BERPELUKANLAH ANAK DAN IBU ITU
(1)
ibu, kemarau telah datang, doakan
aku tak lagi kedinginan bila pagi hari datang
doakan pula aku, ibu
agar matahari tak lagi menenggelamkan
dalam keringat dalam kepayahan yang sangat
(2)
seorang anak menari di depan ibunya
seorang bapak menangis dalam doa
mungkin tak ada sorga tak jua neraka
tapi ada yang berbunga
tapi ada yang bercucur airmata
(Waru, 2005)
SITI SURABAYA
karena aku terlahir di sini
dari keluarga seperti ini
maka namaku siti, siti jamilah tepatnya
lambang kesuburan dan keindahan
kata orang tuaku
tapi aku tak percaya itu
aku ingin tafsir yang lain
aku tak mau sekedar ayu
aku mau cantik
aku mau seksi
aku mau wah, lebih dari indah
aku juga tak mau kesuburan tanahku dikapling
bapakku, ibuku, kakek-nenek-paman-saudara-saudaraku
aku mau tanahku dibebaskan
maka kuganti saja amsal riwayatku:
namaku siti, siti surabaya tepatnya;
sebuah lahan pesta.
derap langkah
menyibak rerumputan
menjadi jalan
rerawa belantara
punah
siti pun meniti jalan
jalan ketandusan
di hamparan tanah
yang dulunya penuh buaya, ikan sura, kecebong dan ular berbisa
kini bertumbuhan rumah tinggal, rumah singgah, rumah bersalin,
rumah jompo, rumah toko, rumah makan,
rumah sakit, rumah kecantikan, rumah pelacuran,
kamar dagang, rumah jagal;
sebuah kehidupan
ada uang silahkan tanam
tak ada uang?
silahkan rebut dengan kayu, batu, paku, palu, arit, clurit,
berang, pentungan, sadukan, bogeman,
kenthuan, selintutan, kepung-kepungan
atau tukar guling saja sama yang di atas sana, itu lebih mudah
rawa-rawa dijual-obral serampang-gampangan.
ji walang kaji kukuk beluk
dem dem
cang kacang lombok abang mlungker
siti nang kali bagong nang embong
siti njaluk rabi tak olehno kucing garong*
siti telah melompat dari belukar
ke peluk makelar
meski siti tahu makna profesi itu
tapi siti pun tahu
hanya itu
satu-satunya pintu
siti putuskan tak pakai kebaya lagi
siti pakai rok mini
baju mini
sempak mini
kutang mini
hati mini
isi pikiran mini
siti yang mini telah berubah jadi city
siti adalah city dan city adalah siti
siti bergelut dengan city
city berebut merenggut siti
mereka saling jepit
saling gesek
saling tekan
jempalikan
siti melotot hampir mecotot
susunya ndongak, bokongnya bengkak
wajahnya dipermak penuh bedak
eeee…city sengak malah teriak: maju perut pantat mundur!
siti pun lari
di antara dua sungai
di sepanjang muara delta
tapi airmata tak jua terhenti
siti terus berlari
ke selatan ke pantai utara
dari Gentengkali sampai ke Ujung yang Baru
menginjak lempung kering ampo
hingga hutan wangi
dari hutan wangi
dengan kerinduan alang kepalang
siti babat alas randu dan alang-alang
menciptakan oase
kedung bagi para pelancung
batang waru mas buat gagang palu
malam minggu mas, ayo,
jangan malu-malu, masuk saja ke kamarku
namun siti terus terdesak
setelah banyak mulut berteriak
siti kembali berlari
ke timur ke arah tenggelamnya matahari
di tengah tambak dan sawah
siti lepaskan yang mengkerkah
aku kini bertelanjang dada
bertelanjang bokong dan paha
kuundang kau hai seluruh penghuni rawa:
cium dadaku mana mulutmu!
siti tercutat
mencelat hingga Putat
siti terdampar di gang remang Kupang
siti kian liar
siti kian nakal
siti mencipta kampung pinggiran
kampung balon
kampung senukan
cium aku, peluk aku, sayang-cintai aku
tapi jangan selamanya, selamanya jangan
siti limbung di tengah pasar burung
nenggak tuak sengak
sesengak moncong tukang becak.
city mendengkur. siti ngelindur
sorga yang engkau janjikan
neraka yang kudapatkan
manis yang aku hayalkan
pahit yang aku rasakan**
siti menyanyi
seperti menyumpahi
di tingkah kulit yang digasak
senar yang digetar
dan tumbukan serenteng kempyeng
bahasa membeku di siti punya tubuh
tinggal geletar bunyi
yang sukar dipahami
tapi mudah diikuti
sesuatu yang tak berhenti
sekaligus tak menghenti
siti oleng lagi
siti mabuk
nyeruduk
nubruk
½ ambruk
untuk melupakanmu
aku telah menghapal
seluruh lekuk bentuk para cecunguk
tapi kota punya batas
yang terus nyeruduk, nggepuk,
dan mencengkeramku
kembali, mengingatmu
itulah mengapa
selalu saja
ada alasan bagi wanita
untuk tidak memercayai dunia.
di taman makam kota terbaca kisah
ribuan orang bergerak dalam perang
ribuan peluru tajam, mortar, kelewang
sabit, celurit, bambu runcing dan lengking teriakan
lalu payung-payung hitam
meninggalkan masa depan
siti tahu tak pernah ikut revolusi itu
tapi siti tahu gejolak itu
siti rasakan geluncak api tak kunjung padam itu
mata angin perubahan itu
waktu hanya hitungan
kota hanya sebutan, hanya tunggangan
biar kusetir
kulaju sekehendak udelku
akulah migran!
pelacur kampungan!
penghilang kesumpekan!
penggerak kehidupan!
siti tersentak teriak sendiri
dan menemukan diri di selempitan bong pay
di hamparan Kembang yang Kuning
siti mencoba kenali kembali
protolan diri sendiri
nampaknya, kisah hidup siti yang tercuri
tercecer
di pasar maling tengah rel di belakang Pasar Turi
album foto siti diobral di pasar Wonokromo yang terbakar,
di bedak ciut pasar Blauran, di jalan Semarang,
di lapak-lapak jalan Demak, di Gembong yang sesak
di tepi Tanjung berwarna Perak itu, siti tersimpuh:
perahu-perahu itu
datang dan
pergi. perahu-perahu itu
berlabuh sekaligus
menjauh. siti di sana
di menara
berteriak.
di laut
air begitu setia
papan-papan perahu diterimanya saja
kau bermaksud apa
terserah
dan angin yang lembut itu
akan merangkulmu
dengan tabah
dengan suka rela
namun tak ada yang pernah menjelaskan
mengapa
perahu-perahu itu datang
dan berlayar
kau tahu semua itu kehendak
hari ini siti duduk
di tepian pantai, melempar
lempar kerikil tajam
dalam matanya
ia melihat: matahari itu
perahu-perahu itu
burung-burung itu
orang-orang itu
berjalan
melintas
berputar
berlarian
siti tak pernah mengerti
mengapa
siti hanya tahu itu terjadi
dan siti tersenyum
di dermaga
perahu-perahu datang
perahu-perahu pergi
matahari petang
matahari meninggi
burung-burung camar
burung-burung pelikan
di sudut jendela kampar
siti ambil napas panjang
semua meninggalkanku
seperti laut yang surut
ah anakku, prajuritku
dengar-lihatlah
laut masih gemuruh
lajulah laju perahu
lajulah laju.
(Sidoarjo-Surabaya, 2007)
*dari sebuah lagu dolanan anak-anak
**sebuah syair lagu dangdut berjudul `Janji` yang dipopulerkan biduanita Rita Sugiarto
Kamis, 27 Desember 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar