Jumat, 28 Desember 2012
PUISI TENTANG SURABAYA
Para pembaca blog yang saya muliakan,
selamat bertemu lagi dengan saya, pengampu blog yang Anda cintai ini. Di penghujung tahun 2012 ini saya akan mengantarkan kepada para pembaca yang mulia dua puisi yang bertema Surabaya. Puisi pertama karya Agam Wispi dan puisi yang kedua karya Mashuri.
Terima Kasih.
Sajak Agam Wispi
SURABAJA
tiap kita djumpa
surabaja
aku selalu remadja
gembira kepada kerdja
pasti kepada harapan
surabaja
laut dan kota
rata
surabaja bau keringat
bau kerdja
ketegarannja harum semerbak
dan malamnja malam bertjinta
deritanja
terisak-isak
dalam dengus napas
darah bergelora
tjemara bersiut
meliut semampai
wilo merunduk
merenung sungai
besok ke laut
dia akan sampai
tapi ini!
malam pelaut
buih hidup
jang menggapai!
surabaja
lebih remadja
dalam bantingan usia
kutjinta surabaja
sebab dia kota kelasi
kurindukan surabaja
sebab trem berlari-lari
(djakarta? Term diganti impala!)
kusukai surabaja
sebab betja dan taman
ditepi kali
kubanggakan surabaja
sebab dia kota berani
kusenangi surabaja
sebab kedjantanan bernjanji
kepahlawanan bergolak
dari kantjah-kantjah jang menggelegak
dan tahun-tahun kenangan
jang diwariskan
mogok pertama
buruh kereta api
zeven provincien
buruh pelabuhan dan pelaut
bersatu hari
disiram hudjan peluru
dan dentjing belenggu
rantai besi, bendera pertama
internasionalisme proletar
dipantjangkan
proklamasi ? sitiga-warna diturunkan
dan dalam pelukan sang saka
dipandjatkan kepuntjak perlawanan
kemudian
diantara serpihan bom
jang mengojak
dan kota jang terbakar
terbakarlah semangat pertempuran
njalanja
tak terpadamkan
hingga kini
nanti
dan kapanpun
njalanja panas menempa
badja kemerdekaan
badja kehidupan
ketika kita tidak lagi bertanja
pilih njala atau pilih badjanja?
dan kita merebut
kedua-duanja!
djauh mengatasi segala
pekik pilu dan djerit sendu
ratapan kehilangan dan erang kesakitan
adalah bagai ibu jang melahirkan baji
jang kemudian memeluk dan menjusui
serta mengusap-usapnja dengan kesajangan kebahagiaan
disitu Hari Pahlawan
dilahirkan
kko pesiar
menunggu trotoar
kelasi-kelasi
melambaikan dasi
jang bernama “kesenangan” memperpandjang umurnja
maka itu djadi terlambat
tapi bus dan truk tidak menunggu
ajo, pulang djalan kaki!
tjinta sudah ketinggalan
ditembok-tembok kota
o, ketika kapal merapat lego djangkar
pelabuhan mengulurkan tangannja
dan lampu kota mengerdipkan matanja
dan bus-bus kadet menderu
megah
dan di tundjungan sikadet melangkah
gagah
putih-putih
dan gadisnja dua
jang satu pedang jang satu wanita
dan si gadis punja mata kedjut pelita
dan si pedang punja mata gelegak darah mudah
si kadet djua permata dari lautan
bukan main!
namun adakah permata berkilau
tanpa sebersit tjahja mentjekau?
dan tiadalah angkatan perang
tak bertulang-punggung
kukuh
merekalah
kelasi dan pradjurit
darat laut udara
polisi
milisia dari rakjat pekerdja
tangan-tangan badja jang keras menghentam
tidak perduli bom nuklir
tapi tangan!
