantung kota yang mengapung
kerna ingat dan lupa, serupa layang-layang
membayang di angkasa dengan benang
terjela
langit menjadi jauh
tuk ditafsirkan ---dengan satu serapah
satu kepalan tangan, atau
satu ruang yang bebaskan arus trengginas
sebab pucuk-pucuk terampas; hanya dancuk
mengganas
pikiran kita pun sekalut maut, saat izroil terusir
meski kita tahu: ada diam yang memagut malam
di langsir, di pinggir, sambil mengoyak diam
di antara nisan dan tamsil
dalam doa, kita memanggil, sekaligus mengusir
kerna suara timpang, gelak merumpang
dan segala tetumbuhan di jalanan
serupa payung ---tanpa hujan
dan pantai
hanya kesumat yang melantai; serupa penari
yang tak tahu arti gerak dan tak gerak
memang segalanya belum terukir pada garis
nadir ---saat segala wujud semu
dan kelir dikoyak batu: kerna pada nujum
yang melekat, jauh ke lubuk riwayat
ada huma, jua rawa, terpampang di mata
dan sejarah seakan-akan membuat orang berdusta
soal muasal
juga nama-nama yang terenggut dari asal
tapi segalanya melingkar di luar nalar
melata tanpa tanah; tiang
kita pun berjiwa udik
di tengah hutan logam; saat susut kelindan
beringsut dari piuh perasaan
dan jampi-jampi merasuk lebihi pertempuran
soal asal-usul, juga derap yang tumpang
jejak-jejak berkelindan antara gamang
dan kepastian
kita dipaksa mengabdi kini, tanpa ingatan
dan kita bersetia pada pengkhianatan
tanpa tawaran ---kecuali retak jalan
dan kaki-kaki penuh daki; bekas luka
menghitam
menapak
sengkarut asa, liuk ular berbisa
jua lorong-lorong tanpa irama
segalanya berubah
serupa penjara
tanpa penjaga
jika pun trotoar tak lempang
kerna selokan selalu menghunus kelokan ---segala limbah
serupa tanda; abu-abu
mengalir bak rabu; tanpa pralambang
takwil pun terpencil, terpesona atau berbalik
di gelap mistik, sambil bersedekap
: kami punya tuah sejarah, kami orang darah, mari berderap!
musim pun semakin tua, bukan? dan kita terlanjur tak bisa
mengingat dengan pasti
tentang kelahiran
serupa moyang
ketika hapalan berlari ke liang lahat
siap dikuburkan; dan tulisan masih jauh
dari gapaian; kabur
bersama cuaca yang tak terukur
di batas indera; antara ada
dan sirna
di sepanjang pandang, silam
kita hanya menapak pembongkaran
tilas yang rapuh, lekas luruh
kerna tangan bersikukuh pada pancung
memenggal ingat
dengan ruh sesaat
agar burung-burung tak lagi hinggap
dan terbang ke pusat gelap
segala kata seakan menghardik
"apa yang kau ingat dari stasiun, jalan-jalan
memori, pertumpahan di silam hari, juga segulung
kenangan tua?"
hanya rumah-rumah perkabungan
menjawab ---seakan nyawa terangkat
belasungkawa mengendap di atap
dan kita
serupa kanak-kanak
belajar membaca; dan tak pernah mengerti ke mana lacak
dan jejak melenggang
menuju kehancuran
: penghapusan ingatan; abadi..
Puisi Sihar Ramses
CALIGULA: SEBUAH SITUS
”Bulan, aku inginkan bulan!”
Kau dengarkah suara itu, yang bersetubuh dengan gending dan
gong ekstase malam. Nafsu-nafsu telah menari di atas pentas
kita dan sinis tawa caligula akan siap merambat pada seluruh
pintu dan rumah-rumah.
Dan memasuki sejarah caligula…
roh bergegas memasuki tubuhmu, dengan pekik kemenangan,
siap menyuapkan bau-bau tirani yang penasaran pada kembara
abad dan masa. Katalog-katalog kematian telah tersusun rapi di
atas meja, dan kau akan tenggelam dalam perbudakan nafasmu,
menjadi algojo, menari-nari dalam panggung yang baru.
Di kamar kita gending dan gong ekstase malam kembali
diperdengarkan. Setia menjemput bayi-bayi dan orang tua
pada setiap pintu.
”Bulan, aku inginkan bulan!”
Kau dengarkah suara itu, yang bersetubuh dengan gending dan
gong ekstase malam. Nafsu-nafsu telah menari di atas pentas
kita dan sinis tawa caligula akan siap merambat pada seluruh
pintu dan rumah-rumah.
Dan memasuki sejarah caligula…
roh bergegas memasuki tubuhmu, dengan pekik kemenangan,
siap menyuapkan bau-bau tirani yang penasaran pada kembara
abad dan masa. Katalog-katalog kematian telah tersusun rapi di
atas meja, dan kau akan tenggelam dalam perbudakan nafasmu,
menjadi algojo, menari-nari dalam panggung yang baru.
Di kamar kita gending dan gong ekstase malam kembali
diperdengarkan. Setia menjemput bayi-bayi dan orang tua
pada setiap pintu.
Puisi F. Aziz Manna
BERPELUKANLAH ANAK DAN IBU ITU
(1)
ibu, kemarau telah datang, doakan
aku tak lagi kedinginan bila pagi hari datang
doakan pula aku, ibu
agar matahari tak lagi menenggelamkan
dalam keringat dalam kepayahan yang sangat
(2)
seorang anak menari di depan ibunya
seorang bapak menangis dalam doa
mungkin tak ada sorga tak jua neraka
tapi ada yang berbunga
tapi ada yang bercucur airmata
(Waru, 2005)
SITI SURABAYA
karena aku terlahir di sini
dari keluarga seperti ini
maka namaku siti, siti jamilah tepatnya
lambang kesuburan dan keindahan
kata orang tuaku
tapi aku tak percaya itu
aku ingin tafsir yang lain
aku tak mau sekedar ayu
aku mau cantik
aku mau seksi
aku mau wah, lebih dari indah
aku juga tak mau kesuburan tanahku dikapling
bapakku, ibuku, kakek-nenek-paman-saudara-saudaraku
aku mau tanahku dibebaskan
maka kuganti saja amsal riwayatku:
namaku siti, siti surabaya tepatnya;
sebuah lahan pesta.
derap langkah
menyibak rerumputan
menjadi jalan
rerawa belantara
punah
siti pun meniti jalan
jalan ketandusan
di hamparan tanah
yang dulunya penuh buaya, ikan sura, kecebong dan ular berbisa
kini bertumbuhan rumah tinggal, rumah singgah, rumah bersalin,
rumah jompo, rumah toko, rumah makan,
rumah sakit, rumah kecantikan, rumah pelacuran,
kamar dagang, rumah jagal;
sebuah kehidupan
ada uang silahkan tanam
tak ada uang?
silahkan rebut dengan kayu, batu, paku, palu, arit, clurit,
berang, pentungan, sadukan, bogeman,
kenthuan, selintutan, kepung-kepungan
atau tukar guling saja sama yang di atas sana, itu lebih mudah
rawa-rawa dijual-obral serampang-gampangan.
ji walang kaji kukuk beluk
dem dem
cang kacang lombok abang mlungker
siti nang kali bagong nang embong
siti njaluk rabi tak olehno kucing garong*
siti telah melompat dari belukar
ke peluk makelar
meski siti tahu makna profesi itu
tapi siti pun tahu
hanya itu
satu-satunya pintu
siti putuskan tak pakai kebaya lagi
siti pakai rok mini
baju mini
sempak mini
kutang mini
hati mini
isi pikiran mini
siti yang mini telah berubah jadi city
siti adalah city dan city adalah siti
siti bergelut dengan city
city berebut merenggut siti
mereka saling jepit
saling gesek
saling tekan
jempalikan
siti melotot hampir mecotot
susunya ndongak, bokongnya bengkak
wajahnya dipermak penuh bedak
eeee…city sengak malah teriak: maju perut pantat mundur!
