Kamis, 24 Januari 2008

Puisi-puisi Indra Tjahyadi


AKU DAN EKSPEDISI WAKTU

Pemirsa blog yang budiman,
Kali ini saya menayangkan tiga puisi saya yang termuat dalam buku kumpulan puisi tunggal saya yang pertama Ekspedisi Waktu. Buku ini diterbitkan pertama kali oleh penerbit Atlas Publishing, pada bulan Desember, 2004. Buku ini memuat 73 puisi yang saya ciptakan dalam rentang tahun 1995 sampai dengan tahun 2004. Dalam buku ini dieditori oleh Sdr. Manaek Sinaga dan diberi pengantar oleh Dr JJ Kusni, serta diberi catatan proses kreatif oleh saya sendiri.
Semoga penayangan ini dapat memberikan manfaat bagi sekalian para pemirsa blog yang budiman. Kiranya sebegini dulu hantaran dari saya. akhir kata saya ucapkan selamat menikmati.

SETELAH MENGANTARMU

setelah mengantarmu
malam terasa begitu mencekam
detik-detik yang bergerak di dalamnya
pun terasa ikut menakutkan

dua-tiga orang berjaga-jaga
dengan perasaan curiga
membangun percakapan dengan teror
teror dan isu-isu yang dipenuhi anarkisme

ada sejumput jantung
yang berderakan, di situ

melayang-layang
dalam sergapan ngeri


tapi, sebuah kabar datang lagi
seperti membuat barisan polisi
yang berdiri di depan plaza

melahirkan peradaban
sambil menggeledah
tubuh manusia

1997.

DI SEBUAH KAFE

Di sebuah kafe yang senyap kulihat tubuhmu.
Di dinding, bayang-bayang kita yang ragu membeku.
Tapi, betapakah aku tak pernah tahu manakah yang retak
terlebih dahulu: dinding itu atau bayang-bayang kita yang
kelabu. Bahkan ketika seorang pelayan datang dan aku
biarkan sosokmu berlalu, sementara di jalanan awan perlahan
berubah mendung.

1998.

IMAJISME XII
: buat Y.A.

Kunang-kunang dan aku
menyusuri jalan-jalan
yang membentuk lingkaran
di matamu.

Tanah-tanah
mencercap seratus kisah perjalanan
dan batu-batu.

Burung-burung
berlepasan dari taufan
dan tahun-tahun
berkabut.

Segala noda hitam
menancap
di dasar
jantungku:
rasa sakit
tergila
atau ajal
yang senantiasa
memekik
dalam goa
kelam
kalbuku.

Tetapi,
demikianlah,
keperihan,
kesunyian,
keindahan,
kerinduan
dalam ingatan-ingatan
yang menafikan
gemuruh.

Seperti bau-bau
geludhuk:
keletihan
dari seorang pemabuk
yang merasa melihat bulan
sepanjang mendung.

1999-2000.

Selasa, 22 Januari 2008

Puisi-puisi Iwan Simatupang


IWAN SIMATUPANG (1928 – 1970)

Pemirsa blog yang budiman,
Selamat bertemu lagi dengan saya. Pada episode kali ini saya akan menayangkan tiga buah sajak dari Iwan Simatupang, seorang sastrawan besar Indonesia yang dilahirkan di Sibolga, Sumatera Utara, pada tanggal 18 Januari 1928, dan meninggal pada 4 Agustus 1970, yang masing-masing berjudul Requiem, Potret, dan Ziarah Malam, yang kesemuanya saya ambil dari buku kumpulan puisi Iwan Simatupang yang berjudul Ziarah Malam (Grasindo, 1993).
Sajak Requiem menarik bagi saya bukan hanya disebabkan sajak tersebut diciptakan di Surabaya, sebuah kota yang saya cintai, tetapi juga karena sajak tersebut memunyai kekuatan puitik yang kuat. Membaca sajak tersebut saya seakan dihadapkan pada khazanah puisi epik, yang saat ini semakin tidak saya temui. Sementara sajak Potret dan Ziarah Malam saya pilih untuk ditayangkan karena kedua sajak tersebut memiliki napas-cerita yang baik dan kuat, meskipun dikemas dalam bentuk puisi. Dan herannya lagi, meski naratif, ternyata kedua puisi tersebut tidak kekurangan kekuatan puitik.
Untuk menjawab mengapa napas-cerita terasa begitu kuat dan kentara pada sajak-sajak Iwan Simatupang, kiranya perkataan Dami N. Toda dalam Catatan Penutup untuk buku kumpulan puisi tersebut sungguh sangat pantas, yakni: (bahwa) tarikan dan tiupan napas-cerita dalam penciptaan puisi (yang naratif), memang wajar saja, karena puisi itu juga kisahan rasa manusia liris yang dapat dijabar dari suatu bingkai atau mengarah justru kepada membentuk bingkai (kisah), tetapi bagi Iwan rupanya peristiwa kreatif model begitu merupakan gejala yang mendesak-desak dari alam bawah-sadar panggilan naratif untuk menulis kisah/ drama/ novel sebagai dunia utamanya. (1993: 46)
Memang benar adanya, Iwan Simatupang lebih dikenal sebagai novel, cerpenis, penulis naskah darama, ataupun esais ketimbang sebagai penyair sebab Sebagai penyair, namanya jarang disebut-sebut atau dibicarakan secara khusus oleh para peminat dan kritikus sastra. Ini beralasan jika kita ingat bahwa hingga akhir hayatnya Iwan tidak memiliki kumpulan sajak.” (1993: v)
Ah, betapa ironisnya. Hanya karena tidak memiliki buku kumpulan puisi, orang sekaliber Iwan Simatupang jarang dibicarakan dalam khazanah perpuisian Indonesia. Ini menimbulkan kecurigaan, jangan-jangan banyak penyair-penyair Indonesia yang sebenarnya berkualitas bagus, hanya karena tidak memiliki buku, ia jadi jarang, atau bahkan tak pernah, dibicarakan.
Maka tanpa banyak omong lagi, saya persembahkan tiga buah sajak karya Iwan Simatupang. Selamat menikmati.

