Kamis, 17 April 2008

Cerpen "Tuduhan"

Para pembaca blog yang budiman,
selamat bertemu lagi dengan saya, pemandu yang anda cintai. Kali ini saya akan menayangkan sebuah cerpen karya saya sendiri yang berjudul "Tuduhan". Cerpen ini merupakan cerpen eksperiman. Rencananya cerpen ini akan dimuat di dalam sebuah kumpulan cerpen yang berjudul "Dekonstruksi, Suatu Hari...." Bersama beberapa prosais anti-cerita Surabaya, seperti Ribut Wijoto dan Muhammad Aris.
Saya kira, sebegini dulu ucapan dari saya. Selamat membaca.

TUDUHAN
Cerpen: Indra Tjahyadi*)

Alkisah, di sebuah tempat, di suatu forum, di suatu hari yang tak jauh dari masa kini seseorang pernah berhujah: “Sastra Jawa Timur adalah sastra yang tidak berkarakter!”
Saat itu, tentu saja, mereka yang merasa dirinya sastrawan Jawa Timur berbondong-bondong lekas berberondong-berondong memberikan gugatan terhadap pernyataan itu. Menurut mereka penyataan tersebut mereka tidak beralasan dan berlandaskan itu. Mereka berpendapat, pemberi pernyataan adalah seseorang tidak mengenal baik kultur Jawa Timur yang heterogen.
Tadinya saya, sebagai seseorang yang juga merasa dirinya sastrawan Jawa Timur, juga merasa tergerak untuk ikut melakukan gugatan balik atas pernyataan itu. Tapi niatan itu saya urungkan. Saya ingin memahami dulu pernyataan itu secara utuh, terutama pada kata berkarakter, meski kata tersebut acap muncul sehari-hari.
Kiranya akan lebih mudah bagi saya dalam memahami kata tersebut apabila saya mengetahui terlebih dulu arti kata tersebut. Kata berkarakter adalah kata berimbuhan. Kata ini memiliki kata dasar karakter yang dikenai prefiks ber-. Bersama me-, pe-, se-, ter-, di-, ke-, prefiks ber- adalah salah satu imbuhan yang baku dalam bahasa Indonesia. Demi mengetahui hal ini, maka saya pun mulai mencari terlebih dahulu apa arti kata karakter.
Setelah membolak-balik isi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi III (2001) ternyata kata karakter yang saya cari tidak tercantum sebagai lema. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Bukankah kata tersebut adalah kata yang terhitung akrab dalam pergaulan berbahasa kita sehari-hari?
Kesal dengan keadaan ini, selekasnya saya tutup kamus resmi bahasa Indonesia tersebut, dan beralih kepada Kamus Inggris-Indonesia (1996) yang disusun oleh Jhon M. Echols dan Hassan Shadily. Dalam kamus tersebut, kata character berarti: (1) watak, karakter, sifat; (2) peran; (3) huruf. Meski telah mendapatkan sedikit gambaran atas arti kata karakter, tapi dalam benak saya muncul pertanyaan yang lain: apakah pernyataan “sastra Jawa Timur adalah sastra yang tidak berkarakter” itu sama artinya dengan: (a) sastra Jawa Timur adalah sastra yang tidak berwatak, (b) sastra Jawa Timur adalah sastra yang tidak bersifat, (c) sastra Jawa Timur adalah sastra yang tidak berperan, dan (d) sastra Jawa Timur adalah sastra yang tidak berhuruf?
Kata watak dalam KBBI Edisi III berarti sifat batin manusia yang memengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku; budi pekerti; tabiat. Sementara kata berwatak berarti memunyai watak; berkepribadian; bertingkah laku. Jadi pernyataan “sastra Jawa Timur adalah sastra yang tidak berwatak” dapat diartikan sebagai: pertama, sastra Jawa Timur adalah sastra yang tidak memunyai watak. Dalam artian bahwa ia tidak memunyai sifat batin manusia yang memengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku.