siti pun lari
di antara dua sungai
di sepanjang muara delta
tapi airmata tak jua terhenti
siti terus berlari
ke selatan ke pantai utara
dari Gentengkali sampai ke Ujung yang Baru
menginjak lempung kering ampo
hingga hutan wangi
dari hutan wangi
dengan kerinduan alang kepalang
siti babat alas randu dan alang-alang
menciptakan oase
kedung bagi para pelancung
batang waru mas buat gagang palu
malam minggu mas, ayo,
jangan malu-malu, masuk saja ke kamarku
namun siti terus terdesak
setelah banyak mulut berteriak
siti kembali berlari
ke timur ke arah tenggelamnya matahari
di tengah tambak dan sawah
siti lepaskan yang mengkerkah
aku kini bertelanjang dada
bertelanjang bokong dan paha
kuundang kau hai seluruh penghuni rawa:
cium dadaku mana mulutmu!
siti tercutat
mencelat hingga Putat
siti terdampar di gang remang Kupang
siti kian liar
siti kian nakal
siti mencipta kampung pinggiran
kampung balon
kampung senukan
cium aku, peluk aku, sayang-cintai aku
tapi jangan selamanya, selamanya jangan
siti limbung di tengah pasar burung
nenggak tuak sengak
sesengak moncong tukang becak.
city mendengkur. siti ngelindur
sorga yang engkau janjikan
neraka yang kudapatkan
manis yang aku hayalkan
pahit yang aku rasakan**
siti menyanyi
seperti menyumpahi
di tingkah kulit yang digasak
senar yang digetar
dan tumbukan serenteng kempyeng
bahasa membeku di siti punya tubuh
tinggal geletar bunyi
yang sukar dipahami
tapi mudah diikuti
sesuatu yang tak berhenti
sekaligus tak menghenti
siti oleng lagi
siti mabuk
nyeruduk
nubruk
½ ambruk
untuk melupakanmu
aku telah menghapal
seluruh lekuk bentuk para cecunguk
tapi kota punya batas
yang terus nyeruduk, nggepuk,
dan mencengkeramku
kembali, mengingatmu
itulah mengapa
selalu saja
ada alasan bagi wanita
untuk tidak memercayai dunia.
di taman makam kota terbaca kisah
ribuan orang bergerak dalam perang
ribuan peluru tajam, mortar, kelewang
sabit, celurit, bambu runcing dan lengking teriakan
lalu payung-payung hitam
meninggalkan masa depan
siti tahu tak pernah ikut revolusi itu
tapi siti tahu gejolak itu
siti rasakan geluncak api tak kunjung padam itu
mata angin perubahan itu
waktu hanya hitungan
kota hanya sebutan, hanya tunggangan
biar kusetir
kulaju sekehendak udelku
akulah migran!
pelacur kampungan!
penghilang kesumpekan!
penggerak kehidupan!
siti tersentak teriak sendiri
dan menemukan diri di selempitan bong pay
di hamparan Kembang yang Kuning
siti mencoba kenali kembali
protolan diri sendiri
nampaknya, kisah hidup siti yang tercuri
tercecer
di pasar maling tengah rel di belakang Pasar Turi
album foto siti diobral di pasar Wonokromo yang terbakar,
di bedak ciut pasar Blauran, di jalan Semarang,
di lapak-lapak jalan Demak, di Gembong yang sesak
di tepi Tanjung berwarna Perak itu, siti tersimpuh:
perahu-perahu itu
datang dan
pergi. perahu-perahu itu
berlabuh sekaligus
menjauh. siti di sana
di menara
berteriak.
di laut
air begitu setia
papan-papan perahu diterimanya saja
kau bermaksud apa
terserah
dan angin yang lembut itu
akan merangkulmu
dengan tabah
dengan suka rela
namun tak ada yang pernah menjelaskan
mengapa
perahu-perahu itu datang
dan berlayar
kau tahu semua itu kehendak
hari ini siti duduk
di tepian pantai, melempar
lempar kerikil tajam
dalam matanya
ia melihat: matahari itu
perahu-perahu itu
burung-burung itu
orang-orang itu
berjalan
melintas
berputar
berlarian
siti tak pernah mengerti
mengapa
siti hanya tahu itu terjadi
dan siti tersenyum
di dermaga
perahu-perahu datang
perahu-perahu pergi
matahari petang
matahari meninggi
burung-burung camar
burung-burung pelikan
di sudut jendela kampar
siti ambil napas panjang
semua meninggalkanku
seperti laut yang surut
ah anakku, prajuritku
dengar-lihatlah
laut masih gemuruh
lajulah laju perahu
lajulah laju.
(Sidoarjo-Surabaya, 2007)
*dari sebuah lagu dolanan anak-anak
**sebuah syair lagu dangdut berjudul `Janji` yang dipopulerkan biduanita Rita Sugiarto
(1)
ibu, kemarau telah datang, doakan
aku tak lagi kedinginan bila pagi hari datang
doakan pula aku, ibu
agar matahari tak lagi menenggelamkan
dalam keringat dalam kepayahan yang sangat
(2)
seorang anak menari di depan ibunya
seorang bapak menangis dalam doa
mungkin tak ada sorga tak jua neraka
tapi ada yang berbunga
tapi ada yang bercucur airmata
(Waru, 2005)
SITI SURABAYA
karena aku terlahir di sini
dari keluarga seperti ini
maka namaku siti, siti jamilah tepatnya
lambang kesuburan dan keindahan
kata orang tuaku
tapi aku tak percaya itu
aku ingin tafsir yang lain
aku tak mau sekedar ayu
aku mau cantik
aku mau seksi
aku mau wah, lebih dari indah
aku juga tak mau kesuburan tanahku dikapling
bapakku, ibuku, kakek-nenek-paman-saudara-saudaraku
aku mau tanahku dibebaskan
maka kuganti saja amsal riwayatku:
namaku siti, siti surabaya tepatnya;
sebuah lahan pesta.
derap langkah
menyibak rerumputan
menjadi jalan
rerawa belantara
punah
siti pun meniti jalan
jalan ketandusan
di hamparan tanah
yang dulunya penuh buaya, ikan sura, kecebong dan ular berbisa
kini bertumbuhan rumah tinggal, rumah singgah, rumah bersalin,
rumah jompo, rumah toko, rumah makan,
rumah sakit, rumah kecantikan, rumah pelacuran,
kamar dagang, rumah jagal;
sebuah kehidupan
ada uang silahkan tanam
tak ada uang?
silahkan rebut dengan kayu, batu, paku, palu, arit, clurit,
berang, pentungan, sadukan, bogeman,
kenthuan, selintutan, kepung-kepungan
atau tukar guling saja sama yang di atas sana, itu lebih mudah
rawa-rawa dijual-obral serampang-gampangan.
ji walang kaji kukuk beluk
dem dem
cang kacang lombok abang mlungker
siti nang kali bagong nang embong
siti njaluk rabi tak olehno kucing garong*
siti telah melompat dari belukar
ke peluk makelar
meski siti tahu makna profesi itu
tapi siti pun tahu
hanya itu
satu-satunya pintu
siti putuskan tak pakai kebaya lagi
siti pakai rok mini
baju mini
sempak mini
kutang mini
hati mini
isi pikiran mini
siti yang mini telah berubah jadi city
siti adalah city dan city adalah siti
siti bergelut dengan city
city berebut merenggut siti
mereka saling jepit
saling gesek
saling tekan
jempalikan
siti melotot hampir mecotot
susunya ndongak, bokongnya bengkak
wajahnya dipermak penuh bedak
eeee…city sengak malah teriak: maju perut pantat mundur!
siti pun lari
di antara dua sungai
di sepanjang muara delta
tapi airmata tak jua terhenti
siti terus berlari
ke selatan ke pantai utara
dari Gentengkali sampai ke Ujung yang Baru
menginjak lempung kering ampo
hingga hutan wangi
dari hutan wangi
dengan kerinduan alang kepalang
siti babat alas randu dan alang-alang
menciptakan oase
kedung bagi para pelancung
batang waru mas buat gagang palu
malam minggu mas, ayo,
jangan malu-malu, masuk saja ke kamarku
namun siti terus terdesak
setelah banyak mulut berteriak
siti kembali berlari
ke timur ke arah tenggelamnya matahari
di tengah tambak dan sawah
siti lepaskan yang mengkerkah
aku kini bertelanjang dada
bertelanjang bokong dan paha
kuundang kau hai seluruh penghuni rawa:
cium dadaku mana mulutmu!
