Kamis, 13 Maret 2008

Berita Kompas Pustakaloka

Pemirsa blog yang budiman,
kali ini saya menayangkan sebuah tulisan yang dari harian Kompas, Senin, 10 Maret 2008.
Selamat menikmati.

Ketika Penyair Mencari Ruang


PALUPI PANCA ASTUTI / Kompas Images
Para penyair yang memiliki blog pribadi. Dari kiri, Mashuri, Indra Tjahyadi, dan F Aziz Manna (memakai topi).
Senin, 10 Maret 2008 | 02:29 WIB

Oleh PALUPI PANCA ASTUTI

Hidup sebagai penyair bukanlah profesi menarik atau menjadi pilihan bagi sebagian besar masyarakat di Indonesia. Sulitnya menerbitkan buku-buku khusus berisi puisi atau syair-syair sastra di industri perbukuan Tanah Air menjadi salah satu sebab eksistensi penyair sukar mengakar di masyarakat.

Minat pasar yang minim terhadap karya-karya sejenis menjadi alasan klasik penerbit dalam negeri untuk tidak mencetak secara khusus buku-buku puisi. Akibatnya, ruang berekspresi menjadi terbatas. Panggung pertunjukan pun menganaktirikan pentas-pentas pembacaan puisi dan lebih mengutamakan konser musik atau pergelaran seni lainnya.

Maka, alternatif ruang untuk memanifestasikan kemahiran menggelitik kata-kata dalam bentuk sajak atau deklamasi oleh para pujangga pun semakin sempit. Pencarian ruang alternatif ini kemudian menemukan tempatnya ketika teknologi informasi dan komunikasi semakin berkembang di periode tahun 2000-an.

Dan, blog adalah ruang alternatif itu. Blog adalah situs web pribadi yang dapat dimiliki setiap orang dengan mengakses internet. Blog menjadi media personal setiap orang yang menulis dan ingin tulisannya tersebut tersebar luas. Kemampuan internet dengan blog-nya telah menghilangkan dinding dan jarak antarpenulis di dunia maya. Bahkan, ruang bebas ini mampu menghapus aturan sepihak yang biasa ditetapkan penerbit buku, seperti pembatasan jumlah kata, pengeditan yang tidak sesuai, hingga sudut pandang berbeda yang ingin ditonjolkan antara penerbit dan pengarang.

Blog kini tak hanya dilirik oleh mereka yang sekadar ingin menuliskan perasaan sehari-hari seperti fungsi buku harian, bukan hanya untuk menginformasikan hal-hal yang bersifat pengetahuan. Tetapi blog juga adalah ruang ekspresi para novelis, esais, maupun penyair yang ingin karya-karyanya dikenal kalangan masyarakat luas. Blog sekaligus menjadi jembatan komunikasi antarsastrawan maupun pembaca.

Jurnalistik

Hal itulah yang menjadi dasar bagi Mashuri, penyair asal Jawa Timur, untuk membuat blog berisi karya-karya pribadi pria yang juga menggeluti dunia jurnalistik ini. ”Blog pribadi yang saya buat terutama bertujuan sebagai media komunikasi di komunitas sastra, khususnya komunitas sastra Jawa Timur. Alasannya, saat ini semakin sedikit waktu kami miliki untuk sekadar bertemu atau berdiskusi,” katanya.

Mashuri yang memiliki beberapa blog namun hanya mampu memelihara satu saja menambahkan, blog bagi penyair muda seperti dirinya bermanfaat sebagai ruang alternatif berekspresi. Terlebih, saat ini penerbitan karya sastra dalam bentuk cetak bagi pengarang yang belum dikenal sangat sulit. Maka, blog adalah wadah paling tepat untuk menampilkan kreasi-kreasi mereka. ”Sayangnya, akses internet masih menjadi sesuatu yang langka di masyarakat,” sesal pria pemilik blog mashurii.blogspot.com ini.

Sementara F Aziz Manna merasakan sulitnya bertemu dengan teman-teman sesama penulis atau penyair sejak mereka memiliki kegiatan atau pekerjaan rutin lain. Kegiatan berdiskusi dan berbagi pengalaman seputar perkembangan dunia sastra menjadi aktivitas yang semakin jarang dilakukan. ”Padahal, dari diskusi dan sharing itu kami biasanya mendapat ide untuk menulis atau berkarya,” jelas pegiat sastra yang kini bekerja di salah satu surat kabar di Surabaya ini.

Jika frekuensi berdiskusi, yang dikatakan Aziz sebagai ajang ”mencela” karya sesama, semakin berkurang, dikhawatirkan semangat berkreasi pun semakin menurun. Maka, ketika teknologi memudahkan cara berkomunikasi melalui media blog, kekhawatiran itu pun diminimalisasi. ”Blog adalah sarana komunikasi yang paling pas buat kami di komunitas sastra yang masih membutuhkan diskusi, meski di dunia maya,” lanjut Aziz. Pertemuan secara fisik memang kadang masih dilakukan Aziz maupun Mashuri dan teman-teman, tetapi sangat jarang.

Kesamaan tujuan menjadi indikator adanya kebutuhan yang sama ketika para penyair memutuskan untuk membuat blog. Dalam hal ini kebutuhan untuk selalu berhubungan, berkomunikasi, berdiskusi, berimajinasi bersama, hingga mungkin ”gila” bersama. Tak jarang karya-karya sastra hebat lahir dari kegiatan ngalor- ngidul bersama ini. Dan, ketika kondisi dan perkembangan hidup memaksa mereka untuk jarang bertemu muka, membuat blog adalah jalan keluarnya. Pertemuan ide menjadi fokus terpenting ketimbang pertemuan fisik. ”Kami butuh ruang untuk mengomunikasikan sekaligus mengekspresikan karya-karya kami. Dan blog adalah ruang yang tepat,” ujarnya lagi.