Pertanyaannya: sebagaimana sastra pada umumnya yang merupakan hasil cipta, karsa dan rasa manusia, mungkinkah sastra Jawa Timur tidak memunyai sifat batin manusia yang memengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku, sebab bukankah sebagai hasil dari cipta, karsa dan rasa manusia, sastra Jawa Timur juga terikat dengan sifat batin manusia, dan bukankah dengan terlontarnya pernyataan tentang ihwal keberadaan itu berarti bahwa sedikit-banyak ia telah memeranguhi pikiran dan tingkah laku manusia?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kiranya, diperlukan penelitian yang mendalam dan detail terhadap sastra Jawa Timur dalam hal pengaruh-memengaruhinya. Tanpa hal itu, pernyataan yang bersifat mendiskreditkan sastra Jawa Timur tersebut akan hanya menjadi omong kosong belaka. Sebab, secara sepintas lalu saja, saya ragu apabila insan-insan sastra di negeri ini yang tidak mengenal nama-nama besar sastrawan Jawa Timur semacam Muhammad Ali, Budi Darma, D. Zawawi Imron, Beni Setia, Tjahjono Widijanto, Tjahjono Widarmanto, Mardi Luhung, ataupun Mashuri.
Arti kedua dari penyataan “sastra Jawa Timur adalah sastra yang tak berwatak” dapat dipahami sebagai bahwa sastra Jawa Timur tidak berkepribadian. Dalam KBBI Edisi III kata kepribadian berarti sifat hakiki yang tercermin pada sikap seseorang atau suatu bangsa yang membedakannya dari orang atau bangsa lain. Jadi secara luas arti kedua dari pernyataan “sastra Jawa Timur adalah sastra yang tak berwatak” dapat dipahami sebagai bahwa sastra Jawa Timur adalah sastra yang tidak memunyai sifat hakiki yang tercermin pada sikap seseorang atau suatu bangsa yang membedakannya dari orang atau bangsa lain.
Pertanyaannya: benarkah novel-novel atau cerpen-cerpen Muhammad Ali tak sedikit pun memiliki perbedaan dengan membaca novel atau cerpen-cerpennya A.A. Navis misalnya? Benarkan novel-novel atau cerpen-cerpennya Budi Darma tak sedikit pun memiliki perbedaan dengan membaca novel-novel atau cerpen-cerpennya Umar Kayam misalnya? Benarkah puisi-puisinya D. Zawawi Imron tak sedikitpun memiliki perbedaan dengan membaca puisi-puisinya Umbu Landu misalnya? Lagi-lagi pertanyaan-pertanyaan sederhana yang membutuhkan jawaban yang tidak sederhana.
Ketiga, arti dari “sastra Jawa Timur adalah sastra yang tak berwatak” adalah sastra Jawa Timur adalah sastra yang tidak bertingkah laku. Maksudnya adalah sastra Jawa Timur adalah sastra tidak memunyai kelakuan atau perangai. Dalam artian, bahwa sastra Jawa Timur adalah sastra yang tidak memiliki cara khas seseorang dalam beraksi terhadap berbagai macam fenomena.
Pertanyaannya: benarkah demikian? Apakah seorang Muhammad Ali tidak memunyai cara khas dalam beraksi terhadap berbagai macam fenomena sehingga ia dapat begitu saja dipersamakan dengan Mochtar Lubis misalnya? Apakah seorang Budi Darma tidak memunyai cara khas dalam beraksi terhadap berbagai macam fenomena sehingga ia dapat begitu saja dipersamakan dengan Kuntowijoyo misalnya? Apakah seorang D. Zawawi Imron tidak memunyai cara khas dalam beraksi terhadap berbagai macam fenomena sehingga ia dapat begitu saja dipersamakan dengan Umbu Landu misalnya? Apakah seorang Mashuri tidak memunyai cara khas dalam beraksi terhadap berbagai macam fenomena sehingga ia dapat begitu saja dipersamakan dengan Binhad Nurrohmat misalnya?
Memahami penalaran di atas, tiba-tba saya teringat dengan perkataan Remy Sylado: “Sudah jadi model Indonesia: asal gebuk, zonder nalar.” Ah, sayang sekali. Sayang sekali…