siti tercutat
mencelat hingga Putat
siti terdampar di gang remang Kupang
siti kian liar
siti kian nakal
siti mencipta kampung pinggiran
kampung balon
kampung senukan
cium aku, peluk aku, sayang-cintai aku
tapi jangan selamanya, selamanya jangan
siti limbung di tengah pasar burung
nenggak tuak sengak
sesengak moncong tukang becak.
city mendengkur. siti ngelindur
sorga yang engkau janjikan
neraka yang kudapatkan
manis yang aku hayalkan
pahit yang aku rasakan**
siti menyanyi
seperti menyumpahi
di tingkah kulit yang digasak
senar yang digetar
dan tumbukan serenteng kempyeng
bahasa membeku di siti punya tubuh
tinggal geletar bunyi
yang sukar dipahami
tapi mudah diikuti
sesuatu yang tak berhenti
sekaligus tak menghenti
siti oleng lagi
siti mabuk
nyeruduk
nubruk
½ ambruk
untuk melupakanmu
aku telah menghapal
seluruh lekuk bentuk para cecunguk
tapi kota punya batas
yang terus nyeruduk, nggepuk,
dan mencengkeramku
kembali, mengingatmu
itulah mengapa
selalu saja
ada alasan bagi wanita
untuk tidak memercayai dunia.
di taman makam kota terbaca kisah
ribuan orang bergerak dalam perang
ribuan peluru tajam, mortar, kelewang
sabit, celurit, bambu runcing dan lengking teriakan
lalu payung-payung hitam
meninggalkan masa depan
siti tahu tak pernah ikut revolusi itu
tapi siti tahu gejolak itu
siti rasakan geluncak api tak kunjung padam itu
mata angin perubahan itu
waktu hanya hitungan
kota hanya sebutan, hanya tunggangan
biar kusetir
kulaju sekehendak udelku
akulah migran!
pelacur kampungan!
penghilang kesumpekan!
penggerak kehidupan!
siti tersentak teriak sendiri
dan menemukan diri di selempitan bong pay
di hamparan Kembang yang Kuning
siti mencoba kenali kembali
protolan diri sendiri
nampaknya, kisah hidup siti yang tercuri
tercecer
di pasar maling tengah rel di belakang Pasar Turi
album foto siti diobral di pasar Wonokromo yang terbakar,
di bedak ciut pasar Blauran, di jalan Semarang,
di lapak-lapak jalan Demak, di Gembong yang sesak
di tepi Tanjung berwarna Perak itu, siti tersimpuh:
perahu-perahu itu
datang dan
pergi. perahu-perahu itu
berlabuh sekaligus
menjauh. siti di sana
di menara
berteriak.
di laut
air begitu setia
papan-papan perahu diterimanya saja
kau bermaksud apa
terserah
dan angin yang lembut itu
akan merangkulmu
dengan tabah
dengan suka rela
namun tak ada yang pernah menjelaskan
mengapa
perahu-perahu itu datang
dan berlayar
kau tahu semua itu kehendak
hari ini siti duduk
di tepian pantai, melempar
lempar kerikil tajam
dalam matanya
ia melihat: matahari itu
perahu-perahu itu
burung-burung itu
orang-orang itu
berjalan
melintas
berputar
berlarian
siti tak pernah mengerti
mengapa
siti hanya tahu itu terjadi
dan siti tersenyum
di dermaga
perahu-perahu datang
perahu-perahu pergi
matahari petang
matahari meninggi
burung-burung camar
burung-burung pelikan
di sudut jendela kampar
siti ambil napas panjang
semua meninggalkanku
seperti laut yang surut
ah anakku, prajuritku
dengar-lihatlah
laut masih gemuruh
lajulah laju perahu
lajulah laju.
(Sidoarjo-Surabaya, 2007)
*dari sebuah lagu dolanan anak-anak
**sebuah syair lagu dangdut berjudul `Janji` yang dipopulerkan biduanita Rita Sugiarto
Puisi Deny Tri Aryanti
JANIN DALAM KAMAR MANDI
Semua cermin dalam kamar mandiku telah pecah
Meninggalkan tungku apa di pojok pojok wastafel
Menceritakan setiap butiran air yang berdansa
—di atas jemari dan lemari
Tiba-tiba malaikat berkelebat dan bertanya
—ke mana air dan sabunmu mengalir?
Semua hanya tersenyum memandang sang Dewa
Bodoh?
Atau memang malaikat tak pernah bersekolah
Lonceng dalam bak mandi pecah—nyebar
Sela selangkangan tak bertuan—nyali seorang pecinta
Seoerti rembulan mulai mati mengintip lewat ranting basah
Begitu pula mempelaiku yang tertidur di kamar mandi
Bersisik, bertaring dan—
aku tetap mengajaknya bercinta
Tapi janin telah bergerak merambat tengah malam
Menggigit pusar dan ari-ari
kuburan seorang bayi
Ketika hujan mulai datang. Membuka sejarah
usang—menggotong mayit-mayit kebencian dan sebungkus
nasi—dalam sobekan daun jati.
Kini janinmu itu telah menjadi dewasa termakan hujan
Seperti jamur yang lepas di atas tembok.
Adakah ia mengerti tentang
hujan yang telah mengasuhnya dalam dingin
dan mendung yang memerah oleh usia
Sby, Des 2000
Semua cermin dalam kamar mandiku telah pecah
Meninggalkan tungku apa di pojok pojok wastafel
Menceritakan setiap butiran air yang berdansa
—di atas jemari dan lemari
Tiba-tiba malaikat berkelebat dan bertanya
—ke mana air dan sabunmu mengalir?
Semua hanya tersenyum memandang sang Dewa
Bodoh?
Atau memang malaikat tak pernah bersekolah
Lonceng dalam bak mandi pecah—nyebar
Sela selangkangan tak bertuan—nyali seorang pecinta
Seoerti rembulan mulai mati mengintip lewat ranting basah
Begitu pula mempelaiku yang tertidur di kamar mandi
Bersisik, bertaring dan—
aku tetap mengajaknya bercinta
Tapi janin telah bergerak merambat tengah malam
Menggigit pusar dan ari-ari
kuburan seorang bayi
Ketika hujan mulai datang. Membuka sejarah
usang—menggotong mayit-mayit kebencian dan sebungkus
nasi—dalam sobekan daun jati.
Kini janinmu itu telah menjadi dewasa termakan hujan
Seperti jamur yang lepas di atas tembok.
Adakah ia mengerti tentang
hujan yang telah mengasuhnya dalam dingin
dan mendung yang memerah oleh usia
Sby, Des 2000
Selasa, 25 Desember 2007
Puisi Subagio Sastrowardoyo
SAJAK YANG DEWASA
sajak yang dewasa
sudah tak peduli
apakah aku menangis atau ketawa
di muka cermin
aku tak mengenal lagi
ia bayangan siapa
setiap hendak kutangkap
ia lolos dari dekap
tak mau menampung rasa
di luar jamah
ia sebagian dari semesta
satu dengan suara manusia
setelah ia dewasa
aku tak punya kuasa
maka kubiarkan dia berjalan merdeka
SALAM KEPADA HEIDEGGER
Sajak tetap rahasia
bagi dia yang tak pernah
mendengar suara nyawa.
Kata-kata tersembul dari alam lain
di mana berkuasa sakit, mati
dan cinta. Kekosongan harap
justru melahirkan ilham
yang timbul-tenggelam dalam arus
mimpi. Biarlah terungkap sendiri
makna dari ketelanjangan bumi.
Masih adakah tersisa pengalaman
yang harus terdengar dalam bunyi?
Sajak sempurna sebaiknya bisu
seperti pohon, mega dan gunung
yang hadir utuh tanpa bicara
SAJAK TAK PERNAH MATI
Sajak menyuarakan puncak derita
yang pernah ditanggung manusia.
Injak, robek atau bakarlah
sajak, jerit sakit masih menyayat
malam sunyi.
Seperti berabad lalu anak Tuhan
sebelum ajalnya di salib berteriak:
"Allah, Allah, mengapa daku
kau telantarkan!" keluh itu
terus berkumandang sampai kini.