tangan jang menentukan
jang menghajunkan pedang kemenangan
selama di djantungnja
debur-mendebur
gelora repolusi
mengabdi rakjat pekerdja
sokoguru
buruh
tani
matahari tenggelam
di djembatan wonokromo
surabaja berdandan
bagi malam berdesau
tjemara
tjadar kota
jang disingkapkan
surabaja
napas merdeka
jang dipertaruhkan
pahlawan-pahlawan lahir
pada djamannja dan diukur
oleh pengabdiannja
kepada rakjat
dan hari depannja
djaman lampaupun berlalu
djaman baru datang
melahirkan pahlawan baru
namun pahlawan sebenarnja
hanja tumbuh dalam lumpur dan debu
pembesar-pembesar boleh bermatian
orang-orang besar boleh berlahiran
tenaga segar dari kepahlawanan
djuga sekarang
djika muda-mudi berperasaan
merasakan hidup sampai ke tulang-sumsumnja
dan jang tua-tua teguh
membatu karang oleh hempasan gelora
merekalah orangnja
dan kebanjakannja
tak bernama
merekalah petani jang dirampas tanahnja
kembali merebutnja dari setan-setan desa
mereka jang berdjuang membebaskan dirinja
dari belenggu perbudakan tanah
dan buruh-buruh pelabuhan buruh pabrik
jang beruntun-rutun pagi hari
berkilat-kilat oleh keringat
dan hitam oleh matahari
pengangkut pasir jang menunggu
perahu menghajut ke gunung sari
betja jang berkerumun di lubuk djalanraya
kko – kelasi – pradjurit
jang ingat kepada asalnja
pegawai-pegawai jang sadar kepada klasnja
(bukan pemabok “karyawan jang mengingkari “makan-gadji”)
si miskin-kota jang kehilangan desanja
dan mengisi sudut-sudut gelap kota
dengan kerdap-kerdip pelita
petani-petani jang dirampok panennja
dan tepat menghidjaukan bumi, memerahkan tanah
pemuda peladjar mahasiswa jang membakar buku USIS*
dan mengusir setan-setan ilmu dari amerika imperialis
untuk mematahkan belenggu kebodohan
ratjun kemerdekaan jang berbungkus kenikmatan hampa
dan surabaja
berderap dalam tempik-sorak
meski bau tengik dan sarang malaria
sama banjak njamuk dan lalat dimana saja
tunggu! suatu hari pernjataan perang
djuga kepadamu!
disini ketegaran berkata sederhana
keras dan langsung kehulu-hatimu
jang sudah mati, ja sudah!
jang hidup sekarang, menjiapkan repolusi
dimana masing-masing beri djanji
merdeka atau mati!
bagi keringat kaum buruh
bagi tanah-tanah petani
bagi kepertjajaan kepada harapan
MANUSIA
ja, sekarang kita bertanja
sudahkan tanah bagi petani?
sudahkan keringat bagi kaum buruh?
jang sudah – sedikit!
jang belum – banjak!
menteri-menteri tetaplah turun naik
jang belum, kepingin djadi menterei
jang djelek, tak mau turun
jang baik, masih di podium
dan rakjat tetap menuntut: kabinet nasakom!
dan kabir-kabir main sunglap dengan peluru, wang, dan senjum
dengan tuantanah dan imperialis?
seketurunan! satu medja-makan dan sama-sama minum dan pemimpin-pemimpin munafik menghamburkan budi ikut berteriak “ganjang malaysia! Berdiri di atas kaki sendiri!”
kemak-kemik pantjasila, manipol, djarek, sukarnoisme
tapi main mata dengan modal monopoli
gudang ratjun komunisto-phobi
buruh phobi
tani phobi
partai phobi
imperialisme amerika? Tunggu dulu!
dan sardjana-sardjana membalik-balik bukunja
tapi tak mengenal aspirasi tanahairnya sendiri
dan seniman memabokkan diri dengan kepuasan murah
tak tahu kemelaratan dan kebangkitan rakjatnja sendiri
dan politikus mentjatut teori dengan “ala indonesia”
munafik-munafik ini mau melupakan sumbangan dunia
kepada sedjarah dan perdjuangan klas
sungguh, kekerdilan yang memalukan dan hina
adalah mereka jang mau menutup laut dengan telapak tangannja
laut daripada kebenaran perdjuangan klas
o, sudahkah keringat bagi kaum buruh?
sudahkah tanah bagi kaum tani?
jang menggarap!
jang menggarap!
jang menggarap!
betapa berbelit-belit
plintat-plintut
tapi adakah jang lebih tegas dari kebenaran?
sebab dia tak dapat digeser dari relnja repolusi?
