IWAN SIMATUPANG (1928 – 1970)
Pemirsa blog yang budiman,
Selamat bertemu lagi dengan saya. Pada episode kali ini saya akan menayangkan tiga buah sajak dari Iwan Simatupang, seorang sastrawan besar Indonesia yang dilahirkan di Sibolga, Sumatera Utara, pada tanggal 18 Januari 1928, dan meninggal pada 4 Agustus 1970, yang masing-masing berjudul Requiem, Potret, dan Ziarah Malam, yang kesemuanya saya ambil dari buku kumpulan puisi Iwan Simatupang yang berjudul Ziarah Malam (Grasindo, 1993).
Sajak Requiem menarik bagi saya bukan hanya disebabkan sajak tersebut diciptakan di Surabaya, sebuah kota yang saya cintai, tetapi juga karena sajak tersebut memunyai kekuatan puitik yang kuat. Membaca sajak tersebut saya seakan dihadapkan pada khazanah puisi epik, yang saat ini semakin tidak saya temui. Sementara sajak Potret dan Ziarah Malam saya pilih untuk ditayangkan karena kedua sajak tersebut memiliki napas-cerita yang baik dan kuat, meskipun dikemas dalam bentuk puisi. Dan herannya lagi, meski naratif, ternyata kedua puisi tersebut tidak kekurangan kekuatan puitik.
Untuk menjawab mengapa napas-cerita terasa begitu kuat dan kentara pada sajak-sajak Iwan Simatupang, kiranya perkataan Dami N. Toda dalam Catatan Penutup untuk buku kumpulan puisi tersebut sungguh sangat pantas, yakni: (bahwa) tarikan dan tiupan napas-cerita dalam penciptaan puisi (yang naratif), memang wajar saja, karena puisi itu juga kisahan rasa manusia liris yang dapat dijabar dari suatu bingkai atau mengarah justru kepada membentuk bingkai (kisah), tetapi bagi Iwan rupanya peristiwa kreatif model begitu merupakan gejala yang mendesak-desak dari alam bawah-sadar panggilan naratif untuk menulis kisah/ drama/ novel sebagai dunia utamanya. (1993: 46)
Memang benar adanya, Iwan Simatupang lebih dikenal sebagai novel, cerpenis, penulis naskah darama, ataupun esais ketimbang sebagai penyair sebab “Sebagai penyair, namanya jarang disebut-sebut atau dibicarakan secara khusus oleh para peminat dan kritikus sastra. Ini beralasan jika kita ingat bahwa hingga akhir hayatnya Iwan tidak memiliki kumpulan sajak.” (1993: v)
Ah, betapa ironisnya. Hanya karena tidak memiliki buku kumpulan puisi, orang sekaliber Iwan Simatupang jarang dibicarakan dalam khazanah perpuisian Indonesia. Ini menimbulkan kecurigaan, jangan-jangan banyak penyair-penyair Indonesia yang sebenarnya berkualitas bagus, hanya karena tidak memiliki buku, ia jadi jarang, atau bahkan tak pernah, dibicarakan.
Maka tanpa banyak omong lagi, saya persembahkan tiga buah sajak karya Iwan Simatupang. Selamat menikmati.
REQUIEM
mengenang manusia perang I.H. Simandjuntak: Let., bunuh diri!
Aku tiada dapat katakan
apakah pergimu pada fajar atau senja
aku hanya tahu
kau pergi berlangit merah mencerah
Sejak kau pergi, prajurit-kematian,
kami berkesulitan menghalau gagak-gagak
ingin berhinggapan di lembah kami
dan berseru seharian dalam suatu lagu
yang bikin kami pada bergelisahan
Langit kami kini bertambah mendung
bukan oleh arakan mega yang bawa rintik-rintik
tapi oleh kawanan gagak
yang kian tutupi celah-celah terakhir
dari kebiruan langit jernih
dan kecuacaan mentari
Kawan
kami kini memikirkan
pengerahan gadis-gadis dan orang tua kami
untuk menghunus segala tombak dan keris hiasan
yang berpacakan di dinding ruang-ruang tamu kami
sebab
sejak kau pergi
pemuda-pemuda gembala dan petani kami
berlomba-lomba meninggalkan lembah
dan pergi lari ke kota
jadi penunggu taman-taman pahlawan
atau pembongkar mayat-mayat
Saksikanlah
di sini ada tantangan dari suatu kemuraman
yang ingin pudarkan segala irama dan kehijauan
dengar di sini ada kesediaan dari nafas demi nafas
yang ingin pertahankan keluasaan jantung berdetak
dalam deretan detik demi detik
Tidak kawan
kami tiada akan mencari pelarian kami
ke dunia tempat mantera berserakan
walau kami tahu
bahwa mantera ditakuti gagak-gagak
dan akan buat langit kami
kembali cerlang
Kami benci mantera-mantera
kami benci semua yang bukan datang
dari kelenjar dan darah kami
sebab kamu tahu
kekuatan yang dalam tanggapan
adalah jua kelemahan
Tidak kawan
kami akan tantang pertarungan ini
tanpa sikap dan gita kepahlawanan
sebab kami tahu
pahlawan berkehunian
bukan di bumi ini.