Kalau aku mampus, tangisku
yang menyeruak dari hati akan
terdengar abadi dalam sajakku
yang tak pernah mati.
AMBARAWA 1989
Sebelum tidur istriku menyulam
di bawah lampu temaram. Sebuah bunga
biru dengan latar kelabu yang akan diberi
pigura dan digantungkan di dinding.
Aku menyempatkan diri mengikuti
berita terakhir di koran yang belum
dapat kubaca pagi hari.
Kami sudah lupa bahwa di kota ini
pernah terjadi revolusi dengan kekejaman
dan kematian. Keluarga lari mengungsi
ke gunung dan aku turut bergerilya
mengejar Belanda. Berapa peluru sudah
kutembakkan di malam buta menyerang
musuh yang menghadang dengan senjata.
Pikiran tegang selalu oleh cemas
dan curiga.
Kini peperangan hanya terjadi di roman
petualangan yang kubaca dan yang kulihat
di layar TV, jauh entah di negeri mana.
Nampak tak nyata dan hampir tak bisa
dipercaya.
Ah, biarlah kedamaian berlanjut
begini. Semua -- bunga, dinding, lampu,
kuri, istri -- terliput dalam kabut
puisi. Suling mengalun menembus
malam. Aku tak tahan lagi melihat darah.
KAMPUNG
Kalau aku pergi ke luar negeri, dik
karena hawa di sini sudah pengap oleh
pikiran-pikiran beku.
Hidup di negeri ini seperti di dalam kampung
di mana setiap orang ingin bikin peraturan
mengenai lalu lintas di gang, jaga malam dan
daftar diri di kemantren.
Di mana setiap orang ingin jadi hakim
dan berbincang tentang susila, politik dan agama
seperti soal-soal yang dikuasai.
Di mana setiap tukang jamu disambut dengan hangat
dengan perhatian dan tawanya.
Di mana ocehan di jalan lebih berharga
dari renungan tenang di kamar.
Di mana curiga lebih mendalam dari cinta dan percaya.
Kalau aku pergi ke luar negeri, dik
karena aku ingin merdeka dan menemukan diri.
PIDATO DI KUBUR ORANG
Ia terlalu baik buat dunia ini.
Ketika gerombolan mendobrak pintu
Dan menjarah miliknya
Ia tinggal diam dan tidak mengadakan perlawanan.
Ketika gerombolan memukul muka
Dan mendopak dadanya
Ia tinggal diam dan tidak menanti pembalasan.
Ketika gerombolan menculik istri
Dan memperkosa anak gadisnya
Ia tinggal diam dan tidak memendam kebencian.
Ketika gerombolan membakar rumahnya
Dan menembak kepalanya
Ia tinggal diam dan tidak menguvapkan penyesalan.
Ia terlalu baik buat dunia ini.
SAYAP PATAH
sejak berdiam di kota
hati yang memberontak
telah menjadi jinak
kini pekerjaan tinggal
membaca di kamar
barang dua-tiga sajak
atau memperbaiki pagar di halaman
(yang sudah mulai rusak)
atau menyuapi anak
waktu menangis karena lapar
kadang-kadang juga memuji istri
memakai baju yang baru dibeli
-- meneropong bintang
bukan lagi menjadi hobi --
hanya sesekali di muka kaca
aku berkata menghibur diri:
bidadari! sayapmu patah
sekali waktu akan pulih kembali
ket: semua sajak Subagio Sastrowardoyo ini berasal dari buku "Dan Kematian Makin Akrab" (Grasindo, 1995)
sajak yang dewasa
sudah tak peduli
apakah aku menangis atau ketawa
di muka cermin
aku tak mengenal lagi
ia bayangan siapa
setiap hendak kutangkap
ia lolos dari dekap
tak mau menampung rasa
di luar jamah
ia sebagian dari semesta
satu dengan suara manusia
setelah ia dewasa
aku tak punya kuasa
maka kubiarkan dia berjalan merdeka
SALAM KEPADA HEIDEGGER
Sajak tetap rahasia
bagi dia yang tak pernah
mendengar suara nyawa.
Kata-kata tersembul dari alam lain
di mana berkuasa sakit, mati
dan cinta. Kekosongan harap
justru melahirkan ilham
yang timbul-tenggelam dalam arus
mimpi. Biarlah terungkap sendiri
makna dari ketelanjangan bumi.
Masih adakah tersisa pengalaman
yang harus terdengar dalam bunyi?
Sajak sempurna sebaiknya bisu
seperti pohon, mega dan gunung
yang hadir utuh tanpa bicara
SAJAK TAK PERNAH MATI
Sajak menyuarakan puncak derita
yang pernah ditanggung manusia.
Injak, robek atau bakarlah
sajak, jerit sakit masih menyayat
malam sunyi.
Seperti berabad lalu anak Tuhan
sebelum ajalnya di salib berteriak:
"Allah, Allah, mengapa daku
kau telantarkan!" keluh itu
terus berkumandang sampai kini.
Kalau aku mampus, tangisku
yang menyeruak dari hati akan
terdengar abadi dalam sajakku
yang tak pernah mati.
AMBARAWA 1989
Sebelum tidur istriku menyulam
di bawah lampu temaram. Sebuah bunga
biru dengan latar kelabu yang akan diberi
pigura dan digantungkan di dinding.
Aku menyempatkan diri mengikuti
berita terakhir di koran yang belum
dapat kubaca pagi hari.
Kami sudah lupa bahwa di kota ini
pernah terjadi revolusi dengan kekejaman
dan kematian. Keluarga lari mengungsi
ke gunung dan aku turut bergerilya
mengejar Belanda. Berapa peluru sudah
kutembakkan di malam buta menyerang
musuh yang menghadang dengan senjata.
Pikiran tegang selalu oleh cemas
dan curiga.
Kini peperangan hanya terjadi di roman
petualangan yang kubaca dan yang kulihat
di layar TV, jauh entah di negeri mana.
Nampak tak nyata dan hampir tak bisa
dipercaya.
Ah, biarlah kedamaian berlanjut
begini. Semua -- bunga, dinding, lampu,
kuri, istri -- terliput dalam kabut
puisi. Suling mengalun menembus
malam. Aku tak tahan lagi melihat darah.
KAMPUNG
Kalau aku pergi ke luar negeri, dik
karena hawa di sini sudah pengap oleh
pikiran-pikiran beku.
Hidup di negeri ini seperti di dalam kampung
di mana setiap orang ingin bikin peraturan
mengenai lalu lintas di gang, jaga malam dan
daftar diri di kemantren.
Di mana setiap orang ingin jadi hakim
dan berbincang tentang susila, politik dan agama
seperti soal-soal yang dikuasai.
Di mana setiap tukang jamu disambut dengan hangat
dengan perhatian dan tawanya.
Di mana ocehan di jalan lebih berharga
dari renungan tenang di kamar.
Di mana curiga lebih mendalam dari cinta dan percaya.
Kalau aku pergi ke luar negeri, dik
karena aku ingin merdeka dan menemukan diri.
PIDATO DI KUBUR ORANG
Ia terlalu baik buat dunia ini.
Ketika gerombolan mendobrak pintu
Dan menjarah miliknya
Ia tinggal diam dan tidak mengadakan perlawanan.
Ketika gerombolan memukul muka
Dan mendopak dadanya
Ia tinggal diam dan tidak menanti pembalasan.
Ketika gerombolan menculik istri
Dan memperkosa anak gadisnya
Ia tinggal diam dan tidak memendam kebencian.
Ketika gerombolan membakar rumahnya
Dan menembak kepalanya
Ia tinggal diam dan tidak menguvapkan penyesalan.
Ia terlalu baik buat dunia ini.