abad-abad telah menjumbangkan lokomotip-lokomotip raksasa
jang menderu kentjang menembus belantara kegelapan
dengan perdjuangan klas dan repolusi
dengan marx, engels, dan lenin
dengan mau tje-tung, bung karno, dan aidit
dengan diri sendiri; rakjat tertindas
antara sabang dan sukarna-pura
di seluruh dunia dimana sadja
o, djanganlah hanja membaca hurup-hurup
tapi tak menangkap hakekat dan arti
o, djanganlah sungai lupa kepada laut
dan kemerdekaan tinggal abu tanpa api
sebab kami
surabaja
sudah banjak mati
sebab kepahlawanan sehari-hari
tidak pada jang sudah mati
berkata pemimpin besar repolusi
djaman ini djaman konfrontasi
pemimpin tengahan bitjara lain lagi
katanja: perdamaian universil dan konsepsi
dan perdamaian djadilah dewi ketjantikan
dan pedang kemerdekaan ditumpulkan
maka konsepsipun berlahiran diatas kertas
dan kertas-kertas berhamburan setjepat inflasi
mereka jang bekerdja dilaparkan oleh djandji
mereka jang malas berpikir tanpa batas
jang tak tahu ekonomi politik
mau bikin ekonomi politik
maka begitu naik djadi menteri
harga beras melambung tinggi
maka berkatalah rakjat suatu hari
bisa sekarang bisa nanti
stop!
mau konsepsi apa lagi?
kami sudah banting kemudi ke u.u.d empatlima
kami sudah bikin manipol dan nasakom
land reform dan dekon
ajo, konfrontasi
melawan tudjuh setan-desa
imperialis amerika
atau
sebelum roda ini melindas
minggir!
kami mau repolusi
kami mau buku dan pedang ditangan
kami mau tanah dan bedil dibidikkan
kami mau palu dan meriam didentumkan
kami mau pukat dan kapal-selam berkeliaran
kami mau indonesia dan rakjatnya jang gesit berlawan
bagi repolusinya dan bagi dunianya
bagi dunia dan bagi repolusinya
dan surabaja
senatiasa remadja
dalam bantingan usia
berdjuang
beladjar
kerdja
kutjinta surabaja
dia kota kelasi
kurindukan surabaja
sebab trem berlari-lari
kusukai surabaja
betja dan taman ditepi kali
kubanggakan surabaja
kota berani mati
kusenangi surabaja
kedjantanan jang bernjanji
surabaja
menghadang pukulan
menghantam
bertubi-tubi
disini tjemara bersiut
meliuk semampai
dan wilo merunduk
merenung sungai
kelasi, djika besok kelaut
djangan lupa kepada pantai
Keterangan: *USIS adalah United States Information Service, aparatus propagandanya Amerika Serikat untuk mengedepankan kepentingan nasionalnya ke negara-negara asing.
Sajak Mashuri
Ironi Kota Singgah
: Hotel Itu Bernama Surabaya, Kawan
selat itu menyekat pipih geografi, kau menyebutnya: Surabaya
kota yang terbaca dari titik kecil: noktah hitam di peta,
di pinggir delta, di tepi laut Jawa
kau berhayat di antara kiblat-kiblatnya
ketika kita bertemu tanpa sekat, lalu kau
melihat sebarisan malaikat ---di Ampel, di Bungkul, berjamaat
atau tak terangkul di seberang semak-keramat
tapi aku terasing, buta, serupa pejalan yang tak sempat
melihat ujung tubuh: ber-Hujung Galuh, be-ruh
aku pun tak mampir berlabuh, tak parkir ke riuh
: bongkar-muat, ganti cawat, atau angkat sauh
kau tetap saja berkisah dengan angka, tahun-tahun
tapi aku seperti tersekat di seperempat abad pertama
pasca 1900: saat segala genap menjadi ganjil
dan segala luapan demikian gigil
saat gelora masih membenih di asa: meletup ke degup
indra, seperti pelari dengan api
yang tak redup, meski hati terseret ke jalan-jalan mati
jalan penuh mimpi!
lalu kau sebut 45: aku pun tersudut ke ruang nganga,
aku tak ingat sungguhkah gaung itu meraung
demikian agung; adakah tonggak: lingga yang menancap
tanah demikian tegap; lalu kau acungkan sahwat
: o, pahlawan, pahlawanku bertugu
tapi aku pun seasing budak belian kembali,
ketika segala temali mengikatku lagi
kutapaki jalan-jalan penuh hantu, perempatan berbatu
kulihat mercu suar membubung tinggi, berkabut
aku terpana ke pesona
: di lorong-lorong renjana
aku dipersilah dengan pantun penuh gairah:
“Tanjung Perak, kapale kobong!
