Para pembaca blog yang budiman,
selamat bertemu lagi dengan saya, pemandu yang anda cintai. Kali ini saya akan menayangkan sebuah cerpen karya saya sendiri yang berjudul "Tuduhan". Cerpen ini merupakan cerpen eksperiman. Rencananya cerpen ini akan dimuat di dalam sebuah kumpulan cerpen yang berjudul "Dekonstruksi, Suatu Hari...." Bersama beberapa prosais anti-cerita Surabaya, seperti Ribut Wijoto dan Muhammad Aris.
Saya kira, sebegini dulu ucapan dari saya. Selamat membaca.
Alkisah, di sebuah tempat, di suatu forum, di suatu hari yang tak jauh dari masa kini seseorang pernah berhujah: “Sastra Jawa Timur adalah sastra yang tidak berkarakter!”
Saat itu, tentu saja, mereka yang merasa dirinya sastrawan Jawa Timur berbondong-bondong lekas berberondong-berondong memberikan gugatan terhadap pernyataan itu. Menurut mereka penyataan tersebut mereka tidak beralasan dan berlandaskan itu. Mereka berpendapat, pemberi pernyataan adalah seseorang tidak mengenal baik kultur Jawa Timur yang heterogen.
Tadinya saya, sebagai seseorang yang juga merasa dirinya sastrawan Jawa Timur, juga merasa tergerak untuk ikut melakukan gugatan balik atas pernyataan itu. Tapi niatan itu saya urungkan. Saya ingin memahami dulu pernyataan itu secara utuh, terutama pada kata berkarakter, meski kata tersebut acap muncul sehari-hari.
Kiranya akan lebih mudah bagi saya dalam memahami kata tersebut apabila saya mengetahui terlebih dulu arti kata tersebut. Kata berkarakter adalah kata berimbuhan. Kata ini memiliki kata dasar karakter yang dikenai prefiks ber-. Bersama me-, pe-, se-, ter-, di-, ke-, prefiks ber- adalah salah satu imbuhan yang baku dalam bahasa Indonesia. Demi mengetahui hal ini, maka saya pun mulai mencari terlebih dahulu apa arti kata karakter.
Setelah membolak-balik isi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi III (2001) ternyata kata karakter yang saya cari tidak tercantum sebagai lema. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Bukankah kata tersebut adalah kata yang terhitung akrab dalam pergaulan berbahasa kita sehari-hari?
Kesal dengan keadaan ini, selekasnya saya tutup kamus resmi bahasa Indonesia tersebut, dan beralih kepada Kamus Inggris-Indonesia (1996) yang disusun oleh Jhon M. Echols dan Hassan Shadily. Dalam kamus tersebut, kata character berarti: (1) watak, karakter, sifat; (2) peran; (3) huruf. Meski telah mendapatkan sedikit gambaran atas arti kata karakter, tapi dalam benak saya muncul pertanyaan yang lain: apakah pernyataan “sastra Jawa Timur adalah sastra yang tidak berkarakter” itu sama artinya dengan: (a) sastra Jawa Timur adalah sastra yang tidak berwatak, (b) sastra Jawa Timur adalah sastra yang tidak bersifat, (c) sastra Jawa Timur adalah sastra yang tidak berperan, dan (d) sastra Jawa Timur adalah sastra yang tidak berhuruf?
Kata watak dalam KBBI Edisi III berarti sifat batin manusia yang memengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku; budi pekerti; tabiat. Sementara kata berwatak berarti memunyai watak; berkepribadian; bertingkah laku. Jadi pernyataan “sastra Jawa Timur adalah sastra yang tidak berwatak” dapat diartikan sebagai: pertama, sastra Jawa Timur adalah sastra yang tidak memunyai watak. Dalam artian bahwa ia tidak memunyai sifat batin manusia yang memengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku.