SAYAP PATAH
sejak berdiam di kota
hati yang memberontak
telah menjadi jinak
kini pekerjaan tinggal
membaca di kamar
barang dua-tiga sajak
atau memperbaiki pagar di halaman
(yang sudah mulai rusak)
atau menyuapi anak
waktu menangis karena lapar
kadang-kadang juga memuji istri
memakai baju yang baru dibeli
-- meneropong bintang
bukan lagi menjadi hobi --
hanya sesekali di muka kaca
aku berkata menghibur diri:
bidadari! sayapmu patah
sekali waktu akan pulih kembali
ket: semua sajak Subagio Sastrowardoyo ini berasal dari buku "Dan Kematian Makin Akrab" (Grasindo, 1995)
Puisi Afrizal Malna
PELAYARAN TUHAN
Dalam orang tak bertuhan dalam orang tak bertuhan
aku berlayar dalam tubuh tubuh sepi
terdaging di puncak puncak kediaman hening
mengeras dalam hujan hujan panjang
O, tuhan berlaut dalam keheningan nisu
pada kapal kapal kaku
bisik bisik menjauh
kata yang mengeras dalam makna
aku mengental dalam tarian sinarmu
mabok lautanmu - samudra diri
melaju
melaju kaku
ke kota kota sepi
semua tak bicara dalam sujud abadi:
diri yang terusir darimu
jadi laut tak bertepi
PELABUHAN PULAU TERASING
Pulau diri Pulau tak terkata
seribu tahun kau terkubur dalam tubuhku
dalam orang yang telah bertuhan
berumah pada daun-daun yang tak berpohon
kita telah berlayar untuk berlupa pada darat:
pelabuhan yang mendingin dalam diriku
dan tuhan mengalir dalam kesembunyian rahasia
menjadi petaka semesta hari
aku berkata dalam laut yang tidur dalam sukma ikan
mencari tanah tanah jauh tak berkota
waktu yang terkubur seribu tahun:
aku mau hidup dalam nama-nama kematian
dan tuhan berenang-renang dalam laut yang hilang dalam diriku
tak tahu mau pulang ke mana
dalam kuburmu: semua telah berlabuh
1982.
Dalam orang tak bertuhan dalam orang tak bertuhan
aku berlayar dalam tubuh tubuh sepi
terdaging di puncak puncak kediaman hening
mengeras dalam hujan hujan panjang
O, tuhan berlaut dalam keheningan nisu
pada kapal kapal kaku
bisik bisik menjauh
kata yang mengeras dalam makna
aku mengental dalam tarian sinarmu
mabok lautanmu - samudra diri
melaju
melaju kaku
ke kota kota sepi
semua tak bicara dalam sujud abadi:
diri yang terusir darimu
jadi laut tak bertepi
PELABUHAN PULAU TERASING
Pulau diri Pulau tak terkata
seribu tahun kau terkubur dalam tubuhku
dalam orang yang telah bertuhan
berumah pada daun-daun yang tak berpohon
kita telah berlayar untuk berlupa pada darat:
pelabuhan yang mendingin dalam diriku
dan tuhan mengalir dalam kesembunyian rahasia
menjadi petaka semesta hari
aku berkata dalam laut yang tidur dalam sukma ikan
mencari tanah tanah jauh tak berkota
waktu yang terkubur seribu tahun:
aku mau hidup dalam nama-nama kematian
dan tuhan berenang-renang dalam laut yang hilang dalam diriku
tak tahu mau pulang ke mana
dalam kuburmu: semua telah berlabuh
1982.
Puisi Amir Hamzah
HANYUT AKU
Hanyut aku, kekasihku!
Hanyut aku!
Ulurkan tanganmu, tolong aku.
Sunyinya sekelilingku!
Tiada suara kasihan, tiada angin mendingin hati,
tiada air menolak ngelak.
Dahagaku kasihmu, hauskan bisikmu, mati aku
sebabkan diammu.
Langit menyerkap, air berlepas tangan, aku tenggelam.
Tenggelam dalam malam.
air diatas mendidih keras.
Bumi dibawah menolak keatas.
Mati aku, kekasihku, mati aku!
Hanyut aku, kekasihku!
Hanyut aku!
Ulurkan tanganmu, tolong aku.
Sunyinya sekelilingku!
Tiada suara kasihan, tiada angin mendingin hati,
tiada air menolak ngelak.
Dahagaku kasihmu, hauskan bisikmu, mati aku
sebabkan diammu.
Langit menyerkap, air berlepas tangan, aku tenggelam.
Tenggelam dalam malam.
air diatas mendidih keras.
Bumi dibawah menolak keatas.
Mati aku, kekasihku, mati aku!
Puisi Chairil Anwar
TUTI ARTIC
Antara bahagia sekarang dan nanti jurang ternganga,
Adikku yang lagi keenakan menjilat es artic;
Sore ini kau cintaku, kuhiasi dengan susu + coca cola
Istriku dlam latihan: kita hentikan jam berdetik.
Kau pintar benar bercium, ada goresan tinggal terasa
-- ketika kita bersepeda kuantar kau pulang --
Panas darahmu, sungguh lekas kau jadi dara,
Mimpi tua bangka ke langit lagi menjulang.
Pilihanmu saban hari menjemput, saban kali bertukar;
Besok kita berselisih jalan, tidak kenal tahu:
Sorga hanya permainan sebentar.
Aku juga seperti kau, semua lekas berlalu
Aku dan Tuti + Greet + Amoi... hati terlantar
Cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar.
1947
Antara bahagia sekarang dan nanti jurang ternganga,
Adikku yang lagi keenakan menjilat es artic;
Sore ini kau cintaku, kuhiasi dengan susu + coca cola
Istriku dlam latihan: kita hentikan jam berdetik.
Kau pintar benar bercium, ada goresan tinggal terasa
-- ketika kita bersepeda kuantar kau pulang --
Panas darahmu, sungguh lekas kau jadi dara,
Mimpi tua bangka ke langit lagi menjulang.
Pilihanmu saban hari menjemput, saban kali bertukar;
Besok kita berselisih jalan, tidak kenal tahu:
Sorga hanya permainan sebentar.
Aku juga seperti kau, semua lekas berlalu
Aku dan Tuti + Greet + Amoi... hati terlantar
Cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar.
1947
Puisi Beni Setia
MENGAPA HANYA MALAIKAT
satu dua antara belantara (rambut
putih kehilangan hitam), satu dua
kelokan lengang menjelang malam. di ujung
menunggu pedang dengan rajam + rajam
"bila mulut banyak mengunyah, bila lambung
banyak memamah, bila darah hanya berlemak:
apa tak terbaca plakat orang-orang lapar
pada setiap kerut lipat kulit perut?"
megap-megap bagai ikan, merayap bagai ketam
: tangan si miskin terkunyah larut di darah
o, mengapa hanya malaikat yang tahu, senyum
melihat jantung diremas-gemas dendam si lapar
jalan lengang, jalan panjang, jalan bimbang
bulan ramadhan; mengapa hanya malaikat yang
tahu? mengapa
mengapa hanya malaikat
1979/1983/1987
NASIB SEBUAH PERCAKAPAN
ada yang diam-diam menyandar pada dinding
saat waktu melampaui tengah malam
dan kanak bimbang di negeri mimpi
ada yang tergelincir ke kedalaman kabut
saat jalan-jalan mengejang dan kaku
dan batu-batu memasang butiran embun
ya! ada pohon tanpa daun, ada bunga tanpa
kupu, dan ada adaan tanpa ada, kata-kata
(gunung es di laut): mencair dalam diri -- sendiri
24/1 - 1984
satu dua antara belantara (rambut
putih kehilangan hitam), satu dua
kelokan lengang menjelang malam. di ujung
menunggu pedang dengan rajam + rajam
"bila mulut banyak mengunyah, bila lambung
banyak memamah, bila darah hanya berlemak:
apa tak terbaca plakat orang-orang lapar
pada setiap kerut lipat kulit perut?"
megap-megap bagai ikan, merayap bagai ketam
: tangan si miskin terkunyah larut di darah
o, mengapa hanya malaikat yang tahu, senyum
melihat jantung diremas-gemas dendam si lapar
jalan lengang, jalan panjang, jalan bimbang
bulan ramadhan; mengapa hanya malaikat yang
tahu? mengapa
mengapa hanya malaikat
1979/1983/1987
NASIB SEBUAH PERCAKAPAN
ada yang diam-diam menyandar pada dinding
saat waktu melampaui tengah malam
dan kanak bimbang di negeri mimpi
ada yang tergelincir ke kedalaman kabut
saat jalan-jalan mengejang dan kaku
dan batu-batu memasang butiran embun
ya! ada pohon tanpa daun, ada bunga tanpa
kupu, dan ada adaan tanpa ada, kata-kata
(gunung es di laut): mencair dalam diri -- sendiri
24/1 - 1984
Rabu, 19 Desember 2007
Puisi Slamet Sukirnanto
KIDUNG AKHIR TAHUN
Seorang tua jalan sendiri
Meninggalkan gerbang duniawi
Tak ada yang lain, kecuali pergi
Lewat jalan akhir dan sunyi!
1966
Seorang tua jalan sendiri
Meninggalkan gerbang duniawi
Tak ada yang lain, kecuali pergi
Lewat jalan akhir dan sunyi!
1966
Puisi Iwan Simatupang
"MAWAR HITAM"
Kalau kita berjumpa lagi, Constance
Jangan coba meyakinkan aku kembali
bahwa puisi bagiku adalah juga
tubuh telanjangmu berwarna gading itu
Telah kuputuskan untuk membongkar kembali
hutan-hutan kembang kertas yang kita awasi bersama
Karena suatu kutuk warna merah jambu
Telah hinggap di jantungku, membuatnya segi tiga
Bayang-bayang kuning yang selama ini suka datang
menyembul dari lorong-lorong ingatan 1/4 jadi
Telah datang menjulurkan tangan-tangan berjari tiga
Ingin meremas mawar hitam yang kusuntingkan di rambutmu
Kita tidak akan berjumpa lagi, Constance
Hutan-hutan itu telah menjadi danau air asin
Tengkorak-tengkorak dari kenangan tak-lengkap
menarikan suatu pesan, mantap bagai gada
Sebaiknya kau tetap di pantai sana, Constance
Aku di sini
Mungkin puisi yang kita sama-sama cari itu
adalah justru kengangaan ini --
Bertaring, bercakar, siap menelan kita
RS Cikini, 25 Juni 1967.
Kalau kita berjumpa lagi, Constance
Jangan coba meyakinkan aku kembali
bahwa puisi bagiku adalah juga
tubuh telanjangmu berwarna gading itu
Telah kuputuskan untuk membongkar kembali
hutan-hutan kembang kertas yang kita awasi bersama
Karena suatu kutuk warna merah jambu
Telah hinggap di jantungku, membuatnya segi tiga
Bayang-bayang kuning yang selama ini suka datang
menyembul dari lorong-lorong ingatan 1/4 jadi
Telah datang menjulurkan tangan-tangan berjari tiga
Ingin meremas mawar hitam yang kusuntingkan di rambutmu
Kita tidak akan berjumpa lagi, Constance
Hutan-hutan itu telah menjadi danau air asin
Tengkorak-tengkorak dari kenangan tak-lengkap
menarikan suatu pesan, mantap bagai gada
Sebaiknya kau tetap di pantai sana, Constance
Aku di sini
Mungkin puisi yang kita sama-sama cari itu
adalah justru kengangaan ini --
Bertaring, bercakar, siap menelan kita
RS Cikini, 25 Juni 1967.
Puisi Sitor Situmorang
CHATHEDRALE DE CHARTRES
Akan bicarakah Ia di malam sepi
Kala salju turun dan burung putih2?
Sekali2 ingin menyerah hati
Dalam lindungan sembahyang bersih
Ah, Tuhan, tak bisa kita lagi bertemu
Dalam dia bersama kumpulan utam
Ini kubawa cinta di mata kekasih kelu
Tiada terpisah hidup dari pada kiamat
Menangis ia tersedu di hari Pasah
Ketika kami ziarah di Chartres di Gereja
Doanya kuyu diwarna kaca basah
Keristus telah disalib manusia habis kata
Maka malam itu sebelum ayam berkokok
Dan penduduk Chartres meninggalkan kermis
Tersedu ia dalam daunan malam rontok
Mengembara ingatan di hujan gerimis
Pada ibu, isteri, anak serta isa
Hati tersibak antara zinah dan setia
Kasihku satu, Tuhannya satu
Hidup dan kiamat bersatupadu
Demikianlah kisah cinta kami
Yang bermula di pekan kembang
Di Pagi buta sekitar Notre Dame de Paris
Di Musim bunga dan mata remang
Demikianlah kisah hari Pasah
Ketika seluruh alam diburu resah
Oleh goda, zinah, cinta dan kota
Karena dia, aku dan isteri yang setia
Maka malam itu di ranjang penginapan
Terbawa kesucian nyanyi gereja kepercayaan
Bersatu kutuk nafsu dan rahmat Tuhan
Lambaian cinta setia dan pelukan perempuan
Demikianlah
Cerita Pasah
Ketika tanah basah
Air mata resah
Dan bunga2 merekah
Di bumi Perancis
Di bumi manis
Ketika Keristus disalibkan
(diambil dari buku "Surat Kertas Hijau", Penerbit Dian Rakyat, Cetakan III,1985)
Akan bicarakah Ia di malam sepi
Kala salju turun dan burung putih2?
Sekali2 ingin menyerah hati
Dalam lindungan sembahyang bersih
Ah, Tuhan, tak bisa kita lagi bertemu
Dalam dia bersama kumpulan utam
Ini kubawa cinta di mata kekasih kelu
Tiada terpisah hidup dari pada kiamat
Menangis ia tersedu di hari Pasah
Ketika kami ziarah di Chartres di Gereja
Doanya kuyu diwarna kaca basah
Keristus telah disalib manusia habis kata
Maka malam itu sebelum ayam berkokok
Dan penduduk Chartres meninggalkan kermis
Tersedu ia dalam daunan malam rontok
Mengembara ingatan di hujan gerimis
Pada ibu, isteri, anak serta isa
Hati tersibak antara zinah dan setia
Kasihku satu, Tuhannya satu
Hidup dan kiamat bersatupadu
Demikianlah kisah cinta kami
Yang bermula di pekan kembang
Di Pagi buta sekitar Notre Dame de Paris
Di Musim bunga dan mata remang
Demikianlah kisah hari Pasah
Ketika seluruh alam diburu resah
Oleh goda, zinah, cinta dan kota
Karena dia, aku dan isteri yang setia
Maka malam itu di ranjang penginapan
Terbawa kesucian nyanyi gereja kepercayaan
Bersatu kutuk nafsu dan rahmat Tuhan
Lambaian cinta setia dan pelukan perempuan
Demikianlah
Cerita Pasah
Ketika tanah basah
Air mata resah
Dan bunga2 merekah
Di bumi Perancis
Di bumi manis
Ketika Keristus disalibkan
(diambil dari buku "Surat Kertas Hijau", Penerbit Dian Rakyat, Cetakan III,1985)
Puisi Jamal D. Rahman
SAMPAI DI SINI
mungkin terlalu lama aku mengantarmu
hingga jejak-jejak itu hilang kembali
sementara tikas yang kita cari telah
menjelma gelombang: mengantarkan
buih ke matahari, dan di sana
bersama buih itu ia kembali
ke lautan, danau, atau anak sungai
sampai di sini saja. awan juga tak selalu
diantarkan gelombang pada batu-batu
1990.
mungkin terlalu lama aku mengantarmu
hingga jejak-jejak itu hilang kembali
sementara tikas yang kita cari telah
menjelma gelombang: mengantarkan
buih ke matahari, dan di sana
bersama buih itu ia kembali
ke lautan, danau, atau anak sungai
sampai di sini saja. awan juga tak selalu
diantarkan gelombang pada batu-batu
1990.
Puisi Indra Tjahyadi
AFTERWORD
pada akhirnya kau pun pergi
entah ke benua mana
entah ke laut mana
entah ke dunia mana
tapi masih saja
aku setia kirimkan pesan
pesan singkat buatmu
meski di gerimis tak mesti
hanya rasa sakit
yang menghubungkanku denganmu
dengan bayang-bayang darah
yang menjelma huruf
huruf sunyi
bait-bait murung sajakku
2007.
MAUT SENDIRI
engkau terasa begitu jauh
bahkan lebih jauh ketimbang bulan
sungguh pernah kurajahkan kembang
dan kupu-kupu di gelap dadamu
tapi kecantikanmu adalah kepergian
dikekalkan jarak terjauh
siapa bertugur sendiri di bawah kabut
mereguk derita yang tak juga surut
bersama luka
sunyi membakar
buku-buku umur dan kerinduanku
kiranya ingin aku mengaduh sekali lagi padamu
ketika seekor burung malam terbang
menembus mendung
tapi hanya sosok langit yang remuk
yang pernah terpekik dari suaraku
tak ada doa
tak ada airmata
yang mengantarku
sampai ke dasar lubuk kubur
di kota tandus tak berlampu
kututupkan pelupukku
kukenang namamu
darah hitam
menetes dari sajakku
butirannya yang tajam menancap
lalu menggeram di dasar maut
: mautku!
maut sendiri
2007.
POHON YANG HIDUP DI JAM LARUT
: fransisca romana ninik
Kesendirian menguntitku. Kelam yang merangkak
menghisap darahku. Dari Neraka yang begitu
jauh dan tak terbayangkan, kesunyianku meluncur.
Burung-burung bersayap muram terbang diam, tiba-tiba
meledak di ujung mendung.
Kusaksikan bulan memar menyoroti malam. Kusaksikan
gelap yang pekat, kian memekat, membekas di jejakku
yang rapuh. Pernah kutangkap degup nafasmu
yang memabukkan, lantas kutempuh jalan menuju cumbu,
tapi rindu dalam lengang kalbu terlampau pahit, teramat sakit.
Bila musim beringsut, Kasihku, iklim akan mencatat
kesepianku, dan pohon-pohon yang hidup di jam
jam larut akan meneguhkan keterasinganku,
seperti bunyi sumbang dentangan lonceng gereja
di hari Paskah yang tak pernah menyebut nama. Namaku.
Kiranya masih kusimpan sisa kecupmu dalam senyap detak
jantung yang tinggal lelah berbau kubur, meski dalam
tidur, sajakku telah jauh berjalan, jatuh dalam bisu
tak berujung. Tenggelam dalam hampa tak berjuntrung.
Seperti mayat seorang perindu yang membusuk. Serupa aku.
2007.
pada akhirnya kau pun pergi
entah ke benua mana
entah ke laut mana
entah ke dunia mana
tapi masih saja
aku setia kirimkan pesan
pesan singkat buatmu
meski di gerimis tak mesti
hanya rasa sakit
yang menghubungkanku denganmu
dengan bayang-bayang darah
yang menjelma huruf
huruf sunyi
bait-bait murung sajakku
2007.
MAUT SENDIRI
engkau terasa begitu jauh
bahkan lebih jauh ketimbang bulan
sungguh pernah kurajahkan kembang
dan kupu-kupu di gelap dadamu
tapi kecantikanmu adalah kepergian
dikekalkan jarak terjauh
siapa bertugur sendiri di bawah kabut
mereguk derita yang tak juga surut
bersama luka
sunyi membakar
buku-buku umur dan kerinduanku
kiranya ingin aku mengaduh sekali lagi padamu
ketika seekor burung malam terbang
menembus mendung
tapi hanya sosok langit yang remuk
yang pernah terpekik dari suaraku
tak ada doa
tak ada airmata
yang mengantarku
sampai ke dasar lubuk kubur
di kota tandus tak berlampu
kututupkan pelupukku
kukenang namamu
darah hitam
menetes dari sajakku
butirannya yang tajam menancap
lalu menggeram di dasar maut
: mautku!
maut sendiri
2007.
POHON YANG HIDUP DI JAM LARUT
: fransisca romana ninik
Kesendirian menguntitku. Kelam yang merangkak
menghisap darahku. Dari Neraka yang begitu
jauh dan tak terbayangkan, kesunyianku meluncur.
Burung-burung bersayap muram terbang diam, tiba-tiba
meledak di ujung mendung.
Kusaksikan bulan memar menyoroti malam. Kusaksikan
gelap yang pekat, kian memekat, membekas di jejakku
yang rapuh. Pernah kutangkap degup nafasmu
yang memabukkan, lantas kutempuh jalan menuju cumbu,
tapi rindu dalam lengang kalbu terlampau pahit, teramat sakit.
Bila musim beringsut, Kasihku, iklim akan mencatat
kesepianku, dan pohon-pohon yang hidup di jam
jam larut akan meneguhkan keterasinganku,
seperti bunyi sumbang dentangan lonceng gereja
di hari Paskah yang tak pernah menyebut nama. Namaku.
Kiranya masih kusimpan sisa kecupmu dalam senyap detak
jantung yang tinggal lelah berbau kubur, meski dalam
tidur, sajakku telah jauh berjalan, jatuh dalam bisu
tak berujung. Tenggelam dalam hampa tak berjuntrung.
Seperti mayat seorang perindu yang membusuk. Serupa aku.
2007.
Selasa, 18 Desember 2007
Puisi Kriapur
KOTA KOTA KOTA
dari kerangka tanah
kerangka darah
ribuan jasad angin terdampar
di kota lapar
pengembara hanya bayang-bayang
ngambang
kerangka ombak berkejaran di dinding
lalu matahari terguling
di bawah kuburan
bulan meringkik panjang
ringkikan kerangka kota kota kota
jelaga!
anak-anak mata darah tak dapat lagi
bermain dengan langit
perempuan-perempuan berjalan
lewat suara yang tak jelas
lalu hilang
di sorga hitam
tapi kemerdekaan tanah
untuk siapa?
dan kota bagai sebuah bola
yang disepaknya sendiri
lalu orang-orang pun kelelahan
merayapi luka
dan tak pulang
solo, 1981
JALAN
dalam tidur terbentang sebuah jalan
di luar jendela yang kupandang
angin gagal mencapai puncak
lalu matahari luruh seperti gerimis
tak ada yang bisa datang
atau pergi malam ini
bangun lebih parah
dan awan yang bergantung pada daun
kemana bakal pulang?
Solo, 1983
NATAL DI GURUN PERTEMPURAN
aku tak bisa berkata-kata lagi padamu
burung punya keteduhan dari sayapnya sendiri
angin punya keteduhan dari sejuknya sendiri
namun srigala punya keteduhan
di taringnya. Kini setiap perjumpaan
aku tak mampu mengucapkan kenangan
dan menjelang kepunahan ini
tibalah penebusan kekal
Solo, 1986
NATAL BAGI MUSUH-MUSUHKU
aku tak mampu membeli daun-daun
ini fajar dengan bangunan dari air biru
membebaskan ketaklukan diriku
dan mereka yang terus mencari kematianku
kuterima dengan doa
dan bukan lagi musuhku
Solo, 1986
dari kerangka tanah
kerangka darah
ribuan jasad angin terdampar
di kota lapar
pengembara hanya bayang-bayang
ngambang
kerangka ombak berkejaran di dinding
lalu matahari terguling
di bawah kuburan
bulan meringkik panjang
ringkikan kerangka kota kota kota
jelaga!
anak-anak mata darah tak dapat lagi
bermain dengan langit
perempuan-perempuan berjalan
lewat suara yang tak jelas
lalu hilang
di sorga hitam
tapi kemerdekaan tanah
untuk siapa?
dan kota bagai sebuah bola
yang disepaknya sendiri
lalu orang-orang pun kelelahan
merayapi luka
dan tak pulang
solo, 1981
JALAN
dalam tidur terbentang sebuah jalan
di luar jendela yang kupandang
angin gagal mencapai puncak
lalu matahari luruh seperti gerimis
tak ada yang bisa datang
atau pergi malam ini
bangun lebih parah
dan awan yang bergantung pada daun
kemana bakal pulang?
Solo, 1983
NATAL DI GURUN PERTEMPURAN
aku tak bisa berkata-kata lagi padamu
burung punya keteduhan dari sayapnya sendiri
angin punya keteduhan dari sejuknya sendiri
namun srigala punya keteduhan
di taringnya. Kini setiap perjumpaan
aku tak mampu mengucapkan kenangan
dan menjelang kepunahan ini
tibalah penebusan kekal
Solo, 1986
NATAL BAGI MUSUH-MUSUHKU
aku tak mampu membeli daun-daun
ini fajar dengan bangunan dari air biru
membebaskan ketaklukan diriku
dan mereka yang terus mencari kematianku
kuterima dengan doa
dan bukan lagi musuhku
Solo, 1986
SEMPURNA
Kata sempurna dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki empat arti, yakni: (a) utuh dan lengkap segalanya (tidak bercacat dan bercela); (b) lengkap, komplet; (c) selesai dengan sebaik-baiknya, teratur dengan sangat baiknya; dan (d) baik sekali, terbaik. Tapi tahukah kalian darimana kata itu berasal?
