Kamis, 19 Mei 2011

KOPLO

KOPLO

Cerpen: Indra Tjahyadi

Koplo, begitulah orang kampung kami biasa memanggilnya. Dia terlahir dengan nama Supeli. Emaknya, Mbok Dar, adalah seorang bekas pelacur murahan yang ketika masih dines dulu sering terkena penyakit kelamin. "Sipilis!" begitu kata Kak Muali, seorang bandar dadu yang rumahnya persis di sebelah rumahku, beberapa tahun yang lalu.

Mereka, Koplo dan emaknya, tinggal di sebuah rumah sesek, lima rumah dari rumahku. Meskipun demikian, Koplo tidak punyai bapak. Sebab, dulu ketika mengandungnya, mbok Dar, emaknya Koplo itu, masih dines. Jadi itu wajar kalau Koplo tidak punya bapak. "Lha wong segitu banyak, Bu. Siapa yang tahu," jawab Mbok Dar sekenanya ketika ditanya Bu Bidan perihal siapa ayah Koplo sebenarnya.

Bahkan yang lebih sadis lagi, ketika Koplo masih nethek, Mbok Dar masih saja tetap dines. Baru beberapa tahun kemuadian, setelah Koplo bisa merangkak, Mbok Dar pensiun dari dinesnya tersebut. Jujur saja, tak satu pun orang di kampung kami yang tahu kenapa Mbok Dar "pensiun" dari dinesnya itu. Sebagai gantinya, dia jualan rujak. Selain juga jadi tukang urut panggilan dan tukang cuci di rumah Pak RT Ngasdur.

Tak satu pun orang di kampung kami yang mau berteman dengan Koplo. Menurut orang kampung, Koplo itu gendheng. "Pernah," kata Jumari, seorang tukang becak yang biasanya tidur dalam becaknya di ujung kampung kami., dengan mimik wajah yang bersungut-sungut, "aku lihat Koplo berdiri di tengah pasar, ndak pake baju. Gendheng!"

"Sama, Ri," timpal Soleh, seorang sopir mikrolet yang rumahnya persis di depan rumahku, suatu hari ketika kami duduk-duduk di pucuk kampung, "Bahkan ketika itu, pelinya yang ndak disunat itu lho juga dibuat-buat mainan. Sampai ibu-ibu yang waktu itu belanja di pasar girab-girab. Dasar wong gendheng!"

Jujur saja, sebenarnya aku sendiri tidak tahu, Koplo itu waras atau gendheng. Sebab, menurutku, perilakunya sih biasa-biasa saja, sama seperti orang-orang kampung kami yang lainnya.

Sampai suatu malam dengan tergopoh-gopoh Koplo menghampiriku. Ketika itu aku lagi duduk-duduk sambil minum kopi di warungnya Cak Bogang. Seperti biasa kalau sudah di atas jam sebelas malam warung Cak Bogang sepi, biasanya cuma ada aku sama Cak Bogang saja, tapi malam itu Cak Bogang tidur di kursi panjang di salah satu sisi warungnya itu.

Aku sendiri tidak tahu, kenapa malam itu Koplo menghampiriku. Mimik wajahnya serius. Matanya memperlihatkan sorot yang tajam, lain dari biasanya.

"Din," katanya sambil menepuk punggungku. "Aku ingin kerja. Aku capek bikin susah emakku terus.Emakku sudah tua, Din. Kasihan kalau harus kerja terus-terusan"

Terus terang aku terkejut mendengar ucapnya. "Orang ini sebenarnya gila atau waras ya?" pikirku. Tapi, sebelum aku sempat mengeluarkan sepatah kata. Ia begitu saja pergi dari sisiku.

Semanjak malam itu aku tidak pernah bertemu lagi dengannya, bahkan orang-orang kampung kami pun tak ada satu pun yang tahu ke mana Koplo dan emaknya pergi.

Ada khabar yang beredar kalau Koplo dan emaknya itu hilang dicuri ninja. Maklum ketika itu berita tentang penculikan orang dan pembantaian orang oleh orang yang berpakaian hitam-hitam serta bertopeng mirip ninja dari Jepang sedang santer-santernya. Tapi, aku tidak percaya begitu saja. Lha Koplo itu siapa, kok pakai diculik atau digorok. Diakan bukan siapa-siapa. Cuma orang aneh.

Hingga pada suatu, ini kira-kira sekitar empat tahun kemudian, ketika aku sudah menikah, sewaktu di kios koran dekat terminal biasa aku mangkal sebagai sopir mikrolet, aku terkejut. Pada sebuah surat khabar yang biasanya menampilkan berita-berita kriminal potret Koplo terpampang dengan tubuh terkapar bersimbah darah, dan di sampingnya ada sebuah tulisan besar berwarna merah: SEORANG COPET TEWAS DITEMBAK KARENA COBA MELAWAN PETUGAS.

1 komentar:

Admin mengatakan...

bro, aq mo request puisi toeti heraty dalam nostalgi=transendensi (tiada durja, geram, wanita. please pm me, emailq: cakra666@gmail.com. Salam!