Pertanyaannya: sebagaimana sastra pada umumnya yang merupakan hasil cipta, karsa dan rasa manusia, mungkinkah sastra Jawa Timur tidak memunyai sifat batin manusia yang memengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku, sebab bukankah sebagai hasil dari cipta, karsa dan rasa manusia, sastra Jawa Timur juga terikat dengan sifat batin manusia, dan bukankah dengan terlontarnya pernyataan tentang ihwal keberadaan itu berarti bahwa sedikit-banyak ia telah memeranguhi pikiran dan tingkah laku manusia?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kiranya, diperlukan penelitian yang mendalam dan detail terhadap sastra Jawa Timur dalam hal pengaruh-memengaruhinya. Tanpa hal itu, pernyataan yang bersifat mendiskreditkan sastra Jawa Timur tersebut akan hanya menjadi omong kosong belaka. Sebab, secara sepintas lalu saja, saya ragu apabila insan-insan sastra di negeri ini yang tidak mengenal nama-nama besar sastrawan Jawa Timur semacam Muhammad Ali, Budi Darma, D. Zawawi Imron, Beni Setia, Tjahjono Widijanto, Tjahjono Widarmanto, Mardi Luhung, ataupun Mashuri.
Arti kedua dari penyataan “sastra Jawa Timur adalah sastra yang tak berwatak” dapat dipahami sebagai bahwa sastra Jawa Timur tidak berkepribadian. Dalam KBBI Edisi III kata kepribadian berarti sifat hakiki yang tercermin pada sikap seseorang atau suatu bangsa yang membedakannya dari orang atau bangsa lain. Jadi secara luas arti kedua dari pernyataan “sastra Jawa Timur adalah sastra yang tak berwatak” dapat dipahami sebagai bahwa sastra Jawa Timur adalah sastra yang tidak memunyai sifat hakiki yang tercermin pada sikap seseorang atau suatu bangsa yang membedakannya dari orang atau bangsa lain.
Pertanyaannya: benarkah novel-novel atau cerpen-cerpen Muhammad Ali tak sedikit pun memiliki perbedaan dengan membaca novel atau cerpen-cerpennya A.A. Navis misalnya? Benarkan novel-novel atau cerpen-cerpennya Budi Darma tak sedikit pun memiliki perbedaan dengan membaca novel-novel atau cerpen-cerpennya Umar Kayam misalnya? Benarkah puisi-puisinya D. Zawawi Imron tak sedikitpun memiliki perbedaan dengan membaca puisi-puisinya Umbu Landu misalnya? Lagi-lagi pertanyaan-pertanyaan sederhana yang membutuhkan jawaban yang tidak sederhana.
Ketiga, arti dari “sastra Jawa Timur adalah sastra yang tak berwatak” adalah sastra Jawa Timur adalah sastra yang tidak bertingkah laku. Maksudnya adalah sastra Jawa Timur adalah sastra tidak memunyai kelakuan atau perangai. Dalam artian, bahwa sastra Jawa Timur adalah sastra yang tidak memiliki cara khas seseorang dalam beraksi terhadap berbagai macam fenomena.
Pertanyaannya: benarkah demikian? Apakah seorang Muhammad Ali tidak memunyai cara khas dalam beraksi terhadap berbagai macam fenomena sehingga ia dapat begitu saja dipersamakan dengan Mochtar Lubis misalnya? Apakah seorang Budi Darma tidak memunyai cara khas dalam beraksi terhadap berbagai macam fenomena sehingga ia dapat begitu saja dipersamakan dengan Kuntowijoyo misalnya? Apakah seorang D. Zawawi Imron tidak memunyai cara khas dalam beraksi terhadap berbagai macam fenomena sehingga ia dapat begitu saja dipersamakan dengan Umbu Landu misalnya? Apakah seorang Mashuri tidak memunyai cara khas dalam beraksi terhadap berbagai macam fenomena sehingga ia dapat begitu saja dipersamakan dengan Binhad Nurrohmat misalnya?
