Jumat, 11 April 2008

Dari Manuskrip "Syair Pemanggul Mayat"

Para pembaca blog yang saya hormati,
selamat bertemu lagi dengan saya, pembaca acara anda yang tercinta. Kali ini saya menayangkan beberapa puisi saya yang termaktub dalam manuskrip kumpulan puisi saya yang saya beri judul "Syair Pemanggul Mayat". Manuskrip ini kelar saya susun tahun kemarin. Semoga para pembaca blog yang saya hormati suka membacanya. Akhir kata saya ucapkan: "Selamat menikmati."

MEMAJANG LANGIT

Kupajang langit. Malaikat-malaikat merintih dalam tidur
yang sepi. Bulan terbakar dan sajak lahir dari kebencian matahari.
Aku tarik segenap luka dan bau busuk orang mati.
Nafasku buruk. Bersekutu dengan iblis dan hantu malam hari.

Aku tapaki jurang-jurang kegelapan. Bumi kuubah jadi puing,
jadi ilusi kebosanan yang keji. Lumpur-lumpur melompat dan banjir
tak terbendung lagi. “O betapa khidmat kelicikan mengubah hari
jadi sungai-sungai sampah yang pesing!”
Kuseret mobil-mobil dengan dendam dan darah musim.

Bangkai-bangkai tikus memberi makan pada mimpi yang sedih.
Aku berpegang teguh pada angin. Ruhku begitu gaib menyayati iklim.
Aku maut yang bergeleparan di ranjang-ranjang! Di tanah,
hasrat yang paling jijik berlingkaran bagaikan lipan. Arwahku
menembus malam. Menjadi dosa yang menggeram di kerak Neraka.

1998.

DARI PETA KESUNYIAN WAJAHMU

Dari peta kesunyian wajahmu, lanskap cuaca
yang pecah menanam pohon kematian
di puncak diamku.

Suara-suara memanggil impresi rumah
pembakaran mayat dan tahun
tahun berbatu.

Kanopi musim begitu terjaga dan utuh,
tapi persalinan gerimis demikian
landai, membentuk semesta
dalam warna kuning kusam dari ingatan
dan kerinduan yang samun bersemu.

Aku tersepih dalam hening, dan udara
kering membeku. Di antara tiang
rumpang dan rumput kuyup kulukis taifun,
seperti anak jembalang yang membidik angin
dengan matanya yang hancur.

Aku adalah jari-jari kesia-siaan yang terpanggang
bara dan harum aroma nafasmu. Dan pada
kisaran yang dibawa kelu, berpegang
pada kabut, teguh.

Meski di sungai-sungai yang asat dan putih itu
kekal kupu-kupu telah terperangkap. Sedang
kita masih saja tak mengerti, bagaimana
seribu kunang-kunang limbur, sementara hidup
kian dihanyutkan, serupa perahu.

1999.

AKU SAKSIKAN BURUNG-BURUNG KEMATIAN
BERPENDAR DI DASAR OTAKKU

Aku saksikan burung-burung kematian berpendar di dasar otakku.
Tombak angin yang menderita menorehkan gerimis pada batu.
Seribu kali kilat rasa sakit tergila meledak dalam jantungku,
seraya menyerakkan ribuan belatung, seperti kemenawanan tahajud
daun gugur yang sarat dengan perih dan senantiasa menyeret jejakku
menuju seribu tahun.

Rupa kegelapan terkeras mengiris hitam wajahku. Anak-anak malaikat
mengubah para pejalan jadi waktu. Sesuatu tengah tumbuh
dan berdentam dalam bayanganku, seperti harapan para pembakar
yang menghuni sejarah dan seribu luka pendiamanku, yang akan senantiasa
mengubah segalanya jadi abu, seperti gairah penyair yang muram-busuk,
yang menjejalkan ribuan ular ke dalam mulutku.

Aku tenggelam dalam impian yang kuimpikan, yang memimpikan aku.
Kupu-kupu arwah mencecap kelaminku. Tangan kekar halilintar
begitu lekap membekap nafasku, perlahan pikiranku tercuri seribu niat buruk,
membangun menara geludhuk dalam warna kuning perdu, seperti tidur
sepanjang gerhana yang meniupkan hidup pada maut dan akan senantiasa
menggelantungi pucuk rentan alisku.

Kerangka musim hujan menggali kuburan pada anusku. Cuaca begitu buruk
mendirikan kuil ratusan abad dalam tubuhku. Ini adalah kegembiraan
kegembiraan yang senantiasa membangkitkan hantu-hantu dalam nafsuku,
seribu kali menorehkan amis darah pada jidatku, seperti narasi suram yang kekal:
pulau para pecinta yang tak lagi berpenghuni selain pemabuk.

1998-2000.

ORNAMEN PATAH
buat Dorothea

Dan perasaan yang mengeras dengan pohon
pohon tak bersalju telah mengapungkan
seluruh kesendirianku.

Hingga kenangan masa kanakku menggumpal,
menjelma kata-kata yang lebih muram
ketimbang mayatku.

Meski dari tatapan patung-patung yang tumbuh
dalam matamu, kita telah melihat burung
burung berlayar, seperti perahu,
dengan bayang-bayang hitam yang menancap
di ulu tidurku, serupa Nuh atau tahajud batu-batu.

Bahkan ketika sosok keparauan menajam seperti gemuruh
(tapi masih percayakah kau pada peta, peta yang ditulis
dalam kabut?).

1999-2000.


1 komentar:

sinur mengatakan...

Hurufnya digedein bro.. gak jelas dibacanya..