Ruang alternatif yang ditemukan penyair melalui blog telah memberikan kesempatan cukup luas bagi mereka untuk terus berkarya sambil membagi hasil kerja kreatif itu ke seluruh peminat sastra di pelosok negeri. Lalu, apakah langkah itu akan semakin menghambat perluasan produk kesusastraan mereka melalui wadah konvensional berupa buku cetak maupun pentas-pentas panggung sastra? Baik Mashuri maupun Aziz tidak meyakini hal itu akan terjadi.

Membantu penulis

Bagi Indra Tjahyadi, penyair muda yang juga pengajar di Fakultas Sastra dan Filsafat Universitas Panca Marga, Probolinggo, blog justru sangat membantu para penulis untuk menerbitkan karya-karya mereka secara bebas. ”Blog tidak mengenal ketentuan-ketentuan khusus yang biasa diberlakukan para penerbit buku atau surat kabar kepada penulis yang ingin karyanya dipublikasikan. Apa pun yang ingin kita tulis, blog memberi ruang itu tanpa batas,” ujarnya.

Namun, Indra justru menyayangkan opini masyarakat secara umum yang berpendapat bahwa penulis maupun pe- nyair yang memprasastikan karyanya melalui blog bukanlah sastrawan yang sesungguhnya. Cara publikasi karya sastra melalui media cetak, baik buku, koran, maupun majalah, tetap menjadi ukuran utama seseorang dianggap sastrawan atau bukan. ”Menurut saya, pandangan itu tidak cocok di masa teknologi informasi dan komunikasi seperti sekarang,” lanjut Indra.

Dan, itulah arti blog buat para penyair. Menurut mereka, setiap wadah tetap memiliki kekurangan dan kelebihan. ”Blog memang menjamin akses yang lebih luas, namun sistem filter yang dimilikinya sangat rapuh, bahkan cenderung tidak ada,” kata Aziz.

Sementara Indra Tjahyadi justru menyukai kebebasan yang ditawarkan blog. Sedangkan Mashuri memilih untuk tidak menuangkan seluruh karya di blog-nya.

Bagaimanapun, blog merupakan tawaran menarik bagi siapa pun yang gemar menulis dan ingin mengembangkan dirinya di sebuah ruang yang maha luas namun tetap berbatas, bukan begitu? (PALUPI PANCA ASTUTI/ Litbang Kompas)

Puisi-puisi Kriapur


KRIAPUR (1959-1987)

Para pemirsa blog yang budiman,
Selamat berjumpa lagi dengan saya, pemandu blog kesayangan anda. Kali ini saya akan menayangkan tiga buah puisi karya Kriapur, seorang penyair Indonesia kelahiran Solo, 6 Agustus 1959. Penyair yang sangat berbakat ini meninggal dalam usia relatif muda, 28 tahun. Ia tewas dalam sebuah kecelakaan lalu lintas di daerah Batang, 17 Februari 1987.

Bagi Kriapur, yang bernama asli Kristianto Agus Purnomo, seorang penyair adalah seorang yang: mengembara di tengah hutan perlambang yang dihuni oleh kata-kata yang dinamainya dunia supernatural, dimana bahasa telah menjilma bangunan transendental yang megah dan mempesona. Logikanya merupakan logika yang akrobatik dan patah-patah karena logika semacam itu merupakan logika transparan tapi justru memberikan kemungkinan-kemungkinan baru yang tak terduga (1988, 12)

Tanpa banyak cingcong, bacot, dan omong lagi, langsung saja saya persembahkan tiga buah puisi karya Kriapur yang saya ambil dari bukunya Mengenang Kriapur (1959-1987) yang diterbitkan oleh Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1988.

Akhir kata: “Selamat Menikmati!”

Puisi Kriapur

KUPAHAT MAYATKU DI AIR

kupahat mayatku di air
namaku mengalir
pada batu dasar kali kuberi wajahku
pucat dan beku

di mana-mana ada tanah
ada darah
mataku berjalan di tengah-tengah
mencari mayatku sendiri
yang mengalir
namaku sampai di pantai
ombak membawa namaku
laut menyimpan namaku
semua ada di air

Solo, 1981

AKU INGIN MENJADI BATU DI DASAR KALI

Aku ingin menjadi batu di dasar kali
Bebas dari pukulan angin dan keruntuhan
Sementara biar orang-orang bersibuk diri
Dalam desau rumput dan pohonan

Jangan aku memandang keluasan langit tiada tara
seperti padang-padang tengadah
Atau gunung-gunung menjulang
Tapi aku ingin menjadi sekedar bagian
dari kediaman

Aku sudah tak tahan lagi melihat burung-burung pindahan
Yang kau bunuh dengan keangkuhanmu —yang mati terkapar
Di sangkar-sangkar putih waktu
O, aku ingin jadi batu di dasar kali

1982

NATAL BAGI MUSUH-MUSUHKU

aku tak mampu membeli daun-daun
ini fajar dengan bangunan dari air biru
membebaskan ketaklukan diriku
dan mereka yang terus mencari kematianku
kuterima dengan doa
dan bukan lagi musuhku

Solo, 1986