Memahami penalaran di atas, tiba-tba saya teringat dengan perkataan Remy Sylado: “Sudah jadi model Indonesia: asal gebuk, zonder nalar.” Ah, sayang sekali. Sayang sekali…
selamat bertemu lagi dengan saya, pemandu yang anda cintai. Kali ini saya akan menayangkan sebuah cerpen karya saya sendiri yang berjudul "Tuduhan". Cerpen ini merupakan cerpen eksperiman. Rencananya cerpen ini akan dimuat di dalam sebuah kumpulan cerpen yang berjudul "Dekonstruksi, Suatu Hari...." Bersama beberapa prosais anti-cerita Surabaya, seperti Ribut Wijoto dan Muhammad Aris.
Saya kira, sebegini dulu ucapan dari saya. Selamat membaca.
TUDUHAN
Cerpen: Indra Tjahyadi*)
Cerpen: Indra Tjahyadi*)
Alkisah, di sebuah tempat, di suatu forum, di suatu hari yang tak jauh dari masa kini seseorang pernah berhujah: “Sastra Jawa Timur adalah sastra yang tidak berkarakter!”
Saat itu, tentu saja, mereka yang merasa dirinya sastrawan Jawa Timur berbondong-bondong lekas berberondong-berondong memberikan gugatan terhadap pernyataan itu. Menurut mereka penyataan tersebut mereka tidak beralasan dan berlandaskan itu. Mereka berpendapat, pemberi pernyataan adalah seseorang tidak mengenal baik kultur Jawa Timur yang heterogen.
Tadinya saya, sebagai seseorang yang juga merasa dirinya sastrawan Jawa Timur, juga merasa tergerak untuk ikut melakukan gugatan balik atas pernyataan itu. Tapi niatan itu saya urungkan. Saya ingin memahami dulu pernyataan itu secara utuh, terutama pada kata berkarakter, meski kata tersebut acap muncul sehari-hari.
Kiranya akan lebih mudah bagi saya dalam memahami kata tersebut apabila saya mengetahui terlebih dulu arti kata tersebut. Kata berkarakter adalah kata berimbuhan. Kata ini memiliki kata dasar karakter yang dikenai prefiks ber-. Bersama me-, pe-, se-, ter-, di-, ke-, prefiks ber- adalah salah satu imbuhan yang baku dalam bahasa Indonesia. Demi mengetahui hal ini, maka saya pun mulai mencari terlebih dahulu apa arti kata karakter.
Setelah membolak-balik isi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi III (2001) ternyata kata karakter yang saya cari tidak tercantum sebagai lema. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Bukankah kata tersebut adalah kata yang terhitung akrab dalam pergaulan berbahasa kita sehari-hari?
Kesal dengan keadaan ini, selekasnya saya tutup kamus resmi bahasa Indonesia tersebut, dan beralih kepada Kamus Inggris-Indonesia (1996) yang disusun oleh Jhon M. Echols dan Hassan Shadily. Dalam kamus tersebut, kata character berarti: (1) watak, karakter, sifat; (2) peran; (3) huruf. Meski telah mendapatkan sedikit gambaran atas arti kata karakter, tapi dalam benak saya muncul pertanyaan yang lain: apakah pernyataan “sastra Jawa Timur adalah sastra yang tidak berkarakter” itu sama artinya dengan: (a) sastra Jawa Timur adalah sastra yang tidak berwatak, (b) sastra Jawa Timur adalah sastra yang tidak bersifat, (c) sastra Jawa Timur adalah sastra yang tidak berperan, dan (d) sastra Jawa Timur adalah sastra yang tidak berhuruf?
Kata watak dalam KBBI Edisi III berarti sifat batin manusia yang memengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku; budi pekerti; tabiat. Sementara kata berwatak berarti memunyai watak; berkepribadian; bertingkah laku. Jadi pernyataan “sastra Jawa Timur adalah sastra yang tidak berwatak” dapat diartikan sebagai: pertama, sastra Jawa Timur adalah sastra yang tidak memunyai watak. Dalam artian bahwa ia tidak memunyai sifat batin manusia yang memengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku.
Pertanyaannya: sebagaimana sastra pada umumnya yang merupakan hasil cipta, karsa dan rasa manusia, mungkinkah sastra Jawa Timur tidak memunyai sifat batin manusia yang memengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku, sebab bukankah sebagai hasil dari cipta, karsa dan rasa manusia, sastra Jawa Timur juga terikat dengan sifat batin manusia, dan bukankah dengan terlontarnya pernyataan tentang ihwal keberadaan itu berarti bahwa sedikit-banyak ia telah memeranguhi pikiran dan tingkah laku manusia?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kiranya, diperlukan penelitian yang mendalam dan detail terhadap sastra Jawa Timur dalam hal pengaruh-memengaruhinya. Tanpa hal itu, pernyataan yang bersifat mendiskreditkan sastra Jawa Timur tersebut akan hanya menjadi omong kosong belaka. Sebab, secara sepintas lalu saja, saya ragu apabila insan-insan sastra di negeri ini yang tidak mengenal nama-nama besar sastrawan Jawa Timur semacam Muhammad Ali, Budi Darma, D. Zawawi Imron, Beni Setia, Tjahjono Widijanto, Tjahjono Widarmanto, Mardi Luhung, ataupun Mashuri.
Arti kedua dari penyataan “sastra Jawa Timur adalah sastra yang tak berwatak” dapat dipahami sebagai bahwa sastra Jawa Timur tidak berkepribadian. Dalam KBBI Edisi III kata kepribadian berarti sifat hakiki yang tercermin pada sikap seseorang atau suatu bangsa yang membedakannya dari orang atau bangsa lain. Jadi secara luas arti kedua dari pernyataan “sastra Jawa Timur adalah sastra yang tak berwatak” dapat dipahami sebagai bahwa sastra Jawa Timur adalah sastra yang tidak memunyai sifat hakiki yang tercermin pada sikap seseorang atau suatu bangsa yang membedakannya dari orang atau bangsa lain.
Pertanyaannya: benarkah novel-novel atau cerpen-cerpen Muhammad Ali tak sedikit pun memiliki perbedaan dengan membaca novel atau cerpen-cerpennya A.A. Navis misalnya? Benarkan novel-novel atau cerpen-cerpennya Budi Darma tak sedikit pun memiliki perbedaan dengan membaca novel-novel atau cerpen-cerpennya Umar Kayam misalnya? Benarkah puisi-puisinya D. Zawawi Imron tak sedikitpun memiliki perbedaan dengan membaca puisi-puisinya Umbu Landu misalnya? Lagi-lagi pertanyaan-pertanyaan sederhana yang membutuhkan jawaban yang tidak sederhana.
Ketiga, arti dari “sastra Jawa Timur adalah sastra yang tak berwatak” adalah sastra Jawa Timur adalah sastra yang tidak bertingkah laku. Maksudnya adalah sastra Jawa Timur adalah sastra tidak memunyai kelakuan atau perangai. Dalam artian, bahwa sastra Jawa Timur adalah sastra yang tidak memiliki cara khas seseorang dalam beraksi terhadap berbagai macam fenomena.
Pertanyaannya: benarkah demikian? Apakah seorang Muhammad Ali tidak memunyai cara khas dalam beraksi terhadap berbagai macam fenomena sehingga ia dapat begitu saja dipersamakan dengan Mochtar Lubis misalnya? Apakah seorang Budi Darma tidak memunyai cara khas dalam beraksi terhadap berbagai macam fenomena sehingga ia dapat begitu saja dipersamakan dengan Kuntowijoyo misalnya? Apakah seorang D. Zawawi Imron tidak memunyai cara khas dalam beraksi terhadap berbagai macam fenomena sehingga ia dapat begitu saja dipersamakan dengan Umbu Landu misalnya? Apakah seorang Mashuri tidak memunyai cara khas dalam beraksi terhadap berbagai macam fenomena sehingga ia dapat begitu saja dipersamakan dengan Binhad Nurrohmat misalnya?
Memahami penalaran di atas, tiba-tba saya teringat dengan perkataan Remy Sylado: “Sudah jadi model Indonesia: asal gebuk, zonder nalar.” Ah, sayang sekali. Sayang sekali…