Kami tiada berani ramalkan
kesudahan dari pertarungan ini
kebenaran bukan lagi dalam
ramal, tenung ataupun renung
Tapi
andaikata lembah kami
menjadi lembah dari gagak-gagak
dan belulang kami mereka jadikan
bagian dari sarang-sarang mereka
ketahuilah
di sini telah rebah
manusia-manusia yang tiada akan
memikul tanda-tanda tanya lagi
Tapi
andaikata gagak dapat kami tiwaskan satu demi satu
dan haruman langit dapat kami hirup dengan luasa kembali
o, kegembiraan kami tiada akan kami unjukkan
dengan sesaat pun jatuh bertiarap di puncak bukit-bukit kami
sambil menatap kerinduan ke udara kosong
dan membacakan mantera-mantera …
Pun tiada akan kami kutuki
pemuda-pemuda kami yang lari ke kota
mencari kegemuruhan dalam menunggu kelengangan
sebab
kami mengibai semua mereka
yang tiada tahu dengan diri
pada kesampaian di tiap perbatasan
Inilah langkah pertama kami
kepengijakan suatu bumi baru
di mana kami bukan lagi tapal
dari kelampauan dan keakanan
tapi
kamilah kelampauan dan keakanan!
Inilah tarikan-nafas kami yang pertama
dalam penghirupan udara di suatu jagat baru
di mana nilai-nilai ketakberhingaan
bukan lagi terletak dalam
ramal, tenung ataupun renung
tapi:
dalam kesegaran dan keserta-mertaan!
Aku tiada dapat katakan
apakah pergimu fajar atau senja
aku hanya tahu
kau pergi berlangit merah mencerah,
pahlawan!
Surabaya, 29 Januari 1953
POTRET
Di sudut kamat seorang dara
Tergantung potret serdadu senyum:
‘Tunggu! Sepulangku, bahtera kita kayuh!
Di atasnya salib: Pahlawan kasih yang
Belum jua pulang.
Kini dara sudah lama tak menunggu lagi.
Langkah-langkah pelan, yang biasa datang
Menjelang tengah malam dari kebun belakang
Bawa cium dan kembang—
Takkan lagi kunjung datang.
Di sudut kamar seorang dara
Tergantung potret serdadu senyum:
‘Jangan tunggu! Aku bangkai dalam bingkai!
Di atasnya salib: Pahlawan kasih yang
Masih jua belum pelung
Kini dara sudah lama dalam biara.
ZIARAH MALAM
Tahun lalu ia lari tinggalkan biara
Kerna tak tahu tempatkan kasih
Pada Tuhan atau padri muda
Yang masuk biara kerna ingin tobat
Dari dosa: memperkosa ibu tirinya
Bulan lalu ia diangkut ke sanatorium
Kerna tak tahu apa lagi akan dikasihinya
Setelah Tuhan dan padri muda ia tinggalkan
Dan kasih yang membara di buah dadanya
Akhirnya mengapung ke paru-parunya
Siang tadi ia dikubur kemari
Kerna lewat tahu, bahwa kasih
Yang pulang dari Tuhan, daging dan kelengangan
Hanya akan berterima lagi oleh
Tepi pertemuan kembola dan langit malam
Dan di bimbang bintang Tuhan masih Maha Pengasih
Selamat bertemu lagi dengan saya. Pada episode kali ini saya akan menayangkan tiga buah sajak dari Iwan Simatupang, seorang sastrawan besar Indonesia yang dilahirkan di Sibolga, Sumatera Utara, pada tanggal 18 Januari 1928, dan meninggal pada 4 Agustus 1970, yang masing-masing berjudul Requiem, Potret, dan Ziarah Malam, yang kesemuanya saya ambil dari buku kumpulan puisi Iwan Simatupang yang berjudul Ziarah Malam (Grasindo, 1993).