Mangga pinarak, kamare kosong!”*
kau pun beringsut, seperti seorang yang mengigau
tapi aku bersorak, tanpa risau:
“inilah Surabaya, hotel tempat singgah
tapi bukan tempat berlibur, atau mengubur darah
segalanya lembur
seperti juga kapal-kapal yang berhenti lalu
berangkat, berganti-ganti
di sini, segala ranjang tak cukup dipandang
tapi dierami
silahkan merangkak, sebab segala sprei tak sengak
tak ada jerami, tak ada jejak
kecuali apak selangkang sendiri, yang kumal
ketika segala kemudi kembali ke asal
ke tujuan awal
di sini, kamar telah menjadi bujur sangkar
dan tak kenal lingkaran”
kau pun turun, menghitung kesunyian demi kesunyian
tapi biografi telah terbelah, garis-garis itu saling patah
kau dapati dirimu batu
tak berayah-beribu ---kau sangsikan jejak
-jejak panjang, segepok riwayat nan keropok
ihwal pertempuran di delta
antara ikan-buaya
lalu segalanya menjadi nama
kota, jalan, kampung, sungai, juga lorong-lorong keparat
tempat buaya darat bermunajat…
kau pun sangsikan segala sebab; kerna tak ada warta
yang lebih nyata kecuali kata-kata dusta
yang diulang ke berjuta
aku pun tersampir seperti gombal lusuh
di pinggir lenguh ---aku tak hirau pada riuh
sejarah ingatanmu
kudapati tubuhku, kurayakan tubuhku
seperti persinggahan di tengah perjalanan
yang tak mengenal kenang
kenanganku pun hilang bersama sunyi
: perempuan
yang selalu berharap diairi, di semak, di makam
di rumah-rumah yang berjajar dengan geletar
ketika kau mabuk
dan ambruk kedalaman luka tak berufuk
: silam!
kuangkat bir hitam, kuingat pada anak terkutuk
: diriku!
aku bangkit, kuangkat sauh, kulenguh langit
: “beri aku harapan untuk berlayar ke cakrawala
tanpa rasa luka oleh perih kenang dan ingat”
di seberang, kubangun kota-kota di hatiku
dengan batu-batu yang kucuri dari persinggahanku
agar aku tidak melupakanmu,
melupakan angka-angka
yang sempat kau hitung dengan deret aritmatika
yang tak kunjung kau ketahui jumlahnya
---kecuali waktu yang terus berputar
kau tetap tak tak ingin sesat di silam
dan terbenam bersama jangkar malam
: kini telah 180 derajat berputar
tak ada alasan untuk membangun sangkar
moga di milenium ini, kau tak lagi terpaku
pada paku silammu
tapi mengandangkannya di kalbu
lalu kau tulis deret rumus baru
: bahwa zaman telah berganti
hotel itu harus diperbarui, dicat dan pugar kembali
atau disucikan api…
Surabaya, 2006/9
* Di Tanjung Perak, kapal dilalap api
silahkan singgah sejenak, kamarnya tak berpenghuni
Minggu, 21 Agustus 2011
DUA KISAH CHARLES BAUDELAIRE
ORANG ASING*)
Cerpen: Charles Baudelaire
“Siapakah yang paling kaucintai, lelaki penuh teka-teki? Ayahmu, ibumu, saudarimu ataukah saudaramu?”
“Aku tak punya ayah, ibu, saudari, ataupun saudara.”
“Teman-temanmu?”
“Dan kini kaugunakan kata-kata yang tak pernah aku pahami.”
“Negerimu?”
“Aku tak tahu di garis lintang apa ia diletakkan.”
“Keindahan?”
“Aku membencinya sebagaimana kaubenci Tuhan.”
“Baiklah, lantas apa yang kaucintai, orang asing yang tak biasa?”
“Aku menyukai awan…awan yang melintas…di atas sana...di atas sana…awan yang mengagumkan!”
*) Diterjemahkan oleh Indra Tjahyadi dari The Foreigner, dalam Charles Baudelaire, Paris Spleen and La Fanfarlo, translated with introduction and notes by Raymond M. MacKenzie (Cambridge: Hackett Publishing Company Inc, 2008), hal. 5.
KEPUTUSASAAN PEREMPUAN TUA*)
Cerpen: Charles Baudelaire
Kerutan-kerutan di kulit perempuan tua mungil merasakan kegembiraan melihat bayi yang cantik yang dibicarakan banyak orang, seseorang yang ingin disenangkan oleh banyak orang; mahluk yang cantik ini serapuh dirinya, perempuan tua mungil, dan—juga seperti dirinya—tanpa gigi dan rambut.
Dan ia menghampiri bayi itu, berencana untuk membuat seutas senyum dan wajah penuh kegembiraan padanya.
Tetapi bayi yang takut itu meronta dibelaian perempuan jompo yang baik itu, dan memenuhi seluruh sudut rumah dengan dengkingannya.
Lantas perempuan tua yang baik itu berbalik pulang ke kesendiriannya yang abadi, dan ia menangis di sebuah sudut, berkata kepada dirinya sendiri”
“Ah, bagi kami perempuan-perempuan tua yang buruk, zaman-zaman menyenangkan tanpa rasa bersalah telah usai; dan yang kami bangkitkan hanyalah kengerian bagi bayi mungil yang ingin kami cintai!”
*) Diterjemahkan oleh Indra Tjahyadi dari The Old Woman’s Despair, dalam Charles Baudelaire, Paris Spleen and La Fanfarlo, translated with introduction and notes by Raymond M. MacKenzie (Cambridge: Hackett Publishing Company Inc, 2008), hal. 6.
Kamis, 19 Mei 2011
KOPLO
Cerpen: Indra Tjahyadi
Koplo, begitulah orang kampung kami biasa memanggilnya. Dia terlahir dengan nama Supeli. Emaknya, Mbok Dar, adalah seorang bekas pelacur murahan yang ketika masih dines dulu sering terkena penyakit kelamin. "Sipilis!" begitu kata Kak Muali, seorang bandar dadu yang rumahnya persis di sebelah rumahku, beberapa tahun yang lalu.
Mereka, Koplo dan emaknya, tinggal di sebuah rumah sesek, lima rumah dari rumahku. Meskipun demikian, Koplo tidak punyai bapak. Sebab, dulu ketika mengandungnya, mbok Dar, emaknya Koplo itu, masih dines. Jadi itu wajar kalau Koplo tidak punya bapak. "Lha wong segitu banyak, Bu. Siapa yang tahu," jawab Mbok Dar sekenanya ketika ditanya Bu Bidan perihal siapa ayah Koplo sebenarnya.
Bahkan yang lebih sadis lagi, ketika Koplo masih nethek, Mbok Dar masih saja tetap dines. Baru beberapa tahun kemuadian, setelah Koplo bisa merangkak, Mbok Dar pensiun dari dinesnya tersebut. Jujur saja, tak satu pun orang di kampung kami yang tahu kenapa Mbok Dar "pensiun" dari dinesnya itu. Sebagai gantinya, dia jualan rujak. Selain juga jadi tukang urut panggilan dan tukang cuci di rumah Pak RT Ngasdur.
Tak satu pun orang di kampung kami yang mau berteman dengan Koplo. Menurut orang kampung, Koplo itu gendheng. "Pernah," kata Jumari, seorang tukang becak yang biasanya tidur dalam becaknya di ujung kampung kami., dengan mimik wajah yang bersungut-sungut, "aku lihat Koplo berdiri di tengah pasar, ndak pake baju. Gendheng!"
"Sama, Ri," timpal Soleh, seorang sopir mikrolet yang rumahnya persis di depan rumahku, suatu hari ketika kami duduk-duduk di pucuk kampung, "Bahkan ketika itu, pelinya yang ndak disunat itu lho juga dibuat-buat mainan. Sampai ibu-ibu yang waktu itu belanja di pasar girab-girab. Dasar wong gendheng!"