Jumat, 11 April 2008

Dari Manuskrip "Syair Pemanggul Mayat"

Para pembaca blog yang saya hormati,
selamat bertemu lagi dengan saya, pembaca acara anda yang tercinta. Kali ini saya menayangkan beberapa puisi saya yang termaktub dalam manuskrip kumpulan puisi saya yang saya beri judul "Syair Pemanggul Mayat". Manuskrip ini kelar saya susun tahun kemarin. Semoga para pembaca blog yang saya hormati suka membacanya. Akhir kata saya ucapkan: "Selamat menikmati."

MEMAJANG LANGIT

Kupajang langit. Malaikat-malaikat merintih dalam tidur
yang sepi. Bulan terbakar dan sajak lahir dari kebencian matahari.
Aku tarik segenap luka dan bau busuk orang mati.
Nafasku buruk. Bersekutu dengan iblis dan hantu malam hari.

Aku tapaki jurang-jurang kegelapan. Bumi kuubah jadi puing,
jadi ilusi kebosanan yang keji. Lumpur-lumpur melompat dan banjir
tak terbendung lagi. “O betapa khidmat kelicikan mengubah hari
jadi sungai-sungai sampah yang pesing!”
Kuseret mobil-mobil dengan dendam dan darah musim.

Bangkai-bangkai tikus memberi makan pada mimpi yang sedih.
Aku berpegang teguh pada angin. Ruhku begitu gaib menyayati iklim.
Aku maut yang bergeleparan di ranjang-ranjang! Di tanah,
hasrat yang paling jijik berlingkaran bagaikan lipan. Arwahku
menembus malam. Menjadi dosa yang menggeram di kerak Neraka.

1998.

DARI PETA KESUNYIAN WAJAHMU

Dari peta kesunyian wajahmu, lanskap cuaca
yang pecah menanam pohon kematian
di puncak diamku.

Suara-suara memanggil impresi rumah
pembakaran mayat dan tahun
tahun berbatu.

Kanopi musim begitu terjaga dan utuh,
tapi persalinan gerimis demikian
landai, membentuk semesta
dalam warna kuning kusam dari ingatan
dan kerinduan yang samun bersemu.

Aku tersepih dalam hening, dan udara
kering membeku. Di antara tiang
rumpang dan rumput kuyup kulukis taifun,
seperti anak jembalang yang membidik angin
dengan matanya yang hancur.

Aku adalah jari-jari kesia-siaan yang terpanggang
bara dan harum aroma nafasmu. Dan pada
kisaran yang dibawa kelu, berpegang
pada kabut, teguh.

Meski di sungai-sungai yang asat dan putih itu
kekal kupu-kupu telah terperangkap. Sedang
kita masih saja tak mengerti, bagaimana
seribu kunang-kunang limbur, sementara hidup
kian dihanyutkan, serupa perahu.

1999.

AKU SAKSIKAN BURUNG-BURUNG KEMATIAN
BERPENDAR DI DASAR OTAKKU

Aku saksikan burung-burung kematian berpendar di dasar otakku.
Tombak angin yang menderita menorehkan gerimis pada batu.
Seribu kali kilat rasa sakit tergila meledak dalam jantungku,
seraya menyerakkan ribuan belatung, seperti kemenawanan tahajud
daun gugur yang sarat dengan perih dan senantiasa menyeret jejakku
menuju seribu tahun.

Rupa kegelapan terkeras mengiris hitam wajahku. Anak-anak malaikat
mengubah para pejalan jadi waktu. Sesuatu tengah tumbuh
dan berdentam dalam bayanganku, seperti harapan para pembakar
yang menghuni sejarah dan seribu luka pendiamanku, yang akan senantiasa
mengubah segalanya jadi abu, seperti gairah penyair yang muram-busuk,
yang menjejalkan ribuan ular ke dalam mulutku.

Aku tenggelam dalam impian yang kuimpikan, yang memimpikan aku.
Kupu-kupu arwah mencecap kelaminku. Tangan kekar halilintar
begitu lekap membekap nafasku, perlahan pikiranku tercuri seribu niat buruk,
membangun menara geludhuk dalam warna kuning perdu, seperti tidur
sepanjang gerhana yang meniupkan hidup pada maut dan akan senantiasa
menggelantungi pucuk rentan alisku.

Kerangka musim hujan menggali kuburan pada anusku. Cuaca begitu buruk
mendirikan kuil ratusan abad dalam tubuhku. Ini adalah kegembiraan
kegembiraan yang senantiasa membangkitkan hantu-hantu dalam nafsuku,
seribu kali menorehkan amis darah pada jidatku, seperti narasi suram yang kekal:
pulau para pecinta yang tak lagi berpenghuni selain pemabuk.

1998-2000.

ORNAMEN PATAH
buat Dorothea

Dan perasaan yang mengeras dengan pohon
pohon tak bersalju telah mengapungkan
seluruh kesendirianku.

Hingga kenangan masa kanakku menggumpal,
menjelma kata-kata yang lebih muram
ketimbang mayatku.

Meski dari tatapan patung-patung yang tumbuh
dalam matamu, kita telah melihat burung
burung berlayar, seperti perahu,
dengan bayang-bayang hitam yang menancap
di ulu tidurku, serupa Nuh atau tahajud batu-batu.

Bahkan ketika sosok keparauan menajam seperti gemuruh
(tapi masih percayakah kau pada peta, peta yang ditulis
dalam kabut?).

1999-2000.