Konon, beginilah ceritanya:
Pada suatu waktu, di tempat yang sangat jauh, di sebuah negri yang gemah ripah loh jinawi hiduplah sepasang muda-mudi yang oleh penduduk negri itu dikenal sebagai sepasang kekasih yang teramat serasi, Syampur dan Ruana.
Syampur adalah seorang pemuda dengan sifat dan perawakan yang tak bercela. Wajahnya yang ganteng, otaknya yang cerdas, serta pembawaan dan penampilannya yang menarik membuat gadis-gadis, janda-janda, bahkan mereka yang sudah bersuami di negri itu begitu memujanya. Meski begitu memuja Syampur, gadis-gadis, janda-janda, dan istri-istri itu tak pernah berani menggoda, ataupun hanya sekedar mendekati Syampur. Ini semata-mata karena Syampur sudah punya kekasih. Seorang pemudi yang menurut penduduk negri itu juga sangat tak bercela, Ruana namanya.
Ruana adalah seorang pemudi yang memiliki perawakan menawan dan pembawaan diri yang anggun. Sifat baik dan kecerdasan otaknya pun tak kalah dengan Syampur, bahkan di beberapa segi melebihi kekasihnya itu. Tapi meski melebihi, Ruana selalu bertindak santun dan sangat menghormati Syampur. Ini terlihat dari betapa santun dan hati-hatinya Ruana tiap kali mengingatkan Syampur apabila kekasihnya tersebut melakukan hal yang kurang tepat.
Sebagai pasangan yang serasi, penduduk negri itu selalu berdecak kagum dan hormat kepada keduanya tiap kali mereka jalan-jalan mengelilingi negri. “Ah, betapa serasinya mereka berdua itu ya.” Begitulah gumam yang muncul tiap kali mereka melihat sepasang kekasih itu jalan bersama sembari bergandengan tangan. Lambat laun kabar tentang keserasian sepasang kekasih itu tidak hanya terdengar di seluruh pelosok negri, akan tetapi juga sampai ke langit.
Berbeda dengan di bumi, di langit keserasian mereka menimbulkan iri dan dengki di kalangan dewa-dewa yang menghuni Istana Langit. Sampai pada suatu hari kedengkian dan rasa iri dewa-dewa Istana Langit itu memuncak dan mereka mengadukannya kepada Penguasa Langit.
Atas hasutan Permaisuri Langit, yang memang sejak awal tak menyukai keserasian yang dimiliki pasangan kekasih itu, maka Penguasa Langit pun menurunkan azab dan bencana kepada sepasang kekasih itu.
Pada suatu hari ketika Syampur dan Ruana tengah asyik berjalan-jalan menikmati indahnya negri, tiba-tiba terjadi gempa yang dahsyat yang diiringi oleh datangnya angin puting-beliung. Tanah tempat mereka berpijak tiba-tiba terkuak dan menghisap tubuh Syampur sampai amblas ke dasar bumi, sedangkan angin puting-beliung yang mengiringi gempa itu menyedot tuntas tubuh Ruana ke langit.
Begitulah, pasangan yang sangat cocok, serasi, utuh dan tak bercala itu dipisahkan. Meski begitu, keserasian pasangan kekasih itu masih saja terus dikenang dan dipuja oleh penduduk negri itu. Apabila penduduk negri itu melihat atau merasakan sesuatu yang sangat tak bercela, cocok, ataupun teratur dengan sangat baiknya, mereka pun tak segan-segan berkata “sempurna (syampurruana)”.
Konon, beginilah ceritanya:
Pada suatu waktu, di tempat yang sangat jauh, di sebuah negri yang gemah ripah loh jinawi hiduplah sepasang muda-mudi yang oleh penduduk negri itu dikenal sebagai sepasang kekasih yang teramat serasi, Syampur dan Ruana.
Syampur adalah seorang pemuda dengan sifat dan perawakan yang tak bercela. Wajahnya yang ganteng, otaknya yang cerdas, serta pembawaan dan penampilannya yang menarik membuat gadis-gadis, janda-janda, bahkan mereka yang sudah bersuami di negri itu begitu memujanya. Meski begitu memuja Syampur, gadis-gadis, janda-janda, dan istri-istri itu tak pernah berani menggoda, ataupun hanya sekedar mendekati Syampur. Ini semata-mata karena Syampur sudah punya kekasih. Seorang pemudi yang menurut penduduk negri itu juga sangat tak bercela, Ruana namanya.
Ruana adalah seorang pemudi yang memiliki perawakan menawan dan pembawaan diri yang anggun. Sifat baik dan kecerdasan otaknya pun tak kalah dengan Syampur, bahkan di beberapa segi melebihi kekasihnya itu. Tapi meski melebihi, Ruana selalu bertindak santun dan sangat menghormati Syampur. Ini terlihat dari betapa santun dan hati-hatinya Ruana tiap kali mengingatkan Syampur apabila kekasihnya tersebut melakukan hal yang kurang tepat.
Sebagai pasangan yang serasi, penduduk negri itu selalu berdecak kagum dan hormat kepada keduanya tiap kali mereka jalan-jalan mengelilingi negri. “Ah, betapa serasinya mereka berdua itu ya.” Begitulah gumam yang muncul tiap kali mereka melihat sepasang kekasih itu jalan bersama sembari bergandengan tangan. Lambat laun kabar tentang keserasian sepasang kekasih itu tidak hanya terdengar di seluruh pelosok negri, akan tetapi juga sampai ke langit.
Berbeda dengan di bumi, di langit keserasian mereka menimbulkan iri dan dengki di kalangan dewa-dewa yang menghuni Istana Langit. Sampai pada suatu hari kedengkian dan rasa iri dewa-dewa Istana Langit itu memuncak dan mereka mengadukannya kepada Penguasa Langit.
Atas hasutan Permaisuri Langit, yang memang sejak awal tak menyukai keserasian yang dimiliki pasangan kekasih itu, maka Penguasa Langit pun menurunkan azab dan bencana kepada sepasang kekasih itu.
Pada suatu hari ketika Syampur dan Ruana tengah asyik berjalan-jalan menikmati indahnya negri, tiba-tiba terjadi gempa yang dahsyat yang diiringi oleh datangnya angin puting-beliung. Tanah tempat mereka berpijak tiba-tiba terkuak dan menghisap tubuh Syampur sampai amblas ke dasar bumi, sedangkan angin puting-beliung yang mengiringi gempa itu menyedot tuntas tubuh Ruana ke langit.
Begitulah, pasangan yang sangat cocok, serasi, utuh dan tak bercala itu dipisahkan. Meski begitu, keserasian pasangan kekasih itu masih saja terus dikenang dan dipuja oleh penduduk negri itu. Apabila penduduk negri itu melihat atau merasakan sesuatu yang sangat tak bercela, cocok, ataupun teratur dengan sangat baiknya, mereka pun tak segan-segan berkata “sempurna (syampurruana)”.
Rabu, 05 Desember 2007
Kitab Syair Diancuk Jaran
Kitab Syair Diancuk Jaran adalah kitab puisi saya yang kedua. Kitab ini berisi 32 (tiga puluh dua) judul yang kesemuanya bertemakan Surabaya. Bagi saya, Surabaya adalah sebuah tempat yang sangat spesial. Kitab ini merupakan persembahan saya bagi kota yang sangat istimewa di hati saya itu. Terima kasih.
Kalo ada yang punya minat silahkan unduh kitab ini di:
http://intjah.multiply.com/journal/item/3/Kitab_Syair_Diancuk_Jaran_CetaKAN_1
http://intjah.multiply.com/journal/item/4/Kitab_SyaIR_Diancuk_Jaran_cetakan_2
thanks any way!
Kalo ada yang punya minat silahkan unduh kitab ini di:
http://intjah.multiply.com/journal/item/3/Kitab_Syair_Diancuk_Jaran_CetaKAN_1
http://intjah.multiply.com/journal/item/4/Kitab_SyaIR_Diancuk_Jaran_cetakan_2
thanks any way!
Sabtu, 01 Desember 2007
Langganan:
Postingan (Atom)