REQUIEM
mengenang manusia perang I.H. Simandjuntak:
Let., bunuh diri!

Aku tiada dapat katakan
apakah pergimu pada fajar atau senja
aku hanya tahu
kau pergi berlangit merah mencerah

Sejak kau pergi, prajurit-kematian,
kami berkesulitan menghalau gagak-gagak
ingin berhinggapan di lembah kami
dan berseru seharian dalam suatu lagu
yang bikin kami pada bergelisahan

Langit kami kini bertambah mendung
bukan oleh arakan mega yang bawa rintik-rintik
tapi oleh kawanan gagak
yang kian tutupi celah-celah terakhir
dari kebiruan langit jernih
dan kecuacaan mentari

Kawan
kami kini memikirkan
pengerahan gadis-gadis dan orang tua kami
untuk menghunus segala tombak dan keris hiasan
yang berpacakan di dinding ruang-ruang tamu kami
sebab
sejak kau pergi
pemuda-pemuda gembala dan petani kami
berlomba-lomba meninggalkan lembah
dan pergi lari ke kota
jadi penunggu taman-taman pahlawan
atau pembongkar mayat-mayat

Saksikanlah
di sini ada tantangan dari suatu kemuraman
yang ingin pudarkan segala irama dan kehijauan
dengar di sini ada kesediaan dari nafas demi nafas
yang ingin pertahankan keluasaan jantung berdetak
dalam deretan detik demi detik

Tidak kawan
kami tiada akan mencari pelarian kami
ke dunia tempat mantera berserakan
walau kami tahu
bahwa mantera ditakuti gagak-gagak
dan akan buat langit kami
kembali cerlang

Kami benci mantera-mantera
kami benci semua yang bukan datang
dari kelenjar dan darah kami
sebab kamu tahu
kekuatan yang dalam tanggapan
adalah jua kelemahan

Tidak kawan
kami akan tantang pertarungan ini
tanpa sikap dan gita kepahlawanan
sebab kami tahu
pahlawan berkehunian
bukan di bumi ini.

Kami tiada berani ramalkan
kesudahan dari pertarungan ini
kebenaran bukan lagi dalam
ramal, tenung ataupun renung

Tapi
andaikata lembah kami
menjadi lembah dari gagak-gagak
dan belulang kami mereka jadikan
bagian dari sarang-sarang mereka
ketahuilah
di sini telah rebah
manusia-manusia yang tiada akan
memikul tanda-tanda tanya lagi

Tapi
andaikata gagak dapat kami tiwaskan satu demi satu
dan haruman langit dapat kami hirup dengan luasa kembali
o, kegembiraan kami tiada akan kami unjukkan
dengan sesaat pun jatuh bertiarap di puncak bukit-bukit kami
sambil menatap kerinduan ke udara kosong
dan membacakan mantera-mantera …

Pun tiada akan kami kutuki
pemuda-pemuda kami yang lari ke kota
mencari kegemuruhan dalam menunggu kelengangan
sebab
kami mengibai semua mereka
yang tiada tahu dengan diri
pada kesampaian di tiap perbatasan

Inilah langkah pertama kami
kepengijakan suatu bumi baru
di mana kami bukan lagi tapal
dari kelampauan dan keakanan
tapi
kamilah kelampauan dan keakanan!

Inilah tarikan-nafas kami yang pertama
dalam penghirupan udara di suatu jagat baru
di mana nilai-nilai ketakberhingaan
bukan lagi terletak dalam
ramal, tenung ataupun renung
tapi:
dalam kesegaran dan keserta-mertaan!

Aku tiada dapat katakan
apakah pergimu fajar atau senja
aku hanya tahu
kau pergi berlangit merah mencerah,
pahlawan!

Surabaya, 29 Januari 1953

POTRET

Di sudut kamat seorang dara
Tergantung potret serdadu senyum:
‘Tunggu! Sepulangku, bahtera kita kayuh!
Di atasnya salib: Pahlawan kasih yang
Belum jua pulang.

Kini dara sudah lama tak menunggu lagi.
Langkah-langkah pelan, yang biasa datang
Menjelang tengah malam dari kebun belakang
Bawa cium dan kembang—
Takkan lagi kunjung datang.

Di sudut kamar seorang dara
Tergantung potret serdadu senyum:
‘Jangan tunggu! Aku bangkai dalam bingkai!
Di atasnya salib: Pahlawan kasih yang
Masih jua belum pelung

Kini dara sudah lama dalam biara.

ZIARAH MALAM

Tahun lalu ia lari tinggalkan biara
Kerna tak tahu tempatkan kasih
Pada Tuhan atau padri muda
Yang masuk biara kerna ingin tobat
Dari dosa: memperkosa ibu tirinya

Bulan lalu ia diangkut ke sanatorium
Kerna tak tahu apa lagi akan dikasihinya
Setelah Tuhan dan padri muda ia tinggalkan
Dan kasih yang membara di buah dadanya
Akhirnya mengapung ke paru-parunya

Siang tadi ia dikubur kemari
Kerna lewat tahu, bahwa kasih
Yang pulang dari Tuhan, daging dan kelengangan
Hanya akan berterima lagi oleh
Tepi pertemuan kembola dan langit malam

Dan di bimbang bintang Tuhan masih Maha Pengasih

Senin, 14 Januari 2008

Puisi-puisi Subagio Sastrowardoyo


SUBAGIO SASTPWARDOYO (1924 - 1995)

Pengantar

Subagio Sastrowardoyo, sebuah nama paten dus beken dalam perpuisian Indonesia. Sulit sekali bagi saya untuk menghindar dari nama tersebut tiap kali berbicara tentang dunia perpuisian Indonesia, meski setelah beliau wafat pada 18 juli 1995, beratus-ratus (atau bahkan beriba-ribu) penyair bermunculan, tetapi nama tersebut terus saja menghantui benak saya.

Subagio Sastrowardoyo, lahir di Madiun, 1 Februari 1924. Selain sebagai seorang penyair, ia juga dikenal sebagai seorang kritikus sastra, esais handal, bahkan cerpenis yang mumpuni. Maka, hemat saya, sudah sepantasnya kita menaruh hormat atasnya.

Kali ini, dalam blog yang cukup sederhana ini, saya akan menayangkan 2 puisi karya Subagio Sastrowardoyo yang keduanya saya comot dari buku puisi Dan Kematian Makin Akrab (Grasindo, 1995). Buku puisi ini memuat 100 puisi Subagio Sastrowardoyo. Kiranya, akan sangat merugi apabila seorang pecinta atau penyuka puisi melewatkan buku ini.

Dua buah puisi Subagio Sastrowardoyo yang saya tayangkan kali kebetulan memiliki judul yang sama Tamu. Saya sendiri tidak tahu terjadinya penjudulan yang sama atas 2 puisi yang berbeda ini dilakukan oleh penyairnya secara sengaja atau tidak. Tetapi, jujur saja, sebenarnya saya tak terlampau peduli dengan hal itu. Sebab, toh kedua puisi dengan judul yang sama tersebut tetap memiliki kekuatan dan keasyikan masing-masing.

Selamat menikmati!

Puisi-puisi Subagio Sastrowardoyo

TAMU

masih ada yang mau singgah
di pondok tua — kesan sesal
gamit rindu, gores duka
biar terbuka pintu muka
buat tamu tak terduga
siapa akan mengajak berbicara —
rumput, batu, matahari
arti kabur di pudar hari
di bawah jenjang berdiri bayang
di tangan pisau belati
tiba ia menoleh memperhati

TAMU

Lelaki yang mengetuk pintu pagi hari
sudah duduk di ruang tamu. Aku baru
bangun. Tapi rupanya ia tidak
merasa tersinggung waktu aku belum
mandi dan menemui dia. Rambutku masih
kusut dan pakaianku hanya baju kumal
dan sarung lusuh.
“Aku mau menjemput,” katanya pasti,
seolah-olah aku sudah berjanji sebelumnya
dan tahu apa rencananya.
“Bukankah ini terlalu pagi?” tanyaku ragu.
“Dia sudah menunggu!” Ia nampak tak sabar
dan tak senang dibantah. Aku belum tahu
siapa yang ia maksudkan dengan “dia”,
tetapi sudah bisa kuduga siapa.
“Tetapi aku perlu waktu untuk berpisah
dengan keluarga. Terlalu kejam untuk
meninggalkan mereka begitu saja. Mereka
akan mencari.”
Nampaknya tamu itu begitu angkuh seperti
tak mau dikecilkan arti. Siapa dapat lolos
dari tuntutannya.
Sebelum aku sempat berbenah diri ia telah
menyeret aku ke kendaraannya dan aku dibawanya
lari entah ke mana. ke sorga atau ke neraka?”

Rabu, 09 Januari 2008

Puisi-puisi Toeti Heraty


Toeti Heraty: Perempuan Penyair Itu

Pengantar

Meskipun saat ini telah banyak bermunculan perempuan-perempuan penyair dalam lapangan kesusastraan kita, akan tetapi sangatlah sulit bagi saya untuk tidak menyebutkankan nama Toeti Heraty, seorang penyair perempuan kelahiran Bandung, 27 November 1933, tiap kali ada yang bertanya pada saya siapa perempuan penyair yang paling saya sukai. Bahkan tatkala ada seorang kawan bertanya pada saya siapa saja penyair Indonesia yang saya sukai karyanya, saya masih saja tak mampu menahan mulut dan lidah saya untuk menyebutkan nama Toeti Heraty.

Saban berjumpa dengan sajak-sajak Toeti Heraty saya seakan sedang berhadapan dengan seorang perempuan sederhana yang sekaligus misterius dan kompleks, yang begitu menyebalkan sekaligus menarik, yang jujur sekaligus tegas, dengan cara bercakap yang cerdas tapi tetap menyembulkan kecantikan. Pendeknya sajak-sajak Toeti Heraty adalah sajak-sajak yang khas. Dalam artian, sajak-sajaknya adalah sajak-sajak yang mampu berdiri di luar arus, yang senantiasa berhasil menjadi dirinya sendiri. Maka tak salah kiranya andaikata Prof. Dr. Budi Darma dalam pengantarnya untuk buku kumpulan sajak Toeti Heraty Notslagi = Transendensi (1995) sampai berakata: “Sebagai penyair dia merupakan sosok tersendiri.”
Dalam memberikan pujian terhadap Toeti Heraty dan sajak-sajaknya, Prof Dr. Budi Darma tidaklah sendiri. Sebutlah nama-nama besar semacam Subagio Sastrowardoyo, Harry Aveling, ataupun A. Teeuw adalah nama-nama besar dalam lapangan kritik sastra Indonesia yang juga pernah memuji Toety Heraty dan sajak-sajak ciptaannya setinggi langit.
Atas pertimbangan inilah, meski belum mendapatkan ijin penyairnya (untuk ini saya mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya pada Ibu Toeti Heraty sebab telah menayangkan sajak-sajaknya tanpa meminta ijin terlebih dulu), kiranya, ada baik buat saya untuk menayangkan beberapa sajak Toeti Heraty yang terkumpul dalam bukunya Nostalgi = Transendensi (Grasindo, 1995) dalam blog saya ini. Dengan harapan penayangan sajak-sajak tersebut dapat semakin menyadarkan kita akan tradisi puisi yang telah kita miliki sekalian dapat menjadi pemacu perkembangan dunia perpuisian Indonesia saat ini ataupun kelak di kemudian hari.
Selamat menikmati. Semoga bermanfaat.

Sajak-sajak Toeti Heraty

NOSTALGI = TRANSENDENSI

Nostalgi sama dengan transendensi
betul, ini permainan kata
lagi-lagi kata asing
tapi apa sih yang tidak asing
tapi itu hanya ilusi
kembali pada nostalgi
berarti kehilangan
yang dulu-dulu dibayangkan
hanya tidak mencekam lagi, karena
lembut dengan ironi

saat kini yang berkilas balik
siapa tahu nanti …
kini — dulu — nanti, teratasi
bukankah itu transendensi?

POST SCRIPTUM

Ingin aku tulis
sajak porno sehingga
kata mentah tidak diubah
jadi indah, pokoknya
tidak perlu kiasan lagi
misalnya payudara jadi bukit,
tubuh wanita = alam hangat
senggama = pelukan yang paling akrab

yang sudah jelas
tulis sajak itu
antara menyingkap dan sembunyi
antara munafik dan jatidiri.

CINTAKU TIGA

cintaku tiga, secara kanak-kanak
menghitung jari
kusebut satu per satu kini
yang pertama serius dan dalam hatinya
tidak terduga
bertahun-tahun ku jadi idaman
mesraku membuat pandangannya sayu mungkin
ia merasa iba padaku
ingin aku membenam diri, melebur
dalam mesra rayu, iba dan sayu
pandangnya yang begitu sepi, tapi
ia paling mudah untuk dikelabui—

yang lain, berfilsafat ringan dan kesabaran
tak pernah kulepas ia dari pandangan
petuah orang, — lidah tak bertulan —
tak kupedulikan karena ia
kata-katanya tepat untuk setiap peristiwa
sesudah akhirnya mengecap bibirnya
ia tinggalkan aku dan sesudah itu?
ah, biasa saja, tak ada sesuatu terjadi
memang ia tidak begitu peduli —

pelu pula kusebut yang ketiga, bukannya
lebih baik dirahasiakan saja, karena
ia datang hanya malam hari, engsel pintu pun
telah diminyaki
suaranya tegang, berat, menghe;a
ke sorga tirai-ranjang
pandang pesona tajam memaksa, akhirnya
menghitung hari setiap bulan

meskipun itu urusan nanti
ketiga cinta yang aku miliki
kapan kujumpai pada satu orang?

ELEGI II

1

dengan Sryani, dari A sampai Z
Asrul dan Zaini, 1967

kau gelisah sayang —, katakan itu cinta
tampaknya malam akan menyingkirkan awan
tetapi pucuk-pucuk mendung
memercikkan getar

pohon tegak-tegak
rumput semak dan riuh kota telah lelap
bersembunyi dalam satu nada sunyi
menunggu adalah pembunuan lambat
yang sedang berlalu
dan semangat hidup hilang melewati
lobang-lobang dalam kelam

kau gelisah sayang —, katakan itu cinta
kau membuang muka tak mau melihat
bulan dilingkari sepi

sepi dan detak jantung dua-duanya menjadi
degup lambat dan semakin berat
menunggu taufan selesai.

2

katakan itu cinta
yang kehilangan mimpi dan sisa-sisa
diulur dari hari ke hari
dalam satu dunia
kelabu —, katakan itu cinta
yang kehilangan mimpi, tapi
apa yang hendak dikata bila
tiba-tiba perahu berderet menyisih
bergulung layar
dan mimpi dibawa gelombang kembali
terdampar

bukankah kita undur setapak karenanya
dan kelip-kelip pelita malam adalah mata
berkedip bertahan
mengimgkari kekalahan

3

karena kupu-kupu yang hinggap —
kelepar kuning membuat semakin pekat
sejuk hijau, yang menjadikan
bayangan cinta semakin mesra
di antara semak kuncup yang merah
hampir-hampir merapat ke tanah
tapi nyala kelopak sempat
menjadikan bayangan cinta
lebih mesra
dan tangan-tangan cemara yang mengusap langit
lebih asyik mengagumi lambaian
satu pohon palma
jadikan bayangan cinta lebih mesra

waspadalah, waspadalah karena cinta.

4

suatu saat
bulan akan cemerlang kembali
ia cemerlang sekali

ah, bulan —,
dilingkari sepi lebih cemerlang
dari semula, ia kembali
ia kembali

bulan dan cemerlang
membakar kerat-merat dendam dan
usapan-usapan yang meredam, hilangnya
mantra sakti yang mendendangkan
lagu tidur yang membuai

waspadalah terhadap cinta —
bulan, bulan telah kembali.

PENYESALAN

mengapa justru malam itu
kau datang padaku?

dalam mimpi lembayung bugenvil
dan bayangan berhadapan, tiba-tiba nyata:
lelaki mencium gadis jangkung
mengecup jari tangannya

berdua kita tegak
salah seorang berpaling muka
engkau atau aku? mengapa?

SEKALI-SEKALI

untuk P.H.

setelah tiga hari bercinta, sudah kuduga
kata-kata tegas terang
tak akan menjelaskan
oasis di tengah padang
dan bahwa hidup dijelajahi dalam-dalam
sehingga mereka enggan kembali

dari dunia, dibatasi oleh tirai
bulu mata berkedip dan lingkar cahaya
yang tak lebih
hanya boleh menerangi bagian pipi
kesegaran mata air, kepenuhan
madu hangat-tungku
tiada lain adalah kecupanmu

siapa dia, siapa aku bila kulit
pemisah dengan ruang menghantu
hanya jadi lembab selubung karena
belai merah lembayung
mendekap muka pada dada
membenam dalam bayangan sana sini
tersingkap rahasia dan gelap

lalu terdiam temukan kata-kata kembali
terucap, tanpa ujung pangkal
sebelum lingkungan mengambil wujud lagi
betapa kejam
perpisahan setelah sama-sama mendiami
liang semesta penuh ilham
dan saingan pertanyaan:
bila bertemu kembali?
akan seperti ini?
jadi kesenyapan tanya-jawab, saat akrab
yang telah lenyap hanya didambakan
samar-samar nanti:
bunga berkelopak hitam
berkembang mendadak dalam gelap
untung, tak ada yang menyaksikan

April ‘69

Minggu, 06 Januari 2008

KECEWA

Ketika lagi asyik-asyiknya nonton sebuah sinetron remaja yang ditayangkan oleh sebuah stasiun televisi swasta di televisi, seorang keponakan yang masih bersekolah di sekolah dasar tiba-tiba bertanya kepada mamanya: “Ma, apa sih artinya kecewa itu?”
“Kecewa itu artinya ya sedih,” jawab si mama sekenanya.
Mendengar jawaban dari si mama, saya yang kebetulan duduk tak jauh dari mereka sontak mengernyitkan dahi.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (2001) kata kecewa memiliki 3 arti. Pertama, kecil hati; tidak puas (karena tidak terkabul keinginannya, harapannya, dsb); tidak senang. Kedua, cacat; cela. Dan ketiga, gagal (tidak berhasil) dalam usahanya, dsb. Sementara untuk kata sedih KBBI memberi 2 arti. Pertama, merasa sangat pilu di hati; susah hati. Dan Kedua adalah menimbulkan rasa susah (pilu, sdb) dalam hati; duka. Pertanyaannya apakah antara kata kecewa dan sedih memiliki kesamaan arti?
Ada baiknya kita sama-sama melihat contoh kalimat di bawah ini:
Kami kecewa dengan penyambutannya yang dingin.
Kami sedih dengan penyambutannya yang dingin.
Sepintas lalu kedua contoh kalimat tersebut memiliki arti yang sama, tapi apabila kita teliti lebih lanjut, jelas-jelas memiliki arti dan rasa yang berbeda. Penjabarannya adalah kalimat pertama kami mengalami suatu ketidakpuasan akibat dari penyambutannya yang dingin. Ketidakpuasan bisa berbentuk apa saja, ia bisa saja sedih tetapi belum tentu juga sedih, sebab ia bisa saja marah ataupun kesal dalam mengungkapkan kekecewaannya. Sementara pada kalimat kedua, apa yang dialami oleh kami tehadap penyambutannya yang dingin jelas-jelas berbuah sedih. Bukannya marah, kesal ataupun kecewa. Sedih merupakan salah satu hasil ungkapan kecewa. Dan sebagai hanya salah satu hasil dari kecewa, maka kecewa tidaklah dapat semena-mena dipersamakan arti dengan sedih.
Mencermati hal ini, maka pada Tesaurus Bahasa Indonesia (2007), Eko Endarmoko, sebagai penyusunannya, tidak menempatkan kata sedih sebagai salah satu sinonim kata kecewa, melainkan kata kecewa disinonimkan dengan kata: (1) berawai, getun, gigit jari, kecil/ patah sakit hati, menyesal, meringis, mutung; cua, kesal; (2) batal, gagal, kandas, kubra, patah pucuk; (3) cacat, cela. Sementara kata sedih disinonimkan dengan kata: benguk, duka, galabah, getir, gobar hati, gundah, masygul, menyernak, menyesak, merana, pedih, pilu, prihatin, sedu, senak, silu, sugul, susah hati; terdayuh, terharu, trenyuh; tersentuh.
Kini, hari kian beranjak malam, tayangan di televisi sudah berganti siaran langsung pertandingan sepak bola. Sebenarnya saya suka sekali menonton acara itu, tapi karena kecewa mendengar jawaban si mama, maka saya pun putuskan untuk masuk ke kamar dan tidur. Keputusan ini saya ambil sebab saya tak mau berlama-lama menanggung sedih karena kecewa mendengar jawaban si mama.

Sabtu, 05 Januari 2008

Kover Buku




Halo...
ini kover buku puisi saya yang pernah terbit. Silahkan diliat-liat.

Rabu, 02 Januari 2008

Puisi Beni R. Budiman

FRAGMEN PANDAI BESI
Harry Roesli

Lubang angin menempa kering batok kelapa sebagai
Bara yang nyala. Sebuah per baja menderita dalam
Marah yang sempurna. Gubuk bilik hitam pun merah
Gerah seperti membangun rumah dari biji keringat

Bau resah menyengat. Lalu beberapa palu melagukan
Nada pilu bertalu. Bunyi dalam nyanyi pandai besi
Yang nyeri. Berlari seperti derap kaki gerombolan
Kavaleri. Musik berisik yang menggoda para paduka

Dalam tempat yang sendiri para pandai besi seperti
Geram yang berjanji. Mata air yang terus meneteskan
Doa basah pada bukit batu. Cinta yang keras kepala
Ombak yang setia memimpikan karang menjelma pedang.

1996-1997


CAMPING

Di bawah gunung kesepian bergulung dan memuncak
Dan pada hamparan daratan kuabadikan kecemasan
Tebing batu cadas dan pinus-pinus yang mendengus
Angin mengirim cuaca sembab. Hujan tertahan awan

Dan dalam suasana temaram pohon karet berbaris
Sujud dalam sakit yang sama. Memberat ke arah
Barat. Burung-burung pun datang dan pergi dalam
Irama yang pasti. Udara seakan sendu mambatu

Dan hidup seperti tumpukan tenda yang dibangun
Dan diruntuhkan. Dan kematian berkibar pada tiang
Bendera di suatu perkemahan. Nyanyian yang rindu
Dilantunkan petualang di antara lereng dan jurang

1996


DI ANTARA BATU-BATU

Dia antara batu-batu lumut menari dalam air kali
Ganggang berenang tenang. Dan capung melayang
Bersama belalang. Anak-anak mandi di riang perigi
Nada cinta pun mengalun dibawa angin yang santun

Tapi di antara batu-batu, tubuh siapa yang setia
Dalam keramba. Patok-patok yang ditancapkan pada
Batu cadas telah membuat kandas mimpi yang bebas
Kayu dan bambu menjadi kerangkeng yang mengurung

Lagu lenggang kangkung. Dan harapan hanya pada
Hujan topan yang bisa mengirim banjir bandang
Sekaligus doa bagi kemerdekaan yang tinggal mimpi
Di keramba mungkin aku hanya ikan yang menghamba
Menanti mati tiba sambil memuja cerita nestapa

1996-1997


API UNGGUN

Malam itu tak ada kemarahan paling sempurna
Selain dingin dan gelap yang pekat. Kesepian
Mengekalkan suara burung hantu sebagai gerutu
Pinus dan trambesi mendesis dengan wajah lesi

Pada saat seperti itu, api unggunlah kerinduan
Tak tertahan itu. Panas yang mampu mencairkan
Kabut dan embun beku. Tumpukan kayu kering yang
Riang menjadi bara dan abu bagi api yang biru

Tapi, sempurnalah mimpi, rindu, dan angan-angan
Karena batu-batu tak mampu menumbuhkan nyala api
Dahan dan ranting menolak perapian. Dan gulita
Tak mencintai cahaya. Tapi memilih tanah basah

1996


GERIMIS MALAM

Gerimis malam mematahkan remang mercury
Dan bintang jadi ngeri mengulum senyum
Hanya kelelawar berani keluar. Terbang
Di antara pohon jambu batu yang kelabu

Gerimis pun memaksa setiap daun kelimis
Seperti habis keramas. Genting-genting
Mengkilap dalam gelap. Bulan pun tiarap
Bayang dan gamang menari seperti dalam

Fiksi. Mengejar tubuh lelah seperti gabah
Basah. Dan garis gerimis seakan berbaris
Membentuk barikade-barikade yang bengis
Kerangkeng yang kekal dengan lagu dingin

1996-1997


AKUARIUM

Ikankah kau yang bicara dalam kaca
Berenang dalam lampu remang
Di luar pecinta terpana pada ekormu
Yang mengundang tualang

Segera angan pun terbang pada ranjang
Pada rumah miring di atas tebing
Di bawahnya perigi mengucurkan sunyi
Dan anak sungai menyanyikan lagu nyeri

Ikankah kau yang bercanda tanpa baju dan celana
Yang memampangkan peta bagi para pengembara
Dan berjanji memberi arti sepi

Di luar bejana dadaku bergetar
Ketika bibirmu menjilat karang
dan tubuhmu bergoyang

1996


SANGLOT

Kesedihan bagaimanapun bukan harapan
Tapi biji benalu yang hinggap bersama
Burung. Dan matahari, angin, dan hujan
Mengirim gairah hidup yang baru bertahan

Dan paruh burung tak pernah mampu menolak
Makanan. Seperti juga kesedihan tak memilih
Tempat berteduh. Semua daerah baginya indah
Dan sebagai pohonan kita pun ibarat limban

Bagi segala kesedihan berjalan. Seperti kematian
Kesedihan menjelma kenyataan yang kita cintai
Mainan yang seringkali membuat takut dan bosan

1997

PERMAINAN


Akhir-akhir ini, entah apakah itu di surat kabar, majalah, televisi, radio, ataupun dalam percakapan sehari-hari, kemunculan kata permainan acapkali senantiasa dibarengi oleh kesan yang buruk, konotasi yang negatif. Entah siapa yang pertama kali memulainya, hanya saja semakin kemari, kata permainan semakin identik dengan kesan buruk, dengan konotasinya yang senantiasa negatif. Tengok saja dua contoh kutipan di bawah ini yang saya ambil dari isi berita yang ada di surat kabar:
Diduga telah terjadi
permainan oleh pejabat setempat berkaitan dengan tidak sampainya dana bantuan yang telah dianggarkan oleh pemetintah kepada pengungsi.
Semakin terpuruknya mata uang Rupiah terhadap USD, disinyalir karena adanya
permainan oleh para bankir asing.
Dalam percakapan sehari-hari, melekatnya konotasi negatif pada kata
permainan dapat dilihat dari contoh percakapan di bawah ini yang saya ambil dari sebuah percakapan di sebuah warung yang terletak di emper depan sebuah perguruan tinggi negri yang terkenal di Surabaya:
“Hebat! Ketangkap juga akhirnya dia!” seru Yang baca koran tiba-tiba.
“Ah, paling itu cuma permainan,” timbal Yang duduk bengong.
“Kok bisa?”
“Ya iyalah. Kan yang nangkep juga temennya sendiri. Paling bentar lagi juga dah dilepasin.”
Kata permainan adalah kata berimbuhan yang dibentuk dari kata dasar main yang diberi imbuhan pe + an. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata main berarti (1) melakukan permainan untuk menyenangkan hati (dengan menggunakan alat-alat tertentu atau tidak); (2) melakukan perbuatan untuk bersenang-senang (dengan alat-alat tertentu atau tidak); (3) berjudi; (4), dalam keadaan berlangsung atau mempertunjukkan (tontonan, dsb); (5) bertindak sebagai pelaku dalam sandiwara (film, musik, dsb); (6) berbuat serong; (7) bekerja, bergerak, berputar, dsb secara sepatutnya (tentang mesin, dsb); (8) berbuat sesuatu dengan sesuka hati; berbuat asal berbuat saja; (9) menjalankan usaha (taksi, becak, dsb); mencari nafkah dengan; dan (10) selalu menggunakan (memakai).
Sedangkan kata permainan dalam KBBI diberi arti (1) sesuatu yang digunakan untuk bermain; barang atau sesuatu yang dipermainkan; mainan; (2) hal bermain; perbuatan bermain (bulu tangkis dsb); (3) perbuatan yang dilakukan dengan tidak sungguh-sungguh (hanya untuk main-main); (4) pertunjukan, tontonan, dsb; (5) perhiasan yang digantung pada kalung dsb, seperti medalion; (6) perempuan yang diajak untuk bersenang-senang saja (tidak untuk dijadikan istri yang sah).
Dalam buku Tesaurus Bahasa Indonesia susunan Eko Endarmoko, kata main dipadankan dengan (1) bermain; (2) berjalan, berlangsung; (3) aktif, bekerja, berfungsi, beroperasi, hidup, jalan. Sementara kata permainan dipadankan dengan kata (1) mainan; (2) atraksi, pertunjukan, tontonan; (3) sandiwara, tipuan.
Dari paparan di atas, dapat dilihat bahwa kata permainan, sebenarnya, tidaklah selalu identik dengan hal-ihwal yang buruk atau negatif. Tapi, entah mengapa, tiap kali kata itu muncul yang hadir dalam diri kita adalah pemaknaan-pemaknaan yang cenderung berkonotasi negatif. Ada banyak hal, banyak sebab yang mengakibatkan hal ini bisa sampai terjadi. Entah apakah itu sesuatu yang serius, ataukah yang hanya bersifat permainan.