Jujur saja, sebenarnya aku sendiri tidak tahu, Koplo itu waras atau gendheng. Sebab, menurutku, perilakunya sih biasa-biasa saja, sama seperti orang-orang kampung kami yang lainnya.
Sampai suatu malam dengan tergopoh-gopoh Koplo menghampiriku. Ketika itu aku lagi duduk-duduk sambil minum kopi di warungnya Cak Bogang. Seperti biasa kalau sudah di atas jam sebelas malam warung Cak Bogang sepi, biasanya cuma ada aku sama Cak Bogang saja, tapi malam itu Cak Bogang tidur di kursi panjang di salah satu sisi warungnya itu.
Aku sendiri tidak tahu, kenapa malam itu Koplo menghampiriku. Mimik wajahnya serius. Matanya memperlihatkan sorot yang tajam, lain dari biasanya.
"Din," katanya sambil menepuk punggungku. "Aku ingin kerja. Aku capek bikin susah emakku terus.Emakku sudah tua, Din. Kasihan kalau harus kerja terus-terusan"
Terus terang aku terkejut mendengar ucapnya. "Orang ini sebenarnya gila atau waras ya?" pikirku. Tapi, sebelum aku sempat mengeluarkan sepatah kata. Ia begitu saja pergi dari sisiku.
Semanjak malam itu aku tidak pernah bertemu lagi dengannya, bahkan orang-orang kampung kami pun tak ada satu pun yang tahu ke mana Koplo dan emaknya pergi.
Ada khabar yang beredar kalau Koplo dan emaknya itu hilang dicuri ninja. Maklum ketika itu berita tentang penculikan orang dan pembantaian orang oleh orang yang berpakaian hitam-hitam serta bertopeng mirip ninja dari Jepang sedang santer-santernya. Tapi, aku tidak percaya begitu saja. Lha Koplo itu siapa, kok pakai diculik atau digorok. Diakan bukan siapa-siapa. Cuma orang aneh.
Hingga pada suatu, ini kira-kira sekitar empat tahun kemudian, ketika aku sudah menikah, sewaktu di kios koran dekat terminal biasa aku mangkal sebagai sopir mikrolet, aku terkejut. Pada sebuah surat khabar yang biasanya menampilkan berita-berita kriminal potret Koplo terpampang dengan tubuh terkapar bersimbah darah, dan di sampingnya ada sebuah tulisan besar berwarna merah: SEORANG COPET TEWAS DITEMBAK KARENA COBA MELAWAN PETUGAS.
Senin, 16 Mei 2011
DONGENG MIGRASI ANTROPOSENTRISME NAIF
DONGENG MIGRASI ANTROPOSENTRISME NAIF
Cerpen: Indra Tjahyadi
Pada suatu malam ketika kalian membaca kumpulan sajak karya Afrizal Malna yang bertajuk Arsitektur Hujan, kalian seolah digiring masuk ke sebuah dunia. Sebuah dunia yang dipenuhi benda-benda. Kalian seakan dibuat tak pernah mampu melepaskan diri darinya. Bahkan kalian seakan dibuat bergantung padanya.
Tubuh kalian menggigil. Keringat dingin mengucur dari sekujur tubuh kalian. Deras? Ya! Membasahi sekujur tubuh kalian. Kalian ketakutan. Maka kalian tutup kumpulan sajak karya Afrizal Malna yang bertajuk Arsitektur Hujan tersebut cepat-cepat. Seolah kalian tak ingin berlama-lama terjebak dan hidup dalam dunia ciptaan Afrizal tersebut. Dunia tersebut terlampau mengerikan untuk kalian.
Hingga keesokan harinya kalian memutuskan untuk menaruh kumpulan sajak karya Afrizal tersebut di gudang rumah kalian yang berbau apek tersebut. Kalian timbun kumpulan sajak karya Afrizal tersebut dengan berbagai barang yang ada di rumah kalian. Kalian kubur benda tersebut. Kalian tak ingin bertemu lagi dengan benda tersebut. Kalian, memutuskan, untuk tak ingin lagi membacanya kapan pun. Kapan pun?
Akan tetapi, beberapa hari kemudian, di sebuah perpustakaan di kota kalian, kalian berkenalan dengan F.W. Bateson. Orangnya, menurut kalian, ramah, menarik, yang terpenting, adalah mempunyai kegemaran yang sama dengan kalian: berbicara mengenai sajak!
Pun kalian akhirnya menjadi akrab. Hari demi hari kalian lalui sambil berdiskusi tentang sajak. Pendek kata: tiada hari tanpa sajak! Akan tetai banyak orang mencemooh kalian. Memandang sinis pada kalian. Akan tetapi: “demi Tuhan, apakah ada yang salah berbicara mengenai sajak?”
Kalian tak perduli. Kalian terlanjur merasa asyik-masyuk dengan dunia kalian tersebut. Dunia yang dipenuhi oleh sajak, bukan televisi, kursi atau kamar mandi yang membuat kalian senantiasa telanjang, onani dan bergosok gigi. Kalian benar-benar merasa ada di sana.
Akan tetapi, sesuatu terjadi! Kalian harus berpisah! Kalian harus saling pindah dari kota kalian. Kalian bersedih. Akan tetapi, sebelum kalian saling berpindah ke tempat kalian yang baru, kalian masih sempat melakukan satu diskusi, untuk yang terakhir kalinya. Dan pada diskusi yang terakhir tersebut, ia berkata pada kalian: bahwa pengaruh zaman pada puisi tak dapat dilihat dari penyairnya, akan tetapi dari bahasa yang digunakannya.
Lalu, kalian pun saling berpisah. Kalian saling berpindah dari kota kalian. Dan kalian pun kembali bersendiri, hanya ditemani televisi, kursi dan kamar mandi kalian. Kalian pun memutuskan untuk pindah ke desa.
Beberapa minggu kemudian, kalian pun memutuskan untuk membersihkan rumah kalian. Mulai ruang tamu hingga gudang. Kalian melakukan packing barang-barang dan benda-benda milik kalian. Kalian pilih beberapa benda dan barang yang kira-kira akan kalian bawa pindah ke desa.
Akan tetapi, bukankah kalian ingin melepaskan diri dari barang dan benda-benda tersebut? Bukankah kalaian tak ingin bergantung pada barang dan benda-benda tersebut lagi? Maka, untuk apa kalian packing barang dan benda-benda tersebut?
Maka, kalian pun memutuskan untuk tidak membawa barang dan benda-benda tersebut. Kalian meutuskan hanya membawa barang dan benda yang perlu saja. Kalian tak ingin hidup seperti di kota kalian yang dulu. Kalian tak ingin menjadi manusia sepeti dalam dunia ciptaan Afrizal. Kalian mampu ada tanpa benda-benda dan barang tersebut. Kalian tak butuh benda dan barang-barang tersebut!
Akan tetapi kepindahan kalian ke desa tersebut ternyata tak membawa banyak perubahan dan manfaat bagi kalian. Sebab, baru saja kalian sampai pada hari ketiga masa kepindahan kalian ke desa tersebut, kalian sudah rindu dengan barang dan benda-benda. Kalian rindu televisi ketika hari menapak malam. Kalian rindu kursi ketika hari mengintip fajar. Kalian rindu cermin ketika hari melintas siang.
Memang, kerinduan tersebut dapat kalian rendam. Akan tetapi, hal tersebut hanyalah untuk beberapa hari saja. Dan ketika kalian mulai menginjak penghujung minggu kedua masa tinggal kalian di desa tersebut, kalian sudah tak mampu lagi meredamnya. Kalian pun memutuskan untuk kembali ke kota kalian. Dan hal tersebut berarti kembali hidup di tengah barang dan benda-benda.
Sebenarnya kalian malu untuk mengakui hal tersebut. Tetapi memang tak ada satu alasan pun yang sanggup membuat kalian untuk tidak mengakui hal tersebut. Maka, hari itu juga, kalian putuskan untuk kembali berkemas-kemas. Cepat-cepat? Ya! Dan ketika kalian berkemas-kemas tiba-tiba kalian mendengar suara pintu diketuk: Tok! Tok! Tok! Dan secara tidak sadar kalian pun berucap: masuk sajalah. Tidak ada siapa-siapa di sini; bahkan diri kami juga tak ada.[1]
Surabaya, 1997-2001.
--------------------------------------------------------------------------------
[1] Dari sajak Afrizal Malna yang berjudul Pulo Gadung Dari Peta 15 Menit.