Sajak Requiem menarik bagi saya bukan hanya disebabkan sajak tersebut diciptakan di Surabaya, sebuah kota yang saya cintai, tetapi juga karena sajak tersebut memunyai kekuatan puitik yang kuat. Membaca sajak tersebut saya seakan dihadapkan pada khazanah puisi epik, yang saat ini semakin tidak saya temui. Sementara sajak Potret dan Ziarah Malam saya pilih untuk ditayangkan karena kedua sajak tersebut memiliki napas-cerita yang baik dan kuat, meskipun dikemas dalam bentuk puisi. Dan herannya lagi, meski naratif, ternyata kedua puisi tersebut tidak kekurangan kekuatan puitik.
Untuk menjawab mengapa napas-cerita terasa begitu kuat dan kentara pada sajak-sajak Iwan Simatupang, kiranya perkataan Dami N. Toda dalam Catatan Penutup untuk buku kumpulan puisi tersebut sungguh sangat pantas, yakni: (bahwa) tarikan dan tiupan napas-cerita dalam penciptaan puisi (yang naratif), memang wajar saja, karena puisi itu juga kisahan rasa manusia liris yang dapat dijabar dari suatu bingkai atau mengarah justru kepada membentuk bingkai (kisah), tetapi bagi Iwan rupanya peristiwa kreatif model begitu merupakan gejala yang mendesak-desak dari alam bawah-sadar panggilan naratif untuk menulis kisah/ drama/ novel sebagai dunia utamanya. (1993: 46)
Memang benar adanya, Iwan Simatupang lebih dikenal sebagai novel, cerpenis, penulis naskah darama, ataupun esais ketimbang sebagai penyair sebab “Sebagai penyair, namanya jarang disebut-sebut atau dibicarakan secara khusus oleh para peminat dan kritikus sastra. Ini beralasan jika kita ingat bahwa hingga akhir hayatnya Iwan tidak memiliki kumpulan sajak.” (1993: v)
Ah, betapa ironisnya. Hanya karena tidak memiliki buku kumpulan puisi, orang sekaliber Iwan Simatupang jarang dibicarakan dalam khazanah perpuisian Indonesia. Ini menimbulkan kecurigaan, jangan-jangan banyak penyair-penyair Indonesia yang sebenarnya berkualitas bagus, hanya karena tidak memiliki buku, ia jadi jarang, atau bahkan tak pernah, dibicarakan.
Maka tanpa banyak omong lagi, saya persembahkan tiga buah sajak karya Iwan Simatupang. Selamat menikmati.
REQUIEM
mengenang manusia perang I.H. Simandjuntak: Let., bunuh diri!
Aku tiada dapat katakan
apakah pergimu pada fajar atau senja
aku hanya tahu
kau pergi berlangit merah mencerah
Sejak kau pergi, prajurit-kematian,
kami berkesulitan menghalau gagak-gagak
ingin berhinggapan di lembah kami
dan berseru seharian dalam suatu lagu
yang bikin kami pada bergelisahan
Langit kami kini bertambah mendung
bukan oleh arakan mega yang bawa rintik-rintik
tapi oleh kawanan gagak
yang kian tutupi celah-celah terakhir
dari kebiruan langit jernih
dan kecuacaan mentari
Kawan
kami kini memikirkan
pengerahan gadis-gadis dan orang tua kami
untuk menghunus segala tombak dan keris hiasan
yang berpacakan di dinding ruang-ruang tamu kami
sebab
sejak kau pergi
pemuda-pemuda gembala dan petani kami
berlomba-lomba meninggalkan lembah
dan pergi lari ke kota
jadi penunggu taman-taman pahlawan
atau pembongkar mayat-mayat
Saksikanlah
di sini ada tantangan dari suatu kemuraman
yang ingin pudarkan segala irama dan kehijauan
dengar di sini ada kesediaan dari nafas demi nafas
yang ingin pertahankan keluasaan jantung berdetak
dalam deretan detik demi detik
Tidak kawan
kami tiada akan mencari pelarian kami
ke dunia tempat mantera berserakan
walau kami tahu
bahwa mantera ditakuti gagak-gagak
dan akan buat langit kami
kembali cerlang
Kami benci mantera-mantera
kami benci semua yang bukan datang
dari kelenjar dan darah kami
sebab kamu tahu
kekuatan yang dalam tanggapan
adalah jua kelemahan
Tidak kawan
kami akan tantang pertarungan ini
tanpa sikap dan gita kepahlawanan
sebab kami tahu
pahlawan berkehunian
bukan di bumi ini.
Kami tiada berani ramalkan
kesudahan dari pertarungan ini
kebenaran bukan lagi dalam
ramal, tenung ataupun renung
Tapi
andaikata lembah kami
menjadi lembah dari gagak-gagak
dan belulang kami mereka jadikan
bagian dari sarang-sarang mereka
ketahuilah
di sini telah rebah
manusia-manusia yang tiada akan
memikul tanda-tanda tanya lagi
Tapi
andaikata gagak dapat kami tiwaskan satu demi satu
dan haruman langit dapat kami hirup dengan luasa kembali
o, kegembiraan kami tiada akan kami unjukkan
dengan sesaat pun jatuh bertiarap di puncak bukit-bukit kami
sambil menatap kerinduan ke udara kosong
dan membacakan mantera-mantera …
Pun tiada akan kami kutuki
pemuda-pemuda kami yang lari ke kota
mencari kegemuruhan dalam menunggu kelengangan
sebab
kami mengibai semua mereka
yang tiada tahu dengan diri
pada kesampaian di tiap perbatasan
Inilah langkah pertama kami
kepengijakan suatu bumi baru
di mana kami bukan lagi tapal
dari kelampauan dan keakanan
tapi
kamilah kelampauan dan keakanan!
Inilah tarikan-nafas kami yang pertama
dalam penghirupan udara di suatu jagat baru
di mana nilai-nilai ketakberhingaan
bukan lagi terletak dalam
ramal, tenung ataupun renung
tapi:
dalam kesegaran dan keserta-mertaan!
Aku tiada dapat katakan
apakah pergimu fajar atau senja
aku hanya tahu
kau pergi berlangit merah mencerah,
pahlawan!
Surabaya, 29 Januari 1953
POTRET
Di sudut kamat seorang dara
Tergantung potret serdadu senyum:
‘Tunggu! Sepulangku, bahtera kita kayuh!
Di atasnya salib: Pahlawan kasih yang
Belum jua pulang.
Kini dara sudah lama tak menunggu lagi.
Langkah-langkah pelan, yang biasa datang
Menjelang tengah malam dari kebun belakang
Bawa cium dan kembang—
Takkan lagi kunjung datang.
Di sudut kamar seorang dara
Tergantung potret serdadu senyum:
‘Jangan tunggu! Aku bangkai dalam bingkai!
Di atasnya salib: Pahlawan kasih yang
Masih jua belum pelung
Kini dara sudah lama dalam biara.
ZIARAH MALAM
Tahun lalu ia lari tinggalkan biara
Kerna tak tahu tempatkan kasih
Pada Tuhan atau padri muda
Yang masuk biara kerna ingin tobat
Dari dosa: memperkosa ibu tirinya
Bulan lalu ia diangkut ke sanatorium
Kerna tak tahu apa lagi akan dikasihinya
Setelah Tuhan dan padri muda ia tinggalkan
Dan kasih yang membara di buah dadanya
Akhirnya mengapung ke paru-parunya
Siang tadi ia dikubur kemari
Kerna lewat tahu, bahwa kasih
Yang pulang dari Tuhan, daging dan kelengangan
Hanya akan berterima lagi oleh
Tepi pertemuan kembola dan langit malam
Dan di bimbang bintang Tuhan masih Maha Pengasih
1 komentar:
hai sahabatQ...sekarang ini saya lagi mempelajari sejarah sastra salah satunya tokoh iwan simatupang,,,andai saja saat ini beliau masih ada, Q ingin bertemu dengannya!!!